Monday, December 26, 2011

Cinta di Ujung Penantian

Oleh: Liven R

Tanjung Balai, medio Mei 2006.

SIANG ini, pengunjung cukup ramai memadati counter kami. Dari yang sekadar bertanya harga ponsel dan spesifikasinya hingga yang benar-benar membeli. Tak heran, sebab ini adalah hari Sabtu, sebagian orang memang hanya bekerja setengah hari.

Dreettt… Dreett…! Ponsel di sakuku bergetar. Tak begitu kuhiraukan. Aku sedang sibuk mencari aksesoris ponsel yang diminta pelanggan. Tapi, tak lama kemudian ponselku kembali bergetar.

“Halo?” terdengar suara seorang gadis di seberang telepon.

“Siapa, ya? Mau cari siapa?” balasku kepada si pemilik suara asing sekaligus nomor yang tak kukenal.

“Meri? Ini Meri, ‘kan?” tanyanya lagi.

“Oh, bukan. Maaf, sepertinya kamu salah sambung, ya?!” ucapku buru-buru sambil mematikan ponselku setelahnya. Ya, tak ada waktu untuk mengobrol di telepon, apalagi di saat sibuk begini.

Akan tetapi, ponselku kembali bergetar tak lama kemudian. Oalah! Siapa lagi? Batinku.

‘Maaf, Kak. Tadi aku salah telepon. Boleh kenalan? Namaku Della,’ sebaris teks SMS masuk dari nomor asing barusan.

‘Baiklah. Tak mengapa. Namaku Lastri Angelani,’ balasku melalui SMS sore itu sepulang kerja menjelang malam.

***

Awal Juni 2006.

Mengenal Della, telah mengawali satu babak cerita baru dalam hidupku. Della yang merupakan putri tunggal di keluarganya, kerap menceritakan banyak hal kepadaku semenjak SMS perkenalan kami dimulai. Dalam berbagai curhatnya, Della sepertinya telah menganggapku sebagai kakaknya sendiri.

Dari Della juga, akhirnya aku mengenal Wendy, abang kandungnya. Sama seperti Della, Wendy juga kerap bercerita banyak hal kepadaku. Masalah keluarga mereka, apa saja yang terjadi menyangkut pekerjaannya di kota domisili mereka, Rantau Prapat, hingga cerita tentang mantan pacarnya. Sebagai teman, sebisa mungkin aku tampil sebagai pendengar dan sesekali pemberi solusi bagi Della dan Wendy.

Meski aku dan Wendy berbeda usia cukup jauh—aku 29 tahun dan Wendy 24 tahun, Wendy selalu mengatakan dia nyaman mengobrol denganku. Dan, dalam usia pertemanan kami yang hanya sesingkat sebulan lamanya, aku mampu merasakan sinyal-sinyal cinta yang dikirim Wendy untukku.

Namun, aku mencoba menyangkal bahwa aku mulai menyukai Wendy, sebab perbedaan usia dan kota yang berlainan, selalu menjadi alasanku untuk mengingkari adanya rasa yang sama antara aku dan Wendy.

***

Akhir Juni 2006.

“Kak Lastri, mau, ya, menjadi pacar Bang Wen?” untuk kesekian kalinya Della menanti jawabku.

“Della, aku….”

“Ah, Kak Lastri… Bang Wen sangat menyukai Kakak… Jangan kecewakan kami, Kak. Terimalah Bang Wen,” ucap Della lagi di ujung telepon.

“Della, aku tak yakin bisa menjadi pacar abangmu, karena kita berbeda usia dan kota, Del…, meskipun aku sesungguhnya juga menyukai Wendy…”

“Nah, itu sudah cukup, Lastri…!” Entah sejak kapan telepon telah beralih ke tangan Wendy. Oh, Tuhan, Wendy mendengar pengakuanku barusan!

“Wen, tidak sopan mencuri dengar pembicaraan orang lain!” sungutku berpura-pura marah.

“Aku tak mencuri dengar, Lastri. Kamu saja yang tak tahu….” Wendy tertawa, “…terima kasih sudah menerima cintaku. Mulai hari ini, kita adalah sepasang kekasih, Lastri…”

Aku sungguh tak tahu harus berkata apa lagi selain menyembunyikan rasa gembira sekaligus kegalauan hatiku mengingat hari-hariku selanjutnya dengan label sebagai kekasih Wendy dalam bentangan jarak di antara kami.

Malam itu, 28 Juni 2006, menjadi tanggal bersejarah dalam hidupku.

***

Tanjung Balai, medio Desember 2006.

“Wen, akhirnya kamu datang…,” bisikku sambil memandang wajah Wendy setelah acara saling salaman dan perkenalan dengan semua anggota keluargaku usai.

Wendy tersenyum dan menggenggam erat tanganku. Rasanya segala keraguan yang menghantui pikiranku selama ini sirna sudah dengan kedatangan pertama Wendy dan pertemuan kami di hari kedua Idul Fitri ini.

“Ya, aku tak ingin membohongimu, Lastri. Bukankah aku sudah berjanji akan datang?” Senyum mengembang di sudut bibir Wendy, “Apakah sekarang kamu masih meragukan cintaku?” Wendy menatapku lekat.

Kutundukkan kepalaku dan menggeleng kuat.

***

Rantau Prapat, April 2007.

Malam ini, langit Kota Rantau Prapat sungguh indah. Bintang-bintang yang bertaburan seolah hendak menemani bulan menghabiskan malam.

Ini adalah kedua kalinya Wendy mengajakku berjalan-jalan dan menginap di rumah orangtuanya. Bagiku, pertemuan kami yang berkisar setiap dua bulan sekali adalah masa-masa paling indah dan paling kunantikan

“Wen, sebelum kemari, ayah menanyakan keseriusan hubungan kita…,” aku tak melanjutkan kata-kataku untuk melihat reaksi Wendy.

“Aku tentu saja serius, Tri. Aku saat ini sedang bekerja keras untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Tiba saatnya, aku pasti akan menikahimu, Tri.”

Aku mengangguk dan merebahkan kepalaku di pundak Wendy. Sesungguhnya aku berharap bisa bertemu dengan Wendy tak hanya dua bulan sekali, melainkan sedikitnya setiap malam Minggu layaknya pasangan lain yang sedang memadu kasih. Akan tetapi, aku cukup mengerti dengan kesibukan Wendy dalam mengurus kebun sawit milik keluarganya di Rantau Prapat ini.

***

Tanjung Balai, Desember 2008.

“Wen, benarkah kamu akan tinggal dan bekerja di sini?”

“Ya, sudah kuputuskan demikian,” Wendy tersenyum. “Bukankah ini baik? Dengan begitu kita akan sering bertemu dan akan lengket seperti perangko…,” godanya lagi.

Aku tertawa dan mencubit lengannya.

“Ke rumahku, yuk?! Ibuku memasak makanan kesukaanmu, lho.”

Wendy mengangkat bahunya, “Ayo!”

Sambil bergandengan tangan, kami berjalan menelusuri sepanjang pesisir di bawah siraman cahaya mentari senja dan melewati beberapa nelayan yang sedang bersiap-siap melaut.

Kedatangan Wendy dan keputusannya untuk tinggal di Tanjung Balai ini, telah membawa kegembiraan dan menghapus kesedihanku atas kepergian ayah menghadap sang Khalik tiga bulan yang lalu akibat penyakit jantung.

Aku tahu, bukan hanya aku yang merasakan kegembiraan ini, melainkan ibu dan Bang Andri—abang sulungku—juga. Sebab, mereka amat menyayangiku dan juga Wendy. Bagi ibu dan Bang Andri, Wendy sudah bagaikan anak dan saudara sendiri.

***

Medio Oktober 2009.

Belum setahun aku menikmati kebersamaan dengan Wendy di kota yang sama, aku kembali harus menghadapi kenyataan untuk menjalin hubungan jarak jauh dengannya akibat usahanya yang gagal di Tanjung Balai ini.

“Aku tak punya pilihan lain, Tri. Keadaan semakin sulit. Aku terpaksa pulang ke Rantau…,” ucap Wendy siang itu.

“Lalu… Bagaimana dengan aku? Bagaimana dengan kita?” Aku tak dapat menyembunyikan kesedihanku mendengar Wendy akan kembali ke Rantau dan bekerja seperti dulu lagi. Itu berarti, selanjutnya kami hanya akan bertemu sekali dalam sekian bulan.

“Setelah keadaan keuanganku membaik, aku akan segera melamarmu, Tri. Percayalah…”

Aku menunduk.

“Bukankah dulu kita juga begitu? Jarak Tanjung Balai-Rantau Prapat bukanlah kendala yang bisa mengikis rasa sayangku padamu, Tri. Dulu demikian, nanti juga tak akan berubah…” Wendy berusaha menghiburku. “Lagipula, bukankah kedatangan orangtuaku ke rumahmu tempo hari juga telah mengukuhkan betapa aku dan keluargaku serius terhadap hubungan kita?”

Kuusap pelan airmataku yang turun tanpa dapat kucegah.

“Bersabarlah, Tri….”

Genggaman tangan Wendy seolah memberiku kekuatan untuk menghadapi perpisahan ini. Meski amat mencintai Wendy, aku tak kuasa menahannya dalam keadaan yang sulit ini. Akhirnya, hanya doa dan harapan yang mampu kutitipkan padanya.

***

Awal Juni 2010.

“Wen, kemarin Bang Andri menanyakan hubungan kita…,” kutunggu jawaban Wendy dari seberang telepon.

“Tri, aku sangat sibuk akhir-akhir ini. Kondisi keuanganku belum begitu baik. Kamu mau, ‘kan, bersabar menungguku?”

“Ya, tapi…” Aku tak tahu apakah harus memberitahu Wendy perihal ibu dan Bang Andri yang terus-menerus menanyakan bilakah kedatangan Wendy untuk melamarku.

“Sabar, Tri. Aku pasti menepati janjiku untuk melamarmu.”

“Hmmm…”

“Tri, sudah dulu, ya. Aku sedang sibuk. Akan kutelepon lagi nanti, ya?!” terdengar nada telepon diputus.

Akhir-akhir ini Wendy memang tak pernah lagi mengobrol lama denganku di telepon. Pertemuan kami yang terjadi sebulan sekali pun kini mulai tak terjadwal.

Aku bisa merasakan sikap Wendy mulai berubah. Mungkinkah Wendy…? Ah, aku tak ingin berpikir yang tidak-tidak. Wendy pasti sangat sibuk, seperti katanya. Aku seharusnya tetap memberinya kepercayaan sebesar rasa sayangku padanya. Ya, aku akan tetap menunggunya dan berdoa untuk segala yang terbaik bagi Wendy.

***

Akhir April 2011.

Siang ini, counter sepi.

‘Hai. Apa kabar, Nicky?’ sebaris teks kukirim ke wall FB Nicky, adik kandung Wendy, tak lama setelah dia mengonfirmasi pertemanan denganku.

Rasanya amat senang bisa menemukan Della dan Nicky di situs pertemanan FB ini. Hanya Wendy yang tak kutemukan di FB.

Setelah lama menjelajah di FB, aku mulai jenuh. Iseng, aku membuka album foto Nicky. Lembar demi lembar fotonya yang terpampang, kemudian memaksa mataku terbelalak. Dan, detik berikutnya jantungku serasa berhenti berdetak tatkala melihat foto-foto pada albumnya yang berjudul ‘Pernikahan Abangku’.

Aku tak mau memercayai apa yang ada di hadapanku. Tidak! Wendy dan seorang gadis terlihat bersama dalam balutan baju pengantin dan sedang tersenyum bahagia. Berulang kali kucoba meyakinkan hatiku bahwa penglihatanku salah. Namun, sia-sia! Airmataku runtuh tanpa dapat kubendung. Inikah jawaban atas penantianku selama ini?

Rasanya kakiku terlalu lemah untuk berpijak di bumi ini lagi. Tiddaaakkk…! Tanpa sadar aku berteriak dan berlari menerobos orang-orang yang ada di sekitarku, tanpa memedulikan tatapan heran mereka yang terkejut. Aku terus berlari dan berlari menyeberangi jalan raya di antara makian dan suara klakson mobil yang berlalu-lalang. Ya, aku tak lagi memiliki rasa lain kecuali rasa sakit, perih, dan sesak di dadaku.

***

Tanjung Balai, hari ini.

Setengah tahun sudah aku menyimpan luka di dadaku. Tak kepada siapa pun aku menceritakan perginya Wendy meninggalkanku dalam janji-janjinya yang dulu kerap kupegang teguh. Tak kepada ibu dan juga Bang Andri. Aku tak tega menyakiti ibu dan tak ingin melihat kekecewaan Bang Andri. Sebab, merekalah orang-orang yang selama ini mengasihiku dengan setulus hati.

Namun, hari ini kepada seorang sahabatku, kuceritakan segalanya. Ya, segalanya; tentang rasa sayangku kepada Wendy yang demikian tulus, dan segala janji Wendy kepadaku yang tak pernah ditepatinya, hingga luka menganga yang digoreskannya di nadiku.

Akan tetapi, meski aku pernah tersakiti, namun aku juga telah memaafkan dan juga telah memberi ucapan selamat disertai doa setulusnya kepada Wendy atas pilihan hidupnya—meski hanya melalui Della.

Ya, ketika Wendy telah memilih wanita lain dan menikah, aku telah menjadi masa lalunya. Sebagai masa lalu, aku sudah seharusnya merelakan segala janji dan kenangan yang pernah dijalani bersamanya berlalu seiring waktu. Sebab, aku percaya Tuhan masih menyimpan rahasia indah-Nya untukku.

Akhir Oktober 2011

Diterbitkan Harian Analisa, Medan, 16 November 2011

Cerpen ini ditulis berdasarkan kisah nyata dan atas permintaan pemilik kisah.

Posted by Art Dimension
Art Dimension Updated at: 3:18 PM

Sunday, December 25, 2011

Malam Natal 12 Tahun Silam

Malam Natal 12 Tahun Silam
Oleh: Lea W
"APA acaramu Natal nanti?"
Alisku mengernyit, membaca sebaris teks pendek yang muncul di layar ponsel. Acaraku? Pertanyaan itu membuatku bingung beberapa detik. Sebagai seorang ateis berusia tiga puluh tahunan yang masih belum berkeluarga dan hidup jauh dari orangtua serta saudara, tentu aku hanya memeroleh sedikit santai di libur Natal, tanpa ada acara ataupun kegiatan bermain salju di luar rumah, seperti apa yang biasanya dapat dilakukan warga Jepang yang beberapa di antaranya juga ateis. Ini negara tropis, malam jelang tanggal 25 nanti aku pun tetap perlu menyalakan AC untuk tidur.
Tiba-tiba ponselku telah bergetar dalam genggaman. Farhat, rekan kerjaku ini memang tak memiliki kesabaran yang baik.
"Ya?!"
"Kau menerima SMS-ku?"
"Iya, aku sedang mengetik balasan untukmu," bohongku, "kau benar-benar tak sabar...," kemudian tersenyum sinis.
“Lalu?”
“Ada apa? Seharusnya kau tahu, ‘kan? Bagiku Natal tak lebih dari kalender merah, karena aku bukan seorang Kristiani... Paling-paling aku dapat sedikit bersantai di rumah. Dan itu pun mungkin harus kulakukan sambil membuka tablet memeriksa data-data pekerjaan kantor...”
“Jangan berkata seperti itu... Fisikmu terbentuk dari daging, bukan besi... Bagaimana kalau kau bersamaku? Ya, kita merayakan malam Natal bersama, tentunya di gereja...”
Aku terdiam sesaat. Ini bukan pertama kalinya aku diajak ke gereja. Malam Natal dua belas tahun silam aku juga diajak seseorang untuk ke gereja. Aku memboncenginya ke sana, tapi pulangnya kami...
“Hei...!” panggil Farhat sedikit kesal. Konsentrasiku kembali dari masa lalu.
“Ya?” jawabku cepat.
“Kau mau?”
“Aku...” Farhat pasti sadar, nadaku seperti seorang anak kecil yang sedang mencari-cari alasan untuk menolak tidur siang.
“Aku bukan mengajakmu ke suatu tempat yang menjerumuskan. Sekadar mengajakmu untuk pergi merasakan kebahagiaan bersama, mengapa tidak? Gereja senantiasa menyambut orang-orang yang bertujuan memeroleh kebahagiaan di sana. Kalaupun kau seorang non Kristiani, setidaknya kau akan memeroleh kesan dan pengalaman menyenangkan di...”
“Oh, ya, ya... Aku tak meragukan niat baikmu... Baiklah, baiklah, aku terima...,” potongku cepat. Mungkin Farhat mengira aku meragukan niat baiknya. Aku tak boleh membiarkannya memberi penjelasan lebih dari penjelasan panjang lebar yang baru ia berikan, kalau tak mau dianggap sebagai orang yang tak tahu menghargai sahabat.
“Aku menjemputmu...”
“Tak perlu... Aku sendiri ke sana. Kau cukup memberitahuku waktu dan lokasinya. Ya? Sebentar...” Segera kutarik sebuah pulpen, dan menuliskan janjiku di petak tanggal 24 kalender bulanan yang tergantung di dinding sebelah kiri meja kerja di kamarku.
*
MALAM tanggal 24, pukul 18.20 aku telah tiba di gereja yang dimaksud oleh Farhat. Tengah mencari tempat untuk memarkirkan mobil, dari spion kuperhatikan Farhat yang tadinya berdiri menunggu di ambang pintu gereja—tepat di sebelah patung Santa setinggi dua meter—kini telah mendapati kedatanganku dan berlari-lari kecil ke arahku. Aku sengaja tiba 40 menit sebelum acara dimulai agar tak ada yang perlu panik atau kesal menungguku, namun tetap saja aku ditunggu oleh pria yang tak sabaran ini.
“Kau tepat waktu,” ujar Farhat begitu kuturun dari mobil. Wajahnya berseri-seri. Dari belakangnya, kudapati isteri dan kedua anaknya juga menyusul datang. Wajah mereka juga berseri-seri. Tentu saja pikirku, malam ini adalah malam istimewa bagi umat Kristiani di seluruh dunia. Mereka akan merayakan kelahiran Sang Penyelamat.
Senyum, inilah ekspresi yang wajib kupasang agar dapat turut berbaur merayakan Natal. Setidaknya, aku telah memutuskan datang, dan aku juga harus dapat merasakan perdamaian pada malam ini. Aku sadar, luka dua belas tahun silam masih belum sembuh total. Tetapi, setidaknya aku harus tetap menjadi makhluk sosial yang sanggup mengendalikan batin dan emosi di depan umum. Aku tak mungkin menunjukkan ekspresi frustrasi pada malam ini, kalaupun malam dua belas tahun silam aku kehilangan seseorang. Aku mungkin terperangkap dalam masa lalu, namun biarlah cukup aku sendiri yang tahu.
*
“AH, ya... Masih ada waktu...,” ujar Farhat jelang acara dimulai, “Kau mau membantu kami?” tanyanya seraya menatap ke arahku. Ia menyodorkan sebuah kamera digital kepadaku, kemudian menunjuk patung Santa yang berada di ambang pintu tadi. “Tolong ambil foto kami sekeluarga bersama Santa itu...”
“Tak masalah...”
Aku mengambil posisi dari dalam, menghadap ke luar gereja, jarak sekitar empat setengah meter dari Farhat sekeluarga yang telah bersiap bergaya di sebelah Santa. Tentu aku bukan seorang fotografer profesional, namun sebisa mungkin aku harus menjepret dengan baik.
“Tiga..., dua..., satu...!” Ciklek! Flashlight menyambar sesaat.
Seraya berjalan menghampiri Farhat, aku coba memeriksa hasil jepretanku dengan kepala yang sedikit menunduk. Ah! Bukankah ini... Aku dikejutkan sesosok perempuan yang kebetulan tertangkap oleh kamera! Ia berada di luar gereja, sedang keluar dari sebuah taksi! Lekas aku mengangkatkan kepala mencoba mencari sosok itu. Sudah hilang...
“Christiana... Tak mungkin... Aku yakin itu dia...,” gumamku tanpa sadar.
“Ada apa?” Farhat bertanya penuh kecurigaan.
Aku menghela nafas. Seharusnya ketika membidik tadi aku harus segera menyadarinya. Tidak, andaikan malam ini adalah satu-satunya kesempatan untukku, berarti tak boleh kulewatkan begitu saja! Dengan langkah yang berat aku berjalan melewati Farhat begitu saja—pundak kami sempat bertubrukan—dan keluar dari gereja. Seraya berjalan buru-buru, kepalaku celingak-celinguk seperti seorang bapak yang tengah kehilangan anak di keramaian.
Farhat memanggilku. Panggilannya berhasil menyetop langkahku yang masih belum jauh darinya. “Kau mau ke mana?” Ia menghampiriku. “Acara akan segera dimulai... Kau seperti orang yang sedang kebingungan.”
Alisku mengernyit, demikian juga alis Farhat. Benar saja, tingkahku barusan mungkin akan membuat sahabatku tersinggung. Belum tentu perempuan itu Christiana, kendati ia sungguh mirip. Aku sungguh egois. Mengapa sama sekali tak terpikirkan olehku? Bahkan aku baru sadar, kamera digital Farhat pun masih berada di genggamanku, dan mereka sekeluarga belum sempat melihat hasil fotonya.
Ah, sudah semestinya aku bersabar hingga acara selesai. Bukan tak mungkin Farhat akan memaklumiku, bila kukatakan baru saja aku melihat Christiana di luar sana. Namun bila itu yang kulakukan, berarti aku telah sukses menghancurkan acara Natal Farhat sekeluarga. Pria itu pasti akan meninggalkan anak isterinya, dan membantuku mengejar bayangan Christiana yang padahal selama ini hanya pernah ia kenal dari cerita-ceritaku.
*
UMAT Kristiani yang memadati seisi gereja tengah berdoa dengan khusyuknya. Kedua tangan mereka dikepalkan di depan dada. Wajah mereka memancarkan ekspresi kebahagiaan yang damai. Seorang ibu-ibu yang berdiri di dekat pohon Natal yang berhiaskan bola-bola warna-warni menghapus airmata, namun tetap tersenyum damai. Mungkin itu adalah sebentuk ucap syukur akan keagungan Sang Juru Penyelamat—Yesus Kristus—yang telah mendatangkan perdamaian untuk dunia.
Aku tak begitu percaya, malam itu seorang ateis juga terdorong untuk turut mengepalkan kedua tangan di depan dada dan berdoa dalam hati; Pertemukanlah kembali aku dan dia... Perempuan yang bernama Christiana masih tak tergantikan oleh siapa pun di dalam hatiku, Tuhan Yesus... Amin...
Acara dilanjutkan dengan pertunjukan vokal yang bertemakan kelahiran Yesus Kristus...
*
DARI jarak lima belas meter, kuperhatikan sesosok perempuan pincang yang tengah berjalan ligat dibantu oleh sepasang kruk yang dikapit di ketiak. Parasnya cantik, tetapi rambutnya yang terayun-ayun mengikuti gerak langkahnya yang pincang seolah memburamkan semua itu.
Farhat menghampiriku.
“Lihatlah perempuan itu...,” kataku tanpa mengalihkan pandangan.
“Aku tahu. Namanya Larita. Ia adalah perempuan yang setiap Minggu selalu datang ke sini untuk mengikuti kebaktian. Dulu dia berasal dari kota ini, namun berpindah ke luar negeri untuk waktu yang cukup lama, dan terakhir ia kembali lagi, baru kemudian berkenalan dengan kami di sini.”
Aku mengangguk pelan. “Aku tahu, aku sangat mengenalinya...” Mataku basah. “Nama lengkapnya adalah Larita Christiana. Dialah perempuan yang pernah kuceritakan kepadamu... Perempuan yang mengalami kecelakaan di malam Natal dua belas tahun silam. Sungguh tak habis pikir, hari ini aku akan kembali bertemu dengannya di gereja ini.”
Farhat sedikit terkejut dengan apa yang baru kukatakan. “Maksudmu... perempuan yang dulunya kuliah bersamamu itu? Me...mengapa kau tak mengejarnya?”
“Aku tak pernah ingin berhenti mengejarnya. Tapi aku kehilangan bayangannya. Orangtuanya memutuskan untuk membawanya berobat ke luar negeri. Dan ia tak pernah kembali lagi sejak saat itu. Mungkin juga itu adalah sebuah strategi agar putri mereka tak lagi menaruh harapan mencintai seorang pria yang sama sekali tak mengalami luka berarti dalam insiden tersebut. Mereka meragukanku. Mereka berpikir aku pasti akan mencampakkan putri mereka setelah insiden itu.
“Keadaannya jauh lebih parah saat itu, bila dibandingkan dengan sekarang. Ia dibawa pergi dalam keadaan koma... Tak banyak anak muda di masa itu yang memiliki ponsel pribadi untuk tetap menjaga hubungan dengan orang-orang terkasih. Selama dua belas tahun ini aku sempat berpikir, mungkin ia tak lagi berada di dunia ini...”
Farhat menepuk punggungku. “Berhentilah mengorek kenangan lama. Hampirilah dia... Kini kau memiliki harapan baru.”
Aku bersyukur. Benar, harapan dari-Nya. Inilah pertama kalinya aku kembali menyebut-Nya, setelah dua belas tahun menjalani hidup bagaikan kapal yang kehilangan arah...
*
kamarrenung, 2011
gambar: Analisa
Posted by Art Dimension
Art Dimension Updated at: 5:07 PM

Thursday, December 22, 2011

Kidung Kasih

(Sebuah Renungan untuk Para Anak di Hari Ibu)

Oleh: Liven R


Besar kasihmu, Ibu

melebihi kasih rembulan terhadap malam

yang ‘kan indah hanya bila purnama…

seumpama surya menerangi bumi,

pun sesekali terhalang mendung…


Besar kasihmu, Ibu

menantang ego waktu

tiada terkikis tiupan angin maupun badai…


Di masa kecilku,

gerimis malam yang jatuh di atap

adalah dongeng tentang dewi kasih

yang merinaikan cinta di beranda hati kita

atau, kisah tentang istana nun jauh di sana

yang berselimut awan kebahagiaan…

hingga, aku terlelap dalam pelukan hangat

bersama senyum dan impian

‘tuk menggapai bintang nan tinggi di langit…


Kala itu, lukisan budi dan bakti di setiap tutur teladanmu

adalah cermin tempatku berkaca yang teramat bening…

dari musim ke musim,

bunga cintamu tak ranggas di tangkai jiwaku…


Seiring waktu,

terlalu banyak lelah dan kecemasan akanku

tercecer di pusaran masa-masaku beranjak dewasa…

Ada airmata dan doamu yang tak pernah kering

tatkala peristiwa dunia telah menjelmakan rintihan pilu

memenuhi ruang batinku…

amarah dan kecewa kerap kualamatkan padamu…

kulangkahkan kaki jauh dari dekapanmu…

nasihat dan teguranmu,

adalah hembusan angin yang tak meninggalkan jejak

walau hanya berupa setitik debu….


Kini, terlalu sulit untuk mengingat kembali

cermin lukisan budi dan bakti di kala kecil itu…

dan, kerap kutumbuhkan ribuan tanganku mengetuk pintu neraka

hingga, membarakan api pemusnah raga…


Namun, besar kasihmu, Ibu…

senantiasa memadamkan bara

dan menawarkan kembali surga untukku

dengan ribuan maaf dan maaf

yang tak pernah habis…


Semenjak tangisan pertamaku, Ibu

detik telah berparas dasawarsa….

bila kini ada yang kusesalkan,

adalah sosokmu yang kian menuju tua

dan helai-helai putih di pelipis itu…


Ah, mengapa kita membiarkan

waktu berlari demikian cepat?

mengapa kita lupa menghentikan waktu?

tidakkah kita sanggup memutar kembali

masa-masa seperti dulu?


Andai kusadari sejak dulu,

tak ‘kan kubiarkan musim semi berganti gugur

tanpa baktiku untukmu…


Namun, bukankah masih ada waktu?

mari dengarkan bisikan hatiku, Ibu

:maafkan aku, untuk segala tangis dan kecewa

yang pernah kulukiskan di dadamu…

terima kasih untuk pelukan dan cintamu

yang telah menemani di sepanjang perjalanan hidupku…

mari biarkan musim dingin tahun ini

hingga jutaan helai almanak kelak,

berlalu dalam kehangatan cinta kita…

Medan, akhir Nopember 2011

*E-mail: lie.liven@gmail.com

*Blog: myartdimension.blogspot.com

(Harian Analisa, 18 Desember 2011)

Posted by Art Dimension
Art Dimension Updated at: 11:02 PM

Sunday, December 18, 2011

Menentukan Jaringan dan Mencari Sinyal Nokia

Pernahkah Anda ingin melakukan panggilan video, tetati ponsel Nokia Anda tidak memiliki sinyal 3G? Atau, pernahkah ponsel Nokia Anda kehilangan sinyal--bahkan hanya sinyal 2G sekalipun--hingga berjam-jam atau seharian? Hmm... Tentu mengecewakan. Namun, sebenarnya setiap ponsel memiliki fungsi untuk menentukan jaringan dan mencari sinyal secara manual. Silakan Anda perhatikan caranya di bawah.

Menentukan jaringan:

Secara default, setting pada ponsel Nokia dapat menerima dua jenis jaringan sinyal secara bergantian (2G dan 3G), tergantung jaringan mana yang sedang dalam keadaan lebih kuat. Namun, Anda dapat menentukannya secara manual, jaringan mana yang ingin Anda terapkan, dan mematikan yang satunya lagi.

Misalkan Anda ingin melakukan panggilan video, tetapi sinyal yang muncul hanya sinyal 2G saja, maka Anda perlu mematikan jaringan 2G tersebut, agar dapat memunculkan sinyal 3G yang tidak berubah-ubah. Atau sebaliknya, Anda ingin menghemat tenaga baterai, lebih memilih menggunakan sinyal 2G, dan ingin mematikan jaringan 3G.

Caranya, masuk ke "Pengaturan", "Konektivitas", "Jaringan", kemudian pada kolom "Modus jaringan", pilih sesuai yang diinginkan; UMTS (3G/3,5G) dan GSM (2G).


Mencari sinyal:

Seperti yang telah ditulis di atas, terkadang ponsel bisa saja tiba-tiba kehilangan sinyal untuk waktu yang cukup lama dan sulit untuk pulih kembali. Atau, ketika hendak melakukan panggilan video, kendati jaringan 2G telah dimatikan, tetapi ternyata sinyal 3G tetap saja tidak dapat muncul. Untuk itu, Anda perlu mencari sinyal itu secara manual.

Caranya tak jauh berbeda. Masuk ke "Pengaturan", "Konektivitas", "Jaringan", kemudian pada kolom "Pilihan operator", pilih "Manual", sekalipun memang sudah dalam keadaan "Manual". Ponsel akan bekerja untuk mencari jaringan selama beberapa detik/menit, kemudian menampilkan nama-nama operator yang tersedia. Pilihlah sesuai dengan operator yang Anda gunakan. Jika tak ada nama operator bersangkutan, silakan ulangi langkah memilih "Manual" yang terdapat pada kolom "Pilih operator".


Apabila ponsel tetap tak berhasil menangkap nama operator bersangkutan, berarti Anda benar-benar sedang berada di luar jangkauan operator. Jangan memaksakan ponsel untuk terus berulang-ulang kali mencari, karena hal tersebut akan menguras tenaga baterai. Cobalah untuk bersabar atau mencari posisi lain. Ada baiknya juga Anda mengganti profil ponsel menjadi offline untuk sementara waktu, agar tenaga baterai tidak terkuras sia-sia.






Salam,
Admin
Posted by Art Dimension
Art Dimension Updated at: 9:17 PM

Melonggarkan Pengaturan Penginstalan Nokia

Ada yang mengatakan kepada saya, ia baru men-download sebuah tema ponsel, tetapi tak dapat diinstal pada ponsel Nokia-nya, sementara pada ponsel Nokia temannya justru bisa. Solusi dari masalah ini sebenarnya sangat sederhana, pengguna cukup melonggarkan pengaturan penginstalan pada ponsel tersebut, agar dapat menerima lebih banyak jenis aplikasi, tanpa perlu melalui proses pengecekan sertifikat aplikasi bersangkutan.

Dibandingkan dengan pengguna BlackBerry, iPhone, dan merek-merek lain yang beberapa tahun terakhir ini sedang menjadi trend, ponsel Nokia--yang dulunya juga sempat menjadi 'raja'--kini memang jarang diminati. Oleh sebab itu, sebenarnya saya sedikit ragu untuk menulisnya lagi. Namun, postingan ini pada akhirnya tetap ditulis dengan pertimbangan semoga dapat membantu pengguna yang masih setia dengan merek Nokia. Semoga bermanfaat! Berikut:

1. Masuk "Pengaturan".

2. Pilih "Manajer aplikasi".

3. Pilih lagi "Pengaturan penginstalan".

4. Ubah (bahasa yang tepat bukan 'rubah' ya...) pengaturan tersebut menjadi sesuai seperti yang terlihat pada gambar berikut:


Setelah menerapkan pengaturan tersebut, ponsel Nokia biasanya akan menjadi lebih dapat menerima berbagai jenis aplikasi. Namun perlu diketahui juga, dengan melonggarkan pengaturan penginstalan, berarti ponsel tersebut menjadi dapat menerima berbagai jenis aplikasi yang tanpa izin resmi, tidak terkecuali aplikasi jahat yang dapat menyebabkan kerusakan fatal!

Apabila ponsel Nokia masih tetap tak dapat menerima aplikasi-aplikasi tertentu, itu hal wajar, karena aplikasi tersebut pada dasarnya tidak dibuat untuk ponsel jenis tersebut, bukan hanya sekadar tanpa izin resmi. Solusi lain yakni dengan cara hack ponsel Nokia tersebut. Namun, saya tak pernah menganjurkan hal tersebut, karena risikonya fatal bila terjadi kesalahan. Dan itu termasuk perbuatan merusak!




Salam,
Admin
Posted by Art Dimension
Art Dimension Updated at: 9:37 AM

Entri Populer