Tuesday, December 23, 2014

Shinigami’s Eye (Bab 6)

Oleh: Lea Willsen


Bab 6
ANGIN berderu keras. Dalam dimensi gelap itu, Leysa terus berlari dan mencari papanya.
“Papa! Papa! Di mana kau?!” teriak Leysa. Nafasnya ngos-ngosan. Sekujur tubuhnya bermandikan peluh.
“Leysa...! Leysa...!” Sayup-sayup terdengar pula suara Katada memanggil nama putrinya.
“Papa! Di mana kau?!”
“Aku di belakangmu...” Tiba-tiba suara itu menjadi terasa dekat.
Leysa pun berpaling dan menemukan sosok papanya. “Papa! Aku sedari tadi mencarimu...”
Katada tersenyum. “Selamat tinggal, Leysa...”
“Hah?! Papa mau ke mana?!”
“Papa telah dipanggil untuk menjadi korban berikutnya...” Begitu selesai berbicara, Katada pun menghilang dalam gelap.
“Papa! Papa! Jangan meninggalkan kamiii...!” Leysa pun terjaga.
Braaak! Pintu terbuka. “Ada apa Leysa?!”
“Mama! Di mana Papa?”
“Kau mimpi buruk...?”
“Di mana Papa?” Leysa bertanya sekali lagi.
“Papa baru saja keluar.”
“Papa ke mana? Sekarang jam berapa?”
“Barusan Papa menerima telepon dari rekannya, katanya seorang pekerja mereka tiba-tiba menghilang entah ke mana. Sekarang baru jam setengah dua belas malam. Tidurlah kembali. Kau baru tertidur sekitar satu jam sedari tadi.”
Leysa menatap berkeliling. Tunggu dulu, ke mana perginya si wanita berbaju merah, pria tanpa busana, dan juga si kakek cengeng yang terus-menerus menangis? Mereka tak terlihat lagi, atau memang sudah menghilang? Tak biasanya mereka tak mengganggu Leysa. Kalau si cebol memang tak selalu muncul. Tapi biasanya yang lain tak pernah tak ada. Leysa merasa heran. Entah mengapa, kendati ketiga makhluk itu tak lagi mengganggunya, namun firasatnya tak begitu enak. Ia merasa telah—atau akan segera—kehilangan sesuatu.
Tiba-tiba ia menangkap sesuatu yang bercahaya di genggaman mamanya. Sebuah salib!
“Ma, bukankah salib itu milik Papa?”
“Oh, ini?” Linda memandangi salib pada genggamannya. “Tadi sebelum pergi kalung di leher Papa putus, dan ia menitipkannya kepada Mama. Mama sedang coba memperbaikinya, dan ternyata bisa. Mumpung hari ini Radhi tertidur pulas, jadi Mama punya sedikit waktu.”
“Sejak kapan Papa mengenakan salib? Bukankah biasanya Kakek dan Papa selalu berbangga diri mengaku mereka manusia tak beragama?”
Linda tersenyum. “Salib ini ditemukannya saat membersihkan gudang di lantai dasar pada hari kedua kita datang. Semula terlihat hitam dan kotor. Tapi setelah dicuci ternyata masih terlihat cantik. Sepertinya papamu hanya mengenakannya sebagai aksesori.”
“Mungkinkah berkat salib ini...?” gumam Leysa nyaris tak terdengar.
“Kau bilang apa?”
Leysa menatap wajah mamanya. “Ma, kau pernah melihat hantu?”
Linda tersentak. “Jangan membicarakan itu...”
“Tapi Papa bilang Mama yang setiap hari membicarakannya?”
Linda menghela nafas. “Mama tak dapat melihatnya. Tapi Mama selalu merasa tak nyaman di rumah ini...”
“Bukankah biasanya kalian tak pernah merasa seperti itu di tempat lain?”
“Ya...”
“Itu karena di sini jumlah mereka sangat banyak, Ma. Aku melihatnya dengan jelas! Aku takut...”
“Leysa... Mama sudah mendengarnya dari Papa tadi sore. Kita tak punya pilihan lain. Papamu berencana akan mencari sebuah rumah sederhana lain. Semoga saja kita dapat segera pindah.”
Leysa tertunduk. Malam ini berbeda. Makhluk-makhluk itu semua pergi ke mana?
“Leysa...” Linda menyerahkan salib di tangannya kepada Leysa. “Bawalah ini jika kau takut. Semoga Tuhan Yesus melindungi putri Mama...” Linda mengecup kening putrinya. “Tidurlah, Nak...”
Leysa jarang mendengar mamanya menyebut Tuhan. Namun setahunya, sebelum menikah dengan Papa, keluarga Mama menganut agama Kristen.
***

Kembali ke Prolog untuk membaca bab lain.
Posted by Art Dimension
Art Dimension Updated at: 12:43 PM

Shinigami’s Eye (Bab 5)

Oleh: Lea Willsen


Bab 5
PADA malam malam berikutnya, Linda masih terus merasakan kejadian-kejadian aneh lainnya, seperti sandal yang berpindah tempat, pintuk yang malam-malam diketuk, lampu teras yang tiba-tiba menyala, suara tangisan di koridor, suara alat musik di lantai tiga, keran di kamar mandi yang tiba-tiba terbuka, dan juga suara-suara pria yang menjerit-jerit entah dari mana arahnya.
Selain itu, Radhi si bungsu juga setiap malam menangis tak henti-hentinya. Linda takut suara tangisan Radhi akan membuat Katada tak dapat tidur nyenyak—sementara esok masih harus bekerja di kebun—maka Linda selalu membawa Radhi turun ke ruang utama lantai dasar.
Bukan hanya itu, Randy juga sempat bercerita, suatu malam ketika ia keluar dari kamar untuk mengambil air, terdengar suara Leysa yang memanggil-manggil namanya. Namun saat disahut, suara itu pun menghilang. Dan ketika ia hendak kembali ke kamar, terdengar suara bola besi yang terseret-seret di tangga lantai dua menuju lantai tiga.
Dan berbeda lagi dengan apa yang dialami oleh Leysa. Setiap malam ia melihat sesosok wanita berbaju merah yang terbang ke sana kemari di atas langit-langit kamarnya. Sesosok pria tanpa busana mengamatinya semalaman dari arah pintu. Dan sesosok kakek tua yang tak henti-hentinya menangis di sisi ranjang. Belum lagi sesosok cebol yang kadang muncul kadang tidak. Cebol itu paling mengganggu. Dia senang menarik rambut Leysa, menciptakan bunyi-bunyian aneh dengan sebuah terompet kecil yang selalu bergelantungan di lehernya, dan juga mendekatkan jari-jarinya di wajah Leysa serta mengancam akan mencungkil mata Leysa. Selama seminggu tinggal di rumah itu, nyaris tak ada satu malam pun Leysa dapat tidur nyenyak. Sebagai pemilik shinigami’s eye, ia dapat melihat serta merasakan gangguan-gangguan makhluk halus itu, melebihi apa yang dapat dirasakan oleh anggota keluarga lainnya. Ia tahu secara pasti bahwa rumah mewah yang mereka tempati sangat angker dan tak seperti tempat-tempat lainnya. Tetapi, ia tak berani menceritakannya kepada anggota keluarga lainnya.
Yang sulit dipercaya, selama seminggu tinggal di rumah mewah itu, Katada sama sekali tak merasakan hal aneh apa pun.
***
“BAGAIMANA kalau kita pindah saja?” tanya Linda hati-hati.
Katada tak menjawab.
“Betul, Pa... Randy takut...,” timpal Randy.
Katada pun menghela nafas. “Pindah ke mana? Rumah ini tersedia secara gratis, mewah dan indah. Kita tak mungkin meminta perusahaan memberikan rumah lain lagi, ‘kan? Itu mustahil...”
“Tapi, Katada... Sepertinya ada sesuatu yang aneh di sini...”
“Betul, Pa! Rumah ini angker!”
“Randy..., jangan ikut campur...”
Randy tertunduk.
“Kalian setiap hari membicarakan hal ini. Tapi mengapa aku tak pernah sekali pun merasakannya? Sepertinya kalian terlalu sering menonton film horor, Suster Mandi, Suster Rangkak, Hantu Jeruk Busuk, Hantu Jamu Pahit, Babi Ngesot, dan lainnya...” Katada pun bangkit dari kursinya, dan berjalan keluar rumah, menuju halaman belakang. Rasanya kesal juga terus-menerus mendengar Linda setiap hari membahas itu-itu saja.
Ternyata di halaman belakang Katada mendapati Leysa. Putri pendiamnya itu sedang membaca sebuah buku.
“Papa...”
“Leysa...” Katada menghampiri Leysa. Tiba-tiba rasanya ada yang ingin ia bicarakan. “Leysa, apa pendapatmu tentang rumah ini?”
“Rumah ini?” Leysa sedikit kaget mendengar pertanyaan itu.
“Benar! Maksud Papa, Mama dan adikmu setiap hari membicarakan yang bukan-bukan tentang rumah ini, tapi Papa tak pernah merasakannya...”
Leysa hanya terdiam.
“Papa tak begitu percaya, karena matamu bisa melihat makhluk halus, tapi kau tak pernah mengeluh. Sementara mata mereka tak dapat melihatnya, tapi justru mereka yang terus mengeluh kepada Papa...” Katada tersenyum sinis.
“Pa...” Leysa tampak ragu. “Apa yang dikatakan oleh Mama dan adik itu benar...”
“Apa?”
“Rumah kita... Seperti sarang hantu...”
Nafas Katada tertahan. Ah, haruskah ia percaya dengan apa yang barusan dikatakan oleh Leysa?
Leysa mencengkeram lengan Katada. Nafasnya memburu. Suaranya meninggi. “Jumlah mereka bukan belasan atau puluhan, tapi tak terhitung lagi, Pa! Bentuknya sangat menyeramkan! Aku takut! Aku tak tahan lagi, Pa!” Tangisan Leysa pun pecah dalam dekapan sang Papa.
“Sudah, Leysa... Jangan menangis... Papa akan mencarikan jalan keluar untuk kita... Kita akan pindah begitu Papa menemukan rumah lain...”
Leysa tetap tak dapat membendung airmata. Wajahnya dibenamkan pada dada sang Papa. Di sana ia mendapati sebuah liontin salib yang tergantung pada kalung di leher papanya. Salib itu berkilau-kilauan memantulkan sinar matahari.
***

Kembali ke Prolog untuk membaca bab lainnya.
Posted by Art Dimension
Art Dimension Updated at: 12:32 PM

Shinigami’s Eye (Bab 4)



Oleh: Lea Willsen
Bab 4
KEDUA mata Linda terpejam. Tubuhnya terendam dalam bathtub yang dipenuhi air sabun. Sungguh lelah rasanya. Seharian ia membereskan ruang-ruang di lantai dua. Dan besok-besok masih ada lantai dasar, tiga, dan empat yang harus dibersihkan. Kendati Katada dan anak-anak juga turut membantu, tapi bagaimana pun juga pria dan anak-anak tak pintar mengerjakan pekerjaan rumah. Pekerjaan mereka tak sebanding dengan Linda.
Tiba-tiba, sepasang tangan merangkul leher Linda dari belakang.
“Ah, Katada, jangan menggangguku...,” gumam Linda yang masih memejamkan mata.
Tak ada balasan. Sepasang tangan itu masih terus berada pada leher Linda, dan meraba-raba halus.
“Katada...” Linda tak tahu harus berkata apa. Kalau ia tak salah ingat, sebelum ia mandi tadi, Katada sudah terlelap. Suaminya terbangun lagi?
Perlahan-lahan, sepertinya Linda merasa kuku sepasang tangan itu menggesek lehernya. Kuku itu terasa panjang.
“Katada!” Linda tersentak membuka mata. Tak ada siapa-siapa dalam kamar mandi itu. Lalu, siapa yang barusan merangkul lehernya?
Linda bergidik. Bergegas ia bangkit dari bathtub, mengenakan pakaiannya, dan berjalan keluar. Terlihat olehnya Katada masih terlelap di atas ranjang.
Oh, Katada masih terlelap... Lalu...?
Srrrt... Srrrt... Terdengar langkah kaki yang terseret-seret dari belakang. Linda coba melirik ke belakang, namun tubuhnya tak berani berputar. Astaga! Sepertinya ada sesuatu bergerak-gerak di belakang! Warnanya hitam! Apa itu?! Manusia?! Siapa?!
Greeeb...! Sesuatu menarik baju Linda dari belakang! Spontan Linda menjerit histeris. Jantungnya hampir berhenti.
“Ada apa?!” Katada tersentak bangun. Langsung saja Linda melesat dalam pelukannya.
“Hantu! Hantu!” pekik Linda tak berani membuka mata.
“Hantu?! Di mana?!”
“Di belakangku!”
Mata Katada menerawang seisi ruangan, hingga ke langit-langit. Tak terlihat apa pun. “Tak ada, Linda... Jangan bicara yang bukan-bukan...”
“Ada!”
“Tak ada... Coba kau buka mata lihat sendiri. Di sini hanya ada kita berdua...”
Pelan Linda membuka mata, dan menerawang seisi ruangan. Hantunya hilang. “Oh, tadi jelas-jelas ada! Dia menarik bajuku!”
Katada tersenyum. “Jangan takut...”
Linda menatap wajah Katada. Tiba-tiba ia teringat sesuatu. “Tadi kau masuk ke kamar mandi?”
“Tidak... Aku sudah terlelap.”
“Tadi ada sepasang tangan yang meraba leherku! Aku tak bohong, Katada! Aku mengira itu kau... Tapi... kukunya terasa panjang!”
“Linda...” Alis Katada mengernyit. “Mungkin kau ketiduran di dalam karena terlalu lelah. Nanti aku akan mencarikan seorang pembantu untukmu...”
“Tidak, Katada! Aku yakin aku tak sedang bermimpi! Aku merasakan kukunya bergesekan dengan leherku. Sedikit sakit...” Linda menjelaskannya sembari mengelus leher sendiri. “Ah?!” Lehernya terdapat sebuah luka kecil. “Katada! Leherku terluka?”
“Coba diangkat...” Katada pun memerhatikan leher Linda. “Benar..., sedikit goresan memar...”
“Katada! Itu perbuatan hant...”
“Linda. Sebaiknya kau segera istirahat dulu. Besok pagi baru kita bicarakan lagi...”
***

Kembali ke Prolog untuk membaca bab lain.
Posted by Art Dimension
Art Dimension Updated at: 12:23 PM

Monday, December 22, 2014

Ketika Terkadang Ibu Tidak Adil



Penulis yakin, banyak di antara kita—terlebih yang memiliki banyak saudara—terkadang memiliki problematik atau persepsi yang beranggapan bahwa ibu kita tidak adil. Ya, kendatipun tidak sedikit juga yang senantiasa bersyukur terhadap keberadaan sosok sang ibu, di sini kita tak perlu, atau tak harus menyatakan siapa-siapa yang harus dipersalahkan.
Ketika seorang anak cenderung merasa ibunya pilih kasih, bukan berarti kita harus memvonis kalau anak tersebutlah yang bersalah, tak tahu bersyukur, durhaka, atau sejenisnya. Tidak juga dengan membenarkan kalau sosok si ibu memang tidak baik, menyebalkan, dan patut dikritisi atau diprotes.
Realistis saja. Ketika seorang anak mengalami problematik atau menyimpan persepsi kalau ibunya tidak adil, tentu saja ada alasan tersendirinya, yang bisa jadi hanya si anak bersangkutanlah yang tahu secara pasti. Tetapi, di balik ketidakadilan yang ditunjukkan seorang ibu kepada anak-anaknya, ada kalanya terdapat banyak sebab serta kesalahpahaman. Di sini, tujuan kita tentu bukan terus terperosok semakin dalam pada problematik tersebut. Kita butuh mencari tahu, mencoba memahami apa yang sebenarnya menjadi penyebab sikap seorang ibu yang dianggap tidak adil.
Sebab dan alasan
Tuhan itu adil. Ungkapan demikian pada dasarnya masih kerap menjadi pro-kontra. Tetapi, bila berbicara tentang manusia itu adil, jangan ditanya lagi. Pada dasarnya di dunia ini tak ada manusia yang benar-benar seratus persen adil. Bahkan seorang penegak keadilan, belum tentu sanggup bersikap adil ketika dihadapkan pada posisi sebagai orangtua—ayah atau ibu—untuk anak-anaknya.
Ketidakadilan itu manusiawi, kendatipun sulit diterima. Ketidakadilan seorang ibu juga manusiawi. Coba saja kita renungkan, setiap dari kita terlahir sebagai anak dengan karakteristik, bentuk, serta cerita yang berbeda. Kita tidak seperti sebuah produk yang diproduksi secara massal hanya dengan sebuah cetakan yang sama. Jadi, ketika seorang ibu—yang masih manusia—menilai satu per satu buah hatinya, sang ibu jelas memiliki pendapat tersendiri untuk setiap anaknya.
Ibarat ketika seorang perancang busana mengamati satu per satu busana rancangannya yang memiliki motif dan model berbeda—kendatipun setiap busana itu terlahir dari buah pikirannya—tetap saja si perancang memiliki pendapat tersendiri juga untuk setiap busana itu. Itu pun busana hanya sebuah benda mati. Berbeda dengan anak (manusia), ada yang pintar mengambil hati ibunya, ada yang suka bermanja-manja dengan ibunya, dan ada juga yang justru sebaliknya, selalu meresahkan ibu, atau memancing emosi ibu.
Selain itu, terkadang bisa juga oleh berbagai sebab lain. Sebut saja dari segi usia anak, seorang ibu mungkin berpikir kalau dirinya harus lebih melindungi anaknya yang kecil, atau lebih memprioritaskan anaknya yang berusia sekian-sekian, kemudian tanpa disadari sikap tersebut malah diterjemahkan sebagai ketidakadilan di mata anak yang lain.
Misalkan, dua bersaudara sedang berebutan mainan. Satu berusia sepuluh tahun, dan satunya lagi baru lima tahun. Secara refleks seorang ibu biasanya akan meminta anak berusia sepuluh tahun untuk mengalah kepada adiknya. Lalu contoh kedua, seorang anak berusia delapanbelas tahun diberikan ibu ponsel yang mahal dan canggih, sementara adiknya yang berusia sepuluh tahun hanya mendapatkan ponsel bekas pakai saudaranya itu. Kondisi yang serupa juga bisa saja terjadi pada seorang ibu delapanpuluh tahunan dengan anak-anaknya yang berusia limapuluh atau enampuluh tahunan, meskipun untuk cerita yang berbeda.
Kasih di balik ketidakadilan
Umumnya, di mata seorang ibu, setiap anak selalu dikasihi. Hanya saja, terkadang ibu menunjukkan kasih tersebut pada setiap anaknya dengan cara yang berbeda-beda. Untuk si A kasih yang diberikan adalah dengan cara ini, dan untuk si B kasih yang diberikan adalah dengan cara itu, kemudian lain cara lagi untuk C, D, E. Penulis akan kembali memberi sebuah contoh berdasarkan cerita ibunda sendiri.
Ibunda penulis memiliki sebuah ‘ketidakadilan’ yang unik. Setiap di keluarga kami tersedia makanan favorit penulis (tanpa menyebut apa itu)—baik dari beli atau oleh-oleh dari kerabat tertentu—ibunda penulis kerap kali melebih-lebihkan jatah penulis, bahkan secara terang-terangan. Kadang penulis menolak semua itu, namun tetap saja jatah makanan itu seolah telah tercatat nama penulis di atasnya. Wah!
Sebaliknya, kondisi di mana ibunda penulis memprioritaskan saudara penulis yang lain dengan alasan dan pertimbangan serupa, tentu juga pernah terjadi. Dengan sedikit pemakluman, saling pengertian, dan saling mengasihi, ada kalanya ketidakadilan adalah sebuah wujud kasih dari seorang ibu.
Penutup
Katakanlah ibu kerap disebut malaikat hidup, namun realitanya ibu juga hanya manusia. Jadi, ketika seorang ibu bersikap tidak adil, sebagai anak kita semua perlu mengagendakan untuk merenungkannya, mengapa dan apa sebabnya.
Kasihilah beliau dengan segala ketidakadilannya yang perlu kita pahami makna-makna indah di baliknya. Sekecil apa pun, setiap manusia memiliki sisi ketidakadilan. Jika kita semua menuntut memiliki ibu yang adil, maka itulah ibu yang bukan manusia—ibu yang tak akan pernah ditemukan!
***
akhir April, 2014
Posted by Art Dimension
Art Dimension Updated at: 9:00 PM

Thursday, October 2, 2014

Bercermin pada Karya Eiichiro Oda: Pentingnya Penokohan

Bagi yang berusia sekitar duapuluh tahunan, sudah pasti Anda mengenal sebuah manga fiksi terkenal, One Piece, karya Eiichiro Oda. Jika tidak, tak masalah. Singkat cerita karya Oda satu ini telah mendunia, dan menjadi manga paling populer di Jepang, dengan pembaca-pembaca yang memiliki usia variatif. Kita akan meminjam judul One Piece sebagai contoh dari betapa pentingnya penokohan bagi sebuah karya yang baik.

Mengapa harus manga? Mengapa harus One Piece? Jelas saja karena manga One Piece adalah contoh yang tepat. Di balik kesuksesannya, sang mangaka Oda memiliki strategi penokohan yang patut kita--sesama yang mungkin juga menyukai kegiatan mengarang fiksi--teladani!

Dengan alur cerita yang cukup panjang dan hingga tulisan ini ditulis juga belum tamat, One Piece tak pernah berakhir tragis seperti sejumlah manga atau sinetron lokal yang membuat penikmatnya merasa jenuh bahkan kesal, karena alur yang terkesan bertele-tele. Terlepas dari ide besar, juga nilai humoris dari Oda, hal lain yang berpengaruh besar ialah tokoh-tokoh dari One Piece yang masing-masing mekiliki ciri tersendiri yang tidak membuat tokoh-tokoh itu terkesan satu karakter, tetapi dihadirkan hanya dibedakan dari nama dan fisik.

Mengusung tema era bajak laut, One Piece sendiri memiliki 9 tokoh utama (mungkin masih akan bertambah), dalam sebuah kapal bajak laut yang tak beda jauh seperti rumah dari tokoh-tokoh itu. Masing-masing tokoh memiliki watak, perilaku, gaya, atau latar yang berbeda (baik ataupun buruk).

Banyak di antara kita yang fokus menciptakan tokoh sempurna untuk sebuah karangan, sehingga terperangkap pada satu pola yang berulang-ulang terus, bahkan terasa klise. Namun, Oda cukup berani menciptakan tokoh yang 'tidak sempurna', seperti tokoh yang mata duitan, pengecut, polos, bahkan genit, bodoh, dan juga rakus makan. Dari segi penampilan, ada yang merupakan cyborg (manusia setengah robot), samurai, hingga tengkorak dan hewan yang dapat berbicara. Masing-masing juga memiliki tugas berbeda dalam kapal itu, seperti navigator, koki, tukang kayu, dan dokter.

Sekilas terkesan sulit disinkronkan, seperti dunia bajak laut, cyborg, tengkorak (horor), samurai, dan hewan yang berbicara, seharusnya tidak sejalan. Namun justru itulah letak keragaman yang memperkuat penokohan. Tentang logika, sejalan atau tidak adalah bergantung pada seberapa paham dan percayanya penikmat pada alur yang ditawarkan.

Kita pernah melihat sapu terbang? Lukisan yang berbicara? Bidak catur yang bergerak sendiri? Semuanya ada pada Harry Potter, karya novelis terkenal, J.K. Rowling. Semuanya sudah dijelaskan pada alur yang ditawarkan, berpulang pada paham dan percayakah kita. Jika paham dan percaya, tak ada logika yang tak sejalan.

Dalam suatu segmen cerita, Oda juga sempat menghadirkan seorang tokoh yang bisa dibilang sudah sangat mendekati status tokoh utama, juga sangat disukai pembaca, tetapi pada akhirnya secara halus tokoh itu harus out dari daftar tokoh utama.

Alasannya?

Dari hemat penulis, hal itu terjadi karena Oda tidak menganggap adanya ciri menonjol dari tokoh tersebut, dibanding salah satu toko yang yang sudah terlebih dulu ada. Sama-sama perempuan, tidak memiliki sosok maupun keunikan skill yang menonjol.

Sebagai gantinya, bertepatan dengan perginya si 'tokoh utama', Oda baru benar-benar menghadirkan lagi sebuah tokoh utama perempuan yang lebih memiliki kepribadian menonjol, termasuk statusnya sebagai mantan tokoh antagonis. Status mantan tokoh antagonis inilah yang kemudian dimanfaatkan untuk memancing rasa ingin tahu dari para pembaca. Dan Oda telah mempersiapkan sebuah ide besar untuk menguak latar dari toko tersebut, sekaligus modus yang menawarkan logika baru.

Strategi penokohan yang apik juga terlihat pada tokoh-tokoh lain--selain tokoh utama--yang ada pada manga One Piece. Hal tersebut terbukti pada penjelasan dalam cerita tersebut, tidak akan adanya dua atau beberapa buah iblis* dengan pengaruh yang sama.

Kesimpulannya, dalam mengarang fiksi kita harus fokus menciptakan tokoh yang memiliki ciri khusus satu sama lain, tidak sekadar kesempurnaan. Ciptakanlah tokoh yang "wah!" berdasarkan versi sendiri!

*buah yang memberikan kekuatan aneh bagi pemakannya



2L, 2014

Posted by Art Dimension
Art Dimension Updated at: 11:44 PM

Entri Populer