Wednesday, June 12, 2013

Hari Bacang dan Kisah Sastrawan Qu Yuan




Pada 12 Juni 2013 (tanggal 5 bulan 5 Lunar), diperingati sebagai Hari Bacang atau yang lebih sering disebut sebagai Hari Raya Peh Cun. Di Indonesia tentu hari tersebut hanya diperingati oleh suku tertentu—Suku Tionghoa—dan tidak sampai dicantumkan sebagai tanggal merah pada kalender. Namun, ternyata pada negara lain seperti China, Taiwan dan lainnya, Hari Bacang merupakan satu dari tiga hari besar yang dianggap paling penting, yakni dua di antaranya ialah: Hari Raya Imlek (Chun Jie), dan Hari Raya Tiong Chiu (Zhong Qiu Jie).
Bacang sendiri merupakan nama dari sebuah kue berbentuk empat kerucut yang dibungkus daun, dengan isi bervariasi seperti: ketan, daging, jamur, kacang, telur, dan lain sebagainya, tergantung selera. Akan tetapi, ternyata bacang memiliki sejarah serta kisah kesetiaan seorang sastrawan sekaligus pejabat, Qu Yuan (baca: Chi Yen) yang cukup terkenal.
Sejarah
Dikisahkan pada masa 475-221 SM—Dinasti Zhou—Tiongkok terbagi menjadi tujuh negara yang saling bertikai. Salah satunya, negara Qin dikenal sebagai negara yang paling agresif, dan senang menindas keenam negara lain yang lebih lemah. Sastrawan Qu Yuan merupakan seorang pejabat besar dari negara Chu, yang cukup cerdas untuk kemudian mengeluarkan ide serta berperan aktif dalam menyatukan keenam negara yang kerap ditindas untuk melawan agresi negara Qin. Oleh sebab itu, Qu Yuan pun menjadi tokoh yang cukup diperhitungkan pihak lawan.
 Sayangnya, pada masa itu negara Qin menggunakan siasat licik untuk berpura-pura menawarkan perdamaian kepada Kaisar Chu Huai (kaisar negara Chu), dan mengarang cerita-cerita palsu yang menyebabkan Kaisar Chu Huai menjadi kurang begitu percaya kepada Qu Yuan. Suatu ketika negara Qin mengundang Kaisar Chu Huai ke ibukota mereka, sebenarnya Qu Yuan telah membaca siasat jahat musuh, dan melarang keras kepergian Kaisar Chu Huai. Tetapi, karena penilaian Kaisar Chu Huai terhadap Qu Yuan telah terlanjur diracuni, perkataan Qu Yuan pun diabaikan.
Masa itu Qu Yuan mengalami perasaan sedih yang amat mendalam. Kaisar Chu Huai pun memenuhi undangan dari negara Qin. Kemudian, apa yang menjadi kekhawatiran terbesar Qu Yuan pun benar-benar terjadi. Kaisar Chu Huai dibunuh di negara musuh! Dalam situasi darurat itu, negara Chu kemudian mengangkat Kaisar Chu Xiang untuk memimpin negara. Ironisnya, Kaisar Chu Xiang bukan hanya tidak berniat menegakkan keadilan untuk Kaisar Chu Huai yang dibunuh musuh, tetapi justru mengangkat Kaisar Qin menjadi ayah angkat.
Ditambah lagi dengan keberadaan beberapa pejabat yang telah menerima suap dari negara Qin, Kaisar Chu Xiang diusulkan untuk menyerah kepada negara Qin. Mendengar hal tersebut, Qu Yuan pun kembali melarang keras usul itu, dan berdebat dengan Kaisar Chu Xiang, hingga kemudian dicopot dari jabatan, dan dikirim ke tempat pembuangan manusia di Chang Sha.
Sembilan tahun hidup dalam ketragisan di mana harus menghadapi kenyataan bahwa negara Chu telah hancur di tangan Kaisar Chu Xiang, serta nasib keluarganya yang berantakan, akhirnya Qu Yuan memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan menceburkan diri ke Sungai Mi Luo (sekarang Sungai Qian Tang di propinsi Zhe Jiang). Tanggal 5 bulan 5 Lunar, sastrawan Qu Yuan pun meninggal pada usia 62 tahun.
Rakyat yang selama ini yakin bahwa Qu Yuan adalah tokoh yang selalu berpihak kepada negara Chu amat bersedih atas keputusan Qu Yuan. Mereka berusaha keras untuk menemukan jenazah Qu Yuan, namun sia-sia. Karena berharap agar jenazah itu jangan sampai diusik (baca: dimakan) oleh binatang-binatang air, akhirnya rakyat negara Chu pun sepakat untuk membungkus nasi dan makanan-makanan lainnya untuk kemudian diceburkan ke Sungai Mi Luo, agar dapat dimakan oleh binatang-binatang air. Nasi dan makanan-makanan itulah yang kemudian kini dikenal sebagai kue bacang.
Dalam versi lain yang tidak berbeda jauh, sastrawan Qu Yuan juga dikisahkan sebagai seorang pejabat cerdas yang memiliki pengaruh besar. Buku karyanya dengan judul “Chun Tzu (Ratapan Negeri Tzu) dan juga “Li Sao (Menapaki Kesedihan) merupakan buku yang populer di masa itu. Karena terlalu gemilangnya karir Qu Yuan, terdapat banyak lawan politik yang hendak menjatuhkannya.
Lawan-lawan politik Qu Yuan bukan hanya membenci Qu Yuan, tetapi pada dasarnya kebanyakan dari mereka adalah pejabat tak setia yang merencanakan kudeta. Mereka sempat menawarkan kerja sama, tetapi ditolak oleh Qu Yuan. Penolakan itu jugalah yang kemudian membuat mereka semakin memusuhi Qu Yuan.
Suatu ketika kaisar negara Chu sakit, para pejabat pengkhianat itu pun menekan tim medis untuk mengeluarkan larangan garam terhadap kaisar. Akibatnya, kondisi kaisar menjadi semakin memburuk dan hanya dapat terbaring lemas di atas ranjang. Selidik demi selidik, Qu Yuan berhasil mencium siasat licik itu. Namun, dikarenakan terdapat kesulitan-kesulitan tertentu yang kala itu sulit dihadapi, Qu Yuan tak dapat berbuat banyak, selain diam-diam membungkus garam dalam daum bambu dengan empat kerucut, lalu menggantung bungkusan itu di langit-langit ranjang kaisar dengan maksud agar garam itu menetes sedikit demi sedikit di atas mulut kaisar, dengan harapan kesehatan kaisar dapat segera pulih kembali.
Hal yang tak terduga, di kemudian hari ketika bungkusan garam itu ditemukan, Qu Yuan justru dituduh sebagai orang yang telah meracuni kaisar, sehingga kondisi kesehatan kaisar kian memburuk. Qu Yuan mengalami depresi berat akibat tuduhan terhadap dirinya. Dan untuk menghindari pengadilan serta jeratan hukum yang tak semestinya ia terima, akhirnya Qu Yuan pun lebih memilihi mengakhiri hidup sendiri secara terhormat dengan menceburkan diri ke Sungai Mi Luo.
Hari Bacang di Indonesia
Di Indonesia, Hari Bacang juga merupakan salah satu hari istimewa bagi Suku Tionghoa. Setiap tahunnya, sebagian besar—tergantung kepercayaan yang dianut—keluarga Suku Tionghoa memiliki kewajiban untuk membuat bacang yang kemudian disembahyangkan kepada leluhur dan dewa, kecuali keluarga yang tengah berkabung. Namun, itu adalah pandangan lama. Modernnya, kini bacang boleh dibeli dari orang lain, tanpa harus repot-repot membuatnya sendiri.
Hal unik lain yang terdapat pada tanggal 5 bulan 5 Lunar, setiap pukul 12 siang, telur dapat didirikan tegak. Ah, masak?! Ya, ini memang sulit masuk di akal. Namun, sebuah klipingan (koran Analisa) yang tersimpan dalam PC penulis di tahun 2009 menunjukkan bahwa hal itu benar adanya. Acara itu digelar oleh Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Sumut pada Kamis, 28 Mei 2009.
Posted by Art Dimension
Art Dimension Updated at: 1:24 PM

Sunday, June 9, 2013

Pentingnya Kualitas Lingkungan Hidup



BEBERAPA hari lalu—tepatnya 5 Juni—diperingati sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Momen ini diperingati pertama kali pada tahun 1972, melalui sidang umum PBB, sebagai upaya untuk meningkatkan kesadaran global akan pentingnya melestarikan lingkungan hidup demi kepentingan bersama.
Di Indonesia sendiri, setiap tahun momen ini biasanya diperingati dengan diterbitkan prangko-prangko peringatan yang menampilkan gambar-gambar bertemakan lingkungan hidup. Beberapa kalangan dan aktivis biasanya juga mengadakan acara seperti jalan kaki bersama, penghijauan, atau bersih-bersih lingkungan, dan lain sebagainya.
Akan tetapi, agaknya hal tersebut tentu bukan sekadar aksi formalitas tahunan belaka. Setiap tindakan pelestarian lingkungan itu wajib didasari kesadaran, bukan sekadar partisipasi. Setiap dari kita bertanggungjawab untuk memelihara kualitas lingkungan hidup di sekitar, dengan pola hidup yang baik, kesadaran untuk tidak membuang sampah pada sembarang tempat, serta kemauan untuk membenahi lingkungan. Hal ini perlu diterapkan sebagai sebuah kebiasaan positif, dimulai dari diri sendiri, baru kemudian menginspirasi pihak lain.
Untuk sekarang, kita memang masih menghuni sebuah Bumi yang termasuk layak, tanpa perlu adanya rasa cemas. Tetapi, bagaimana untuk kelak? Coba saja kita bayangkan, bagaimana bila suatu hari nanti Bumi telah kehilang air bersih untuk dikonsumsi, tanah yang subur untuk ditanami buah dan sayur, serta terjadi perubahan iklim yang menyebabkan datangnya berbagai bencana, sementara kita masih tak memiliki Bumi kedua—planet penggantinya?! Ini bukan ancaman kosong, tetapi sebuah prediksi yang berpotensi menjadi kenyataan, apabila kita tetap mengabaikan kepentingan melestarikan lingkungan. Tiba masa itu, mungkin memiliki uang juga belum tentu memiliki lingkungan hidup yang layak. Mungkin juga kita semua terpaksa mengizinkan udara yang terlanjur tercemar melewati paru-paru kita agar tidak kehilangan nafas, dan mengobati rasa haus dengan air berwarna keruh yang berbau lumpur.
Think-Eat-Save
2013, oleh United Nations Environment Programme (UNEP)—Badan Lingkungan Hidup Dunia—Hari Lingkungan Hidup Sedunia ditetapkan dengan tema “Think-Eat-Save”. Melalui Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia, tema tersebut kemudian diselaraskan menjadi “Ubah Perilaku dan Pola Konsumsi untuk Selamatkan Lingkungan”. Kita mungkin bertanya-tanya, apa hubungannya antara pola konsumsi dan lingkungan hidup.
Jelas ada!
Berdasarkan data dari  Food and Agriculture Organization (FAO)—Organisasi Pangan dan Pertanian—tercatat untuk setiap tahunnya terdapat setidaknya 1,3 milyar ton makanan yang terbuang sia-sia di seluruh dunia. Padahal, berdasarkan data lain menunjukkan bahwa 1 dari 7 orang memaksakan diri untuk tertidur dengan kondisi kelaparan, sementara lebih dari 20.000 balita bahkan meninggal dunia akibat kasus kelaparan untuk setiap harinya.
Kebiasaan manusia di seluruh dunia yang membeli makanan dalam jumlah berlebih, kemudian berakhir dengan membuangnya dinilai sebagai tindakan pemborosan yang teramat merugikan lingkungan. Setiap makanan yang terbuang menjadi limbah dan membutuhkan waktu lama agar dapat terurai. Dan tanpa kita sadari, sebagian makanan yang terbuang itu sesungguhnya telah melalui proses produksi yang rumit serta memakan banyak biaya dan energi, baru kemudian dapat tiba di tangan konsumen. Contoh sederhana yang dapat dijelaskan, untuk memproduksi 1 liter susu saja dibutuhkan 1.000 liter air. Jika dengan adanya data 1 liter susu yang terbuang, berarti telah terbuang secara sia-sia juga sejumlah 1.000 liter air layak konsumsi. Belum lagi bila makanan tersebut merupakan makanan impor, tentu dibutuhkan juga bahan bakar untuk alat transportasi dan lain sebagainya.
Kebiasaan membuang makanan bukan hanya mubazir, tetapi yang ironisnya justru menjadi limbah yang berkontribusi banyak dalam merusak lingkungan, memicu pemanasan global, yang ujung-ujungnya berdampak negatif bagi kelangsungan hidup manusia. Berdasarkan pertimbangan demikianlah, UNEP memilih tema Think-Eat-Save sebagai tema Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2013, dengan harapan masyarakat di seluruh dunia dapat berpikir secara bijak dalam berbelanja makanan, agar tidak berakhir menjadi limbah yang merusak lingkungan hidup.
Manfaat
            Upaya melestarikan lingkungan bukanlah sebuah tindakan sia-sia yang merepotkan. Kita sendirilah yang akan merasakan manfaat dari semua itu. Manfaat yang dimaksudkan bukan sekadar manfaat untuk masa mendatang—di mana belum tentu kita masih hidup di Bumi ini—tetapi juga manfaat untuk masa sekarang. Lingkungan hidup yang baik memberikan kita kehidupan yang sehat, dan sebaliknya lingkungan hidup yang buruk justru berpotensi mendatangkan berbagai penyakit bagi tubuh manusia, semisal DBD, diare, alergi, dan lain sebagainya.
Berpikir lebih jauh, dengan adanya lingkungan yang baik, kota dan negara yang bersih terjaga, tidak menutup kemungkinan akan menarik wisatawan untuk mengunjungi negara kita. Ini adalah sebuah nilai plus. Jika Anda adalah seorang yang mengikuti perkembangan berita, Anda pasti tahu, salah satu tempat wisata terkenal di negara kita pernah dikritik oleh seorang jurnalis Majalah Times gara-gara lingkungan kotor yang diibaratkan sebagai hell—neraka—oleh jurnalis luar negeri tersebut. Bayangkan saja, berapa pasang mata yang membaca pemberitaan itu, dan berapa besar negara kita harus kehilangan visitor asing, hanya gara-gara kebiasaan yang tidak melestarikan lingkungan.
Generasi Muda yang Cerdas
Kita tak dapat membalikkan waktu. Segala tindakan merusak lingkungan yang telah terlanjur terjadi di masa sembelumnya mustahil untuk dibatalkan seperti ketika kita mengeklik undo pada suatu tindakan salah pada komputer. Tetapi, bukan berarti kita juga tak dapat memulihkan kondisi. Terlebih sebagai generasi muda yang cerdas, terpelajar, lebih pantas lagi menjadikan diri sebagai teladan, dan terus mewariskan perilaku positif dalam memelihara lingkungan untuk generasi-generasi seterusnya, bahkan juga menginspirasi generasi-generasi sebelumnya.
Mulai dari sekarang berpikirlah dalam setiap tindakan, apakah itu merugikan lingkungan, dan semestinya bagaimana. Satu contoh sederhana yang paling dekat dengan keseharian remaja, penggunaan kertas. Sebisa mungkin minimalkanlah jumlah penggunaannya, dan maksimalkanlah daya guna barang yang terbuat dari hasil ‘membunuh’ pohon itu. Selain kertas, untuk barang-barang lain semisal pakaian, tas, dan apa saja itu, gunakanlah selalu selagi masih berdaya guna, agar tidak menjadi limbah yang menumpuk dan merusak lingkungan.
Jika memungkinkan, boleh juga aktif dengan berbagai kegiatan positif semisal penghijauan dan lain sebagainya, yang tentu tidak sekadar setahun sekali ketika tibanya momen Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Setuju?!
***
 Lea Willsen
Akhir Mei, 2013
Posted by Art Dimension
Art Dimension Updated at: 12:47 PM

Entri Populer