Saturday, September 25, 2010

Kepala Ikan

Oleh: Liven R

(Sebuah Dedikasi untuk Mama di Seluruh Dunia)


    ALKISAH, di sebuah desa nelayan di Tiongkok utara, terdapat sebuah keluarga nelayan yang miskin. Keluarga tersebut terdiri dari enam anggota, yakni Nyonya Zhao dan lima anaknya—empat anak lelaki dan seorang anak perempuan—yang masih kecil. Tuan Zhao telah meninggal dunia dua tahun lalu akibat perahu yang ditumpanginya tenggelam tersapu badai ketika melaut.

    Setelah kematian suaminya, Nyonya Zhao sehari-harinya bekerja mencuci pakaian tetangganya dan membantu membersihkan kapal nelayan yang pulang dari melaut untuk mendapatkan sedikit upah guna menyambung hidup keluarganya dan menyekolahkan anak-anaknya.

   Suatu ketika di hari terakhir musim dingin, sesuai tradisi setiap tahun, seluruh penduduk desa tersebut selalu berkumpul bersama keluarga masing-masing dan menikmati makan malam bersama untuk menyambut datangnya Festival Musim Semi (Tahun Baru Imlek).

   Sebagai persiapan menyambut festival tersebut, biasanya para nelayan tak pergi melaut selama beberapa hari. Hal ini menyebabkan penghasilan Nyonya Zhao berkurang.

   Menjelang malam Festival Musim Semi, dengan berbekal sedikit uang, Nyonya Zhao pergi ke pasar terdekat untuk membeli bahan makanan untuk makan malam keluarganya. Dengan uang yang dimilikinya, Nyonya Zhao hanya mampu membeli sedikit sayuran hijau. Beruntung di tengah perjalanan pulang, Nyonya Zhao bertemu dengan tetangganya yang kemudian menawarkan seekor ikan untuknya secara cuma-cuma.

    Berbekal sedikit sayuran hijau dan seekor ikan pemberian tetangganya, Nyonya Zhao kemudian memasak makan malam untuk anak-anaknya. Namun, bagaimana sepiring sayuran hijau dan seekor ikan dapat dibagi untuk enam orang?

    Setelah semua anaknya berkumpul di meja makan, Nyonya Zhao kemudian membagikan bagian tubuh ikan tersebut untuk kelima anaknya, sedangkan ia sendiri mengambil bagian kepala ikan.
“Mengapa Ibu tak mengambil bagian tubuh ikan dan hanya mengambil kepalanya saja?” putra sulung Nyonya Zhao bertanya.

    “Anakku, kepala ikan adalah kesukaan Ibu. Dan bagi Ibu, kepala ikan adalah bagian yang paling enak,” jawab Nyonya Zhao sambil tersenyum.

    Dengan demikian, malam itu mereka juga makan dan berkumpul bersama dengan gembira meskipun dengan lauk seadanya. Dan tanpa persiapan baju baru, mereka tetap melewati Festival Musim Semi dengan gembira.

***

    WAKTU bergerak dengan cepat. Empat puluh tahun terlewatkan. Kini, Nyonya Zhao telah berusia 75 tahun dan anak-anaknya telah berkeluarga dan hidup mapan.

    Suatu hari, anak-anak dan menantu Nyonya Zhao berunding untuk mengadakan pesta ulang tahun yang ke-75 untuknya. Dan akhirnya disepakati untuk merayakan ulang tahun tersebut di sebuah restoran mewah.

    Pada hari ulang tahunnya, dengan dituntun anak dan menantunya Nyonya Zhao berjalan menuju meja yang disediakan untuknya.

   Setelah semua undangan hadir, pelayan restoran segera menghidangkan menu yang dipesan. Pada saat penutup hidangan dibuka, alangkah terkejutnya Nyonya Zhao saat melihat sebuah kepala ikan yang besar berada di dalamnya.

   “Ibu, kami sengaja memesan kepala ikan ini untuk Ibu, karena kami tahu sejak dulu Ibu paling menyukai kepala ikan,” ucap putri bungsu Nyonya Zhao.

   Nyonya Zhao tersenyum kemudian menitikkan airmata.

    “Anak-anakku, tahukah kalian aku sesungguhnya tak pernah menyukai kepala ikan? Di masa dulu karena kemiskinan kita, aku harus berbohong kepada kalian setiap kali kita hanya memiliki seekor ikan untuk dimakan berenam. Aku berbohong bahwa aku menyukai kepala ikan, agar kalian dapat makan dengan tenang dan sedikit lebih kenyang dengan bagianku. Kini setelah kalian berpenghasilan cukup dan hidup sukses, apakah aku masih harus memakan kepala ikan?” tanya Nyonya Zhao sambil bercanda kepada anak-anaknya.

***
    KASIH sayang seorang ibu kepada anak-anaknya adalah demikian besarnya sehingga ia rela mengorbankan kesenangan diri sendiri demi kebahagiaan anak-anaknya. Dalam perannya, ibu selalu berusaha menelan bagian yang pahit bagi dirinya sendiri dan menyisakan bagian yang manis untuk anak-anaknya.

    Sebagai anak, kita hendaknya senantiasa berusaha untuk membalas budi besar ibu meskipun ibu tak pernah mengingatkan kita untuk melakukan hal tersebut.

Semoga dengan selalu mengingat dan membalas budi besar ibu, hamparan permadani surga di bawah telapak kaki ibu senantiasa terbentang menyambut setiap langkah kaki kita.

***
Medan, Harian Analisa
Posted by Art Dimension
Art Dimension Updated at: 12:18 PM
Komentar Facebook
0 Komentar Blogger

No comments:

Post a Comment

Silakan centang "Notify me" agar Anda memeroleh pemberitahuan.

Entri Populer