BEBERAPA hari
lalu—tepatnya 5 Juni—diperingati sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Momen
ini diperingati pertama kali pada tahun 1972, melalui sidang umum PBB, sebagai
upaya untuk meningkatkan kesadaran global akan pentingnya melestarikan
lingkungan hidup demi kepentingan bersama.
Di Indonesia sendiri,
setiap tahun momen ini biasanya diperingati dengan diterbitkan prangko-prangko
peringatan yang menampilkan gambar-gambar bertemakan lingkungan hidup. Beberapa
kalangan dan aktivis biasanya juga mengadakan acara seperti jalan kaki bersama,
penghijauan, atau bersih-bersih lingkungan, dan lain sebagainya.
Akan tetapi, agaknya
hal tersebut tentu bukan sekadar aksi formalitas tahunan belaka. Setiap
tindakan pelestarian lingkungan itu wajib didasari kesadaran, bukan sekadar
partisipasi. Setiap dari kita bertanggungjawab untuk memelihara kualitas
lingkungan hidup di sekitar, dengan pola hidup yang baik, kesadaran untuk tidak
membuang sampah pada sembarang tempat, serta kemauan untuk membenahi
lingkungan. Hal ini perlu diterapkan sebagai sebuah kebiasaan positif, dimulai
dari diri sendiri, baru kemudian menginspirasi pihak lain.
Untuk sekarang, kita
memang masih menghuni sebuah Bumi yang termasuk layak, tanpa perlu adanya rasa cemas.
Tetapi, bagaimana untuk kelak? Coba saja kita bayangkan, bagaimana bila suatu hari
nanti Bumi telah kehilang air bersih untuk dikonsumsi, tanah yang subur untuk
ditanami buah dan sayur, serta terjadi
perubahan iklim yang menyebabkan datangnya berbagai
bencana, sementara kita masih tak memiliki Bumi kedua—planet penggantinya?! Ini bukan ancaman kosong, tetapi sebuah
prediksi yang berpotensi menjadi kenyataan, apabila kita tetap mengabaikan
kepentingan melestarikan lingkungan.
Tiba masa itu, mungkin memiliki uang juga belum tentu memiliki lingkungan hidup
yang layak. Mungkin juga kita semua terpaksa mengizinkan udara yang terlanjur
tercemar melewati paru-paru kita agar tidak kehilangan nafas, dan mengobati
rasa haus dengan air berwarna keruh yang berbau lumpur.
Think-Eat-Save
2013, oleh United Nations Environment Programme (UNEP)—Badan Lingkungan Hidup Dunia—Hari
Lingkungan Hidup Sedunia ditetapkan dengan tema “Think-Eat-Save”. Melalui
Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia, tema tersebut kemudian diselaraskan
menjadi “Ubah Perilaku dan Pola Konsumsi untuk Selamatkan Lingkungan”. Kita mungkin bertanya-tanya, apa hubungannya
antara pola konsumsi dan lingkungan hidup.
Jelas ada!
Berdasarkan data dari Food and
Agriculture Organization (FAO)—Organisasi Pangan dan Pertanian—tercatat untuk
setiap tahunnya terdapat setidaknya 1,3 milyar ton makanan yang terbuang
sia-sia di seluruh dunia. Padahal, berdasarkan data lain menunjukkan bahwa 1
dari 7 orang memaksakan diri untuk tertidur dengan kondisi kelaparan, sementara
lebih dari 20.000 balita bahkan meninggal dunia akibat kasus kelaparan untuk
setiap harinya.
Kebiasaan manusia di seluruh dunia yang membeli makanan dalam jumlah
berlebih, kemudian berakhir dengan membuangnya dinilai sebagai tindakan pemborosan
yang teramat merugikan lingkungan. Setiap makanan yang terbuang menjadi limbah
dan membutuhkan waktu lama agar dapat terurai. Dan tanpa kita sadari, sebagian
makanan yang terbuang itu sesungguhnya telah melalui proses produksi yang rumit
serta memakan banyak biaya dan energi, baru kemudian dapat tiba di tangan
konsumen. Contoh sederhana yang dapat dijelaskan, untuk memproduksi 1 liter
susu saja dibutuhkan 1.000 liter air. Jika dengan adanya data 1 liter susu yang
terbuang, berarti telah terbuang secara sia-sia juga sejumlah 1.000 liter air
layak konsumsi. Belum lagi bila makanan tersebut merupakan makanan impor, tentu
dibutuhkan juga bahan bakar untuk alat transportasi dan lain sebagainya.
Kebiasaan membuang makanan bukan hanya mubazir, tetapi yang ironisnya
justru menjadi limbah yang berkontribusi banyak dalam merusak lingkungan,
memicu pemanasan global, yang ujung-ujungnya berdampak negatif bagi
kelangsungan hidup manusia. Berdasarkan pertimbangan demikianlah, UNEP memilih
tema Think-Eat-Save sebagai tema Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2013, dengan
harapan masyarakat di seluruh dunia dapat berpikir secara bijak dalam
berbelanja makanan, agar tidak berakhir menjadi limbah yang merusak lingkungan
hidup.
Manfaat
Upaya
melestarikan lingkungan bukanlah sebuah tindakan sia-sia yang merepotkan. Kita
sendirilah yang akan merasakan manfaat dari semua itu. Manfaat yang dimaksudkan
bukan sekadar manfaat untuk masa mendatang—di mana belum tentu kita masih hidup
di Bumi ini—tetapi juga manfaat untuk masa sekarang. Lingkungan hidup yang baik
memberikan kita kehidupan yang sehat, dan sebaliknya lingkungan hidup yang
buruk justru berpotensi mendatangkan berbagai penyakit bagi tubuh manusia,
semisal DBD, diare, alergi, dan lain sebagainya.
Berpikir lebih jauh, dengan adanya lingkungan yang baik, kota dan negara
yang bersih terjaga, tidak menutup kemungkinan akan menarik wisatawan untuk
mengunjungi negara kita. Ini adalah sebuah nilai plus. Jika Anda adalah seorang
yang mengikuti perkembangan berita, Anda pasti tahu, salah satu tempat wisata
terkenal di negara kita pernah dikritik oleh seorang jurnalis Majalah Times
gara-gara lingkungan kotor yang diibaratkan sebagai hell—neraka—oleh jurnalis luar negeri tersebut. Bayangkan saja,
berapa pasang mata yang membaca pemberitaan itu, dan berapa besar negara kita
harus kehilangan visitor asing, hanya gara-gara kebiasaan yang tidak
melestarikan lingkungan.
Generasi
Muda yang Cerdas
Kita tak dapat membalikkan waktu. Segala tindakan merusak lingkungan
yang telah terlanjur terjadi di masa sembelumnya mustahil untuk dibatalkan
seperti ketika kita mengeklik undo
pada suatu tindakan salah pada komputer. Tetapi, bukan berarti kita juga tak
dapat memulihkan kondisi. Terlebih sebagai generasi muda yang cerdas,
terpelajar, lebih pantas lagi menjadikan diri sebagai teladan, dan terus
mewariskan perilaku positif dalam memelihara lingkungan untuk generasi-generasi
seterusnya, bahkan juga menginspirasi generasi-generasi sebelumnya.
Mulai dari sekarang berpikirlah dalam setiap tindakan, apakah itu
merugikan lingkungan, dan semestinya bagaimana. Satu contoh sederhana yang
paling dekat dengan keseharian remaja, penggunaan kertas. Sebisa mungkin minimalkanlah
jumlah penggunaannya, dan maksimalkanlah daya guna barang yang terbuat dari
hasil ‘membunuh’ pohon itu. Selain kertas, untuk barang-barang lain semisal
pakaian, tas, dan apa saja itu, gunakanlah selalu selagi masih berdaya guna,
agar tidak menjadi limbah yang menumpuk dan merusak lingkungan.
Jika memungkinkan, boleh juga aktif dengan berbagai kegiatan positif
semisal penghijauan dan lain sebagainya, yang tentu tidak sekadar setahun
sekali ketika tibanya momen Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Setuju?!
***
Lea Willsen
Akhir Mei,
2013