Sunday, September 30, 2012

Keluarga, Mutiara Tiada Tara




Oleh: Liven R
Harta yang paling berharga adalah keluarga
Istana yang paling indah adalah keluarga
Puisi yang paling bermakna adalah keluarga
Mutiara tiada tara adalah keluarga…

LIRIK lagu di atas pasti tak asing lagi bagi Anda yang pernah menggemari sinetron Keluarga Cemara yang pernah populer di tahun ’90-an dan ditayangkan oleh stasiun televisi RCTI.
Film yang diangkat dari novel karya Arswendo Atmowiloto tersebut agaknya cukup membekas di hati penggemarnya (bahkan hingga hari ini) karena telah mengusung tema tentang kehidupan sebuah keluarga—keluarga Cemara—yang amat sederhana (dengan Abah seorang penarik beca) namun selalu hidup sesuai norma, saling menyayangi, rukun, dan bahagia.
Keluarga. Ya, siapa yang tak mengenal arti kata ‘keluarga’? Sebuah komunitas kecil yang terdiri dari orangtua dan anak-anak, itulah arti keluarga secara sederhana. Namun sesungguhnya, sebuah perkumpulan kecil yang terdiri dari orang-orang yang (seharusnya) saling menyayangi, mendukung dalam kebaikan, membimbing, menjaga, dan menghormati satu sama lainnya, itulah arti keluarga sesungguhnya.
Menjadi hal yang ironi ketika orang-orang bercerita mereka memiliki keluarga, namun dalam ceritanya, mereka justru tak mengenal arti keluarga yang sesungguhnya. Terhadap orang-orang yang mereka sebut keluarga, terdapat begitu banyak perselisihan, pertengkaran, amarah, bahkan sebagian telah berakhir dengan ‘putus hubungan keluarga’.
 Mengapa hal tersebut dapat terjadi? Apa saja pemicu retaknya hubungan kekeluargaan hingga menimbulkan konflik berkepanjangan? Dan, sulitkah mengupayakan kehidupan keluarga yang harmonis?
Kepedulian
Dalam hidup, tak terelakkan masalah terkadang menghampiri kita, baik tentang pekerjaan, kesehatan, keuangan, dan sebagainya. Ketika menemui masalah, apa pun itu, izinkanlah keluarga sebagai pihak pertama yang mengetahuinya. Biasakanlah untuk berbagi cerita apa saja kepada keluarga. Dengan demikian, kedekatan antar-anggota keluarga akan selalu terbina.
Sejak dulu, bukan cerita yang asing lagi jika kita mendengar seseorang mengakui bagaimana dia begitu membenci saudaranya sendiri sebagai akibat dari perebutan harta warisan, kekayaan, maupun jabatan.
Jika Anda berkesempatan mengenal kedua belah pihak bersengketa, maka Anda akan mendengar bahwa di antara mereka sama-sama merasa benar/berhak dan saling menyalahkan. Masalahnya, tak seorang pun yang mau mengakui bahwa sesungguhnya mereka sama-sama sudah merasa ‘payah’ menghadapi ‘perang’ tersebut. Menyedihkan bukan?
Profesional muda, kebajikan dan kehangatan hubungan persaudaraan adalah hal-hal yang tak ternilai dengan uang. Jika Anda diberi rejeki berlebih, bersyukurlah. Dalam persaudaraan, yang berlebih membantu yang kekurangan adalah hal yang sudah semestinya. Sebab, banyak fakta menunjukkan, memberi tidak akan memiskinkan. Memberi akan memperkaya kegembiraan dan kehangatan batin. Dan, bukankah ketika kita sama-sama meninggalkan dunia ini, harta dan kekuasaan tak ikut dibawa? Lantas pantaskah harta dan kekuasaan menjadikan hubungan kekeluargaan renggang?
Kejujuran dan kesetiaan
“Dia tak pengertian!” Terlalu sering sudah kita mendengar keluhan seperti ini keluar dari mulut pasangan suami-istri yang sedang bertengkar. Terlalu idealis memang jika ada pasangan suami-istri yang tak pernah bertengkar, ya? Namun, alih-alih selalu menuntut untuk dimengerti, sudahkah Anda menjadi seorang yang penuh pengertian untuk pasangan Anda?
Sebuah riwayat pernikahan seseorang pernah berkisah; ketika menikah, suami-istri tersebut adalah pasangan yang belum memiliki apa-apa. Bersama, mereka berjuang membuka usaha dari nol hingga mampu membeli rumah mewah dan memiliki segalanya. Namun, masalah mulai muncul. Sang suami mulai merasa tak cukup hanya memiliki seorang istri. Sementara sang istri mulai merasa tanpa suaminya, masih banyak lelaki lain yang bisa membahagiakannya. Pertengkaran demi pertengkaran pun akhirnya jatuh pada pilihan perceraian. Rumah dan anak-anak kemudian menjadi harta yang harus dibagi secara hukum.
Mungkin kita tak pernah mampu mengerti apa sesungguhnya pemicu retaknya hubungan pernikahan seseorang. Namun, jika berpaling kembali pada usaha dan perjuangan yang pernah diupayakan bersama, tidakkah sebuah keluarga yang utuh sudah sewajibnya dipertahankan, apa pun alasannya?
Sekadar berbagi, ketika penulis berkesempatan mengenal dan mendidik anak dengan latar keluarga yang memiliki riwayat perceraian orangtuanya, mereka adalah anak-anak yang ‘tidak mudah’. Tekanan psikologi akibat perceraian orangtua, pengasuhan oleh pihak lain selain orangtua (pasca perceraian orangtua) sering menyebabkan anak tumbuh dalam karakteristik yang kasar, sulit diatur, pembangkang, krisis kepercayaan, dan berpotensi menjadi ‘remaja nakal’. Sebuah fenomena yang amat menyedihkan!
Agaknya gambaran singkat dari dampak buruk akibat tidak utuhnya sebuah keluarga karena perceraian, dapat menjadikan kita semua (yang telah menikah) untuk sebisa mungkin bertanggung jawab terhadap keluarga, mengekang diri dari hal-hal yang tak semestinya, selalu berpedoman pada rambu-rambu pernikahan, serta selalu jujur dan setia kepada pasangan.
Jadi, kata ‘pengertian’ hendaklah bukan menjadi sebuah tuntutan yang selalu kita harapkan dari pasangan, melainkan adalah sebuah usaha. Usaha dari diri kita untuk pasangan dan keluarga kita.
Saling membantu, menyayangi, dan menghormati
Profesional muda, bagaimana cara Anda dan keluarga menyelesaikan pekerjaan di rumah Anda?
Percaya atau tidak, di keluarga penulis, mencuci piring kerap menimbulkan masalah! Ya. Masalahnya, kami (penulis bersama kakak dan Mama) selalu berebutan untuk mencuci piring-piring kotor yang ada. Hehehe….
Siapa pun yang lebih dahulu mencapai tempat cucian, akan merasa bagaikan pemenang. Tak jarang banyak canda dan tawa yang mengalir tatkala kami berebutan dengan saling mengaku sebagai pencuci terbersih untuk ‘merayu’ agar yang lain menyingkir (baca: dapat beristirahat).
Ini tentunya bukan tentang hak maupun kewajiban dalam membagi pekerjaan di rumah, namun lebih kepada adanya sebentuk kasih dan kepedulian yang mampu menghangatkan jiwa meski hanya sesederhana sebuah pekerjaan mencuci piring saja.
Mungkin terdengar konyol, tapi jika Anda ingin merasakan betapa indahnya sensasi suatu kebersamaan, tak ada salahnya Anda mencoba berebut cucian piring, tumpukan baju untuk dilipat, atau bersama-sama membayar suatu barang yang dibeli (meski bukan barang kebutuhan sendiri) di rumah Anda mulai hari ini.
Dapat membantu meringankan beban saudara dan orangtua adalah suatu berkah. Masa-masa kebersamaan dengan keluarga adalah sesuatu yang tak kekal. Ketika kita masih diberi-Nya kesempatan bersama, hargailah selalu jodoh kekeluargaan yang ada.
Keegoisan membarakan amarah dan menghancurkan hubungan kekeluargaan. Pengertian dan kasih sayang mampu menumbuhkan semangat hidup untuk menghadapi berbagai cobaan dan kesulitan hidup.

*E-mail: lie.liven@gmail.com
Harian Analisa—TRP, hlm. 20, edisi 30 September 2012


Posted by Art Dimension
Art Dimension Updated at: 3:31 PM

Sunday, September 23, 2012

Harmoni dalam Festival Kue Bulan



Oleh: Liven R
PROFESIONAL Muda, dalam keharmonisan pembauran etnis dan kemajemukan budaya di Indonesia, Anda tentu pernah mendengar Festival Kue Bulan/Festival Pertengahan Musim Gugur (Mid Autumn Festival/Zhong Qiu Jie), yang mana dirayakan oleh etnis Tionghoa pada bulan delapan tanggal lima belas—kalender Lunar—bertepatan dengan terjadinya fase bulan purnama.
Meski berasal dan dilestarikan secara turun-temurun di Tiongkok, festival ini juga dirayakan oleh masyarakat etnis Tionghoa peranakan di seluruh dunia, termasuk Indonesia, dengan berpedoman pada kalender Lunar.
Di Indonesia, perayaan Festival Kue Bulan biasanya selalu diisi dengan berbagai acara dan kemeriahan yang berbeda-beda. Beberapa restoran maupun tempat wisata, bahkan menawarkan berbagai alternatif hiburan dalam merayakan festival ini.
Bagaimana sesungguhnya asal mula diadakannya Festival Kue Bulan?
Dalam legendanya di Tiongkok, terdapat dua versi yang menceritakan asal mula Festival Kue Bulan. Mari simak, ya?!
Chang’er terbang ke bulan
Dikisahkan, pada zaman dahulu langit memiliki sepuluh buah Matahari. Suatu ketika, sepuluh Matahari tersebut bersama-sama muncul di angkasa dan menyebabkan Bumi mengalami kekeringan dan panas yang amat sangat.
Pada saat itu, seorang pemuda bernama Hou Yi dengan gagah berani memanjat ke atas Gunung Kun Lun dan dengan panah saktinya memanah sembilan matahari yang ada dan menyisakan hanya satu untuk tetap menerangi dan menghangatkan Bumi.
Atas jasanya tersebut, kaisar menghadiahkan Hou Yi sebotol ramuan awet muda yang dapat membuatnya hidup kekal. Dan tak lama berselang, Hou Yi pun diangkat menjadi kaisar.
Akan tetapi, Hou Yi yang beristrikan Chang’er—seorang wanita yang cantik jelita—lambat laun menjadi sombong dan berlaku kejam.
Mengkhawatirkan apabila suaminya yang kejam hidup kekal, rakyat akan menderita di bawah kekuasaannya, Chang’er pun diam-diam mencuri ramuan awet muda tersebut dan mereguknya hingga habis saat Hou Yi sedang pergi.
Sesaat setelah mereguk cairan tersebut, tubuh Chang’er menjadi ringan dan melayang-layang di udara.
Saat itu, bertepatan dengan bulan delapan tanggal lima belas (Lunar kalender) dan Bulan di langit sedang dalam fase purnamanya.
Mengetahui bahwa dirinya akan melayang semakin jauh dari Bumi, Chang’er segera meraih kelinci kesayangannya, kemudian bersama-sama melayang sampai ke Bulan dan menetap di sana selamanya.
Sejak saat itu, rakyat Tiongkok yang mengetahui pengorbanan Chang’er setiap tahun selalu menyediakan kue, buah-buahan, dan segala makanan kesukaan Chang’er di atas sebuah altar yang di hadapkan ke Bulan sebagai persembahan dan rasa terima kasih kepada Chang’er (sang Dewi Bulan), dan seolah melihat Chang’er dan kelincinya di bulan purnama pada setiap tanggal dan bulan yang sama.
Perjuangan rakyat Tiongkok
Dahulu kala, dikisahkan rakyat Tiongkok hidup menderita di bawah penjajahan Mongol.
Suatu ketika seorang aktivis bernama Zhu Yan Chang bersama deputi seniornya, Liu Po Wen, mendapati suatu cara untuk mengajak rakyat Tiongkok berevolusi merebut kembali kekuasaan Tiongkok. Karena pengawasan yang ketat dari tentara Mongol, pesan yang berisi ajakan untuk memberontak tersebut kemudian ditulis pada kertas dan diselipkan ke dalam kue (berbentuk bulat) untuk dibagi-bagikan kepada rakyat.
Dengan menyamar sebagai pendeta Tao, Liu kemudian menyebarkan isu bahwa barangsiapa yang memakan kue tersebut pada tanggal lima belas bulan delapan Lunar, bertepatan dengan bulan purnama, akan terbebas dari penyakit dan segala kesengsaraannya.
Pada hari yang dimaksud, rakyat pun beramai-ramai memakan kue tersebut dan menemukan pesan serta peta tersembunyi di dalamnya.
Sesuai rencana Zhu dan Liu, mereka bersama-sama melakukan perlawanan dan akhirnya berhasil mengalahkan pasukan Mongol.
Sejak saat itu, setiap tanggal lima belas bulan delapan Lunar, rakyat Tiongkok selalu merayakan Festival Pertengahan Musim Gugur dan menyebut kue berbentuk bulat yang telah berjasa tersebut sebagai ‘kue bulan pertengahan musim gugur/zhong qiu yue bing’.
Makna perayaan
Di masa lalu, perayaan Festival Kue Bulan sangat kental dengan tradisi menyembahyangi Dewi Bulan. Adapun benda-benda persembahan yang wajib ada adalah: kue bulan (dengan bagian tengah berisi kuning telur asin yang melambangkan terang bulan), kue putu wijen (yang bergambar Dewi Bulan), biskuit (dengan bentuk pistol-pistolan, kakek tua, dan ikan), teh, buah pomelo/jeruk bali, dan buah-buahan lainnya.
Sebagai tambahan bagi keluarga yang memiliki anak gadis, persembahan dapat ditambah dengan sekotak bedak bergambar Dewi Bulan yang konon dipercaya dapat membuat si anak gadis tumbuh sehat dan cantik (bagaikan Dewi Bulan) setelah memakainya. Di masa kecil penulis, rangkaian tradisi ini juga kerap diadakan dan dinantikan, bukan hanya sebagai momen pelestarian tradisi nenek moyang, namun lebih kepada kesukacitaan dalam bermain lampion yang beraneka bentuk.
Dewasa ini, selain mengacu pada legenda yang ada, Festival Kue Bulan lebih sering dimaknai sebagai hari berkumpulnya sanak keluarga di saat bulan bersinar paling terang dalam fasenya setahun.
Bulan dan kue yang bulat dalam hal ini memiliki makna kebersamaan (‘bulat—yuan’ dalam tradisi Tionghoa melambangkan keutuhan). Jadi, pada malam berlangsungnya festival, biasanya orang-orang dewasa dan sanak keluarga yang dituakan akan berkumpul, mengobrol sambil memandang bulan serta menikmati kue bulan dengan sepoci teh hangat.
Seiring perubahan zaman, agaknya prosesi menyembahyangi Dewi Bulan pun mulai langka terlihat di negara kita. Begitu juga dengan kegiatan bermain lampion di kalangan anak-anak terlihat mulai tergeser oleh modernisasinya permainan dan tak lagi diminati. Namun meski demikian, tradisi memproduksi dan mengonsumsi kue bulan di setiap pertengahan bulan delapan Lunar tetaplah tak terkikis zaman.
Selain itu, Festival Kue Bulan ternyata juga telah menjadi sebuah momen yang mendekatkan tali silaturahmi antar-masyarakat. Hal ini terbukti menjelang Festival Kue Bulan, masyarakat Tionghoa akan membeli dan menghadiahkan kue bulan kepada sahabat maupun keluarga dekatnya sebagai simbol saling menghormati.
Lebih dari itu, kue bulan yang dahulu diproduksi hanya dengan minyak hewani, belakangan pun telah banyak diproduksi dengan minyak nabati dan berlabel ‘vegetarian’. Dengan demikian, kue bulan dengan aneka bentuk dan warna yang indah serta nikmat, telah menjadi sesuatu yang pun dapat dinikmati oleh semua kalangan dari berbagai etnis dan agama.
Festival Kue Bulan tahun ini jatuh pada tanggal 30 September 2012, mari berharap agar langit cerah pada malam festival tersebut, ya?! Hehehe…! Dan, dengan siapa saja Anda berencana akan memandang indahnya bulan purnama?
Apa pun, semoga Festival Kue Bulan semakin mendekatkan kebersamaan Anda dengan keluarga maupun sahabat.  Happy Mid Autumn Festival!
Medan/bs
Harian Analisa, Taman Remaja Pelajar, 23 September 2012

Posted by Art Dimension
Art Dimension Updated at: 11:19 AM

Sunday, September 2, 2012

Diari dan Kenangan Bersama Papa


Oleh: Liven R

“VIN, lihat isi lemari ini! Apakah semua buku ini masih terpakai? Mama rasa ada baiknya kamu memilih buku mana yang masih mau dipakai dan yang tidak, supaya bukumu yang teronggok di atas mejamu dapat dimasukkan ke sini.” Sabtu pagi itu mama menegurku. “Lihat, bukumu di lapisan dalam penuh debu! Sudah berapa lama tak kamu sentuh?” tambah mama sambil memandang isi lemariku.
“Ya, Ma. Akan kubersihkan dan kubereskan nanti.”
“Sekarang saja. Tunggu apa lagi? Hari ini Mama lihat kamu cukup santai…”
“Oke, Ma!” Aku beranjak keluar dari kamar diikuti mama dari belakang. Kuambil ember kecil, kuisi sedikit air supaya tak terlalu berat dan kuambil sepotong kain, lalu aku kembali ke kamar.
Ups...! Benar kata mama, lapisan dalam lemari memang penuh debu. Perlahan kukeluarkan tumpukan buku itu dan kuletakkan di atas meja di samping lemari.
Braakk...! Sebuah buku berwarna biru terjatuh ke lantai. Kuambil dan kuperhatikan. Penuh debu. Dengan kain basah kulap permukaannya. Oh, ternyata buku harian lamaku! Kubuka lembarannya dan kubaca isinya. Ada pengalaman lucu di sana.
“Vin, sudah gila, ya? Kok, senyum-senyum sendiri?” Tiba-tiba mama sudah berdiri di belakangku.
“Ah, tidak, Ma…” Cepat-cepat kututup buku biru itu. Mama beranjak keluar setelah mengambil sesuatu. Iseng, kembali kubuka buku harian lamaku. Kali ini pada bagian tengahnya. Kucari tanggal yang menurutku bermakna
.
18 Oktober 1998.
Minggu, cerah.
Pukul: 20.15 WIB.
Jumpa lagi, Emon!
 Hari ini aku berulang tahun yang ke-15. Beri aku ucapan selamat, ya! Apakah kamu mau memberiku sesuatu dari kantong ajaibmu? He…he… Pasti tidak!
Mon, hari ini aku sudah menerima banyak kado dari Mama, Lyn, Wyn, dan Lei. Hanya Papa yang tak memberiku kado, karena beberapa hari ini keadaan Papa tak membaik. Sakit di dadanya kerap dia rasakan sepanjang hari. Tapi, Mon, Papa memberiku sejumlah uang sebagai ganti kado yang tak bisa dia berikan tahun ini. Aku menolak, tapi Papa mengatakan hadiah ulang tahun tak boleh ditolak. Papa mau aku memilih sendiri barang apa yang kuinginkan.
Oh ya, Papa juga berjanji acara makan bersama keluarga akan tetap diadakan setelah Papa pulang dari berobat. Tiga hari lagi Papa akan berangkat ke Penang, Malaysia, dan akan menjalani operasi untuk memperlancar pembuluh darah jantungnya yang tersumbat. Apakah itu berbahaya, Emon? Aku tak tahu. Yang pasti, aku bahagia dengan kasih sayang dari mereka.
Doaku di ulang tahunku ini adalah aku ingin Papa segera sembuh.
Met malam, Emon…

21 Oktober 1998.
Rabu, hujan.
Pukul: 21.05 WIB.
Apa kabar, Emon?
Hari ini rumah terasa sepi. Papa dan Mama sudah berangkat tadi pagi ke negeri tetangga. Mengapa hanya sebentar tak melihat mereka, aku sudah merasa rindu, ya? Ah, setelah selesai dioperasi, Papa pasti akan kembali sehat, ‘kan? Semoga!
Met malam, Emon. Bobok, ya…

22 Oktober 1998.
Kamis, hujan.
Pukul: 23.46 WIB.
Emon, katakan padaku ini semua hanya mimpi! Tadi pagi, jam belum menunjukkan pukul 06.00, Mama menelepon. Mama mengatakan Papa terjatuh saat mandi. Jantung Papa berhenti seketika itu juga. Dokter di sana tak berhasil menolong nyawa Papa. Papa telah pergi, Emon...! Pergi untuk selamanya! Bagaimana hidup kami selanjutnya tanpa Papa?
Tidak! Papa telah berjanji banyak hal kepadaku di hari ultahku. Ia pasti akan pulang untuk menepatinya. Papa tak pernah ingkar janji. Aku hanya perlu tidur sekarang, meskipun suara sanak keluarga di luar kamar ini begitu berisik membicarakan hal ini. Aku tak akan mempercayainya. Jika aku bangun esok hari, semua mimpi buruk ini pasti akan ikut hilang.
Nite, Emon.

23 Oktober 1998.
Jumat, gerimis.
Pukul: 05.12 WIB.
Selamat pagi, Emon.
Mon, kamu pasti heran hari ini aku menemuimu begitu pagi. Ya, aku hari ini memang sudah bangun pagi-pagi sekali. Lebih tepat sebenarnya bukan bangun, tetapi aku memang semalaman tak mampu memejamkan mata. Dan, ternyata semua ini bukan mimpi.
Emon, kini aku mengkhawatirkan Mama. Mengingat Mama pergi berdua dengan Papa, dan sekarang Mama tinggal seorang diri di negeri orang. Apakah Mama sanggup?
Emon, para tetua menginginkan jenazah Papa dibawa pulang secara utuh agar kami dapat melihat wajah Papa untuk terakhir kalinya. Namun, Mama berkehendak jenazah Papa diperabukan sesuai ritual keagamaan Buddhis di sana dan hanya membawa pulang abu jenazah Papa. Mama memiliki alasan kuat melakukan demikian untuk menghemat biaya dan menghindari proses keimigrasian yang rumit di bandara nantinya.
Sebagai anak, kami ingin melihat wajah terakhir Papa. Namun, kami juga harus mengerti kondisi Mama. Semoga tante dan abang ipar sepupu yang akan berangkat ke sana nanti dapat meringankan beban Mama.
Emon, jenazah Papa akan diperabukan hari ini pukul 09.00 waktu setempat. Aku saat ini hanya mampu memanjatkan doa bagi arwah Papa.

27 Oktober 1998.
Selasa, cerah.
Pukul: 22.23 WIB.
Hai, Emon! Bagaimana kabarmu? Maaf aku tak menyapamu beberapa hari ini.
Emon, prosesi mengantar Papa ke peristirahatannya yang terakhir telah selesai kemarin. Biar kuberitahukan secara singkat kepadamu. Pada tanggal 25 Oktober, aku, Lyn, Wyn, dan Lei ditemani beberapa sanak keluarga yang lain menjemput abu jenazah Papa di Pelud Polonia. Di antara sekian banyak orang yang hendak menjemput keluarga atau kerabat mereka, mungkin hanya kami—yang berpakaian hitam putih—yang menanti dengan duka. Di saat orang-orang di sana memeluk kerabat mereka dengan senyum, kami hanya bisa memandang Mama yang memeluk guci abu jenazah Papa di depan dadanya. Mon, bisakah kamu membayangkan, Papa yang berangkat dengan senyumnya, kini pulang hanya berupa abu di dalam sebuah guci kecil tertutup?
 Aneh sekali, Mon, di saat itu entah mengapa airmataku tak lagi mengalir. Yang ada hanya perasaan yang begitu letih. Mungkinkah airmataku telah habis mengalir selama menanti di sini?
Hanya sehari disemayamkan di rumah duka untuk memberi kesempatan sanak keluarga untuk menyampaikan simpati dan penghormatan terakhir, abu jenazah Papa pun diberangkatkan ke peristirahatannya yang terakhir pada tanggal 26 Oktober.
Met malam, Emon. Aku letih…

29 Oktober 1998.
Kamis, hujan.
Pukul: 20.18 WIB.
Emon yang baik, hari ini aku sangat merindukan Papa. Aku menangis dan menangis. Tak seorang pun mampu menghiburku. Aku terus memohon kepada Tuhan untuk memberiku kesempatan melihat Papa kembali walau hanya sebentar. Namun, airmataku ternyata tak mampu mengembalikan Papa. Setelah letih akhirnya aku menyadari setiap orang pasti akan berpisah pada akhirnya. Perbedaannya hanya terletak pada cepat atau lambatnya hal itu terjadi. Jadi, menangis pun sesungguhnya tak bisa mengubah keadaan.
Oh ya, Mon, Mama mengatakan alasan sesungguhnya dia memilih memperabukan Papa adalah agar kami tetap menyimpan memori indah wajah Papa di kala hidupnya. Mama benar-benar wanita yang hebat, ya? Di saat menghadapi masalah yang demikian berat, Mama masih sanggup memikirkan perasaan kami dan…
“Vin, ya, ampun..! Sudah berapa lama kamu terbengong di sana?” Belum selesai kubaca, teriakan Mama mengagetkanku. Buru-buru kututup buku harian biru bergambar tokoh kucing
 kasayanganku, Doraemon.
            “Sedang melihat apa? Kok, tidak siap-siap?” Mama berdiri di depan pintu.
            “Segera siap, Ma,” jawabku pelan sambil cepat-cepat mengusap airmataku dan kupalingkan wajah agar Mama tak melihat wajahku yang berantakan oleh airmata.
            “Cepat, ya! Hampir siang, lho,” ujar Mama sambil lalu.
            Kupercepat gerak tanganku mengelap dan memilih serta menyusun kembali buku-buku itu. Giliran buku Doraemon di tanganku. “Ah, Emon, waktu bergerak demikian cepat, ya? 12 tahun sudah aku tak bertemu Papa. Aku kini bukan lagi gadis yang cengeng. Aku selalu ingat pesan Papa semasa hidupnya agar aku tegar di kala aku menangis karena tak mampu melakukan sesuatu dulu. Papa pasti telah bahagia di alam sana. Aku bersyukur masih memiliki Mama. Kesempatan untuk berbakti masih ada. Emon, hanya kamu yang tahu segala rahasia hatiku.”
***
foto: int.
Dimuat Harian Analisa,
memperingati Hari Ayah (Minggu ketiga Juni)
Posted by Art Dimension
Art Dimension Updated at: 1:26 PM

Entri Populer