Sunday, June 3, 2012

Kritik, Kemauan, dan Aksi


Kritik, Kemauan, dan Aksi
Oleh: Lea Willsen
Bantu mengkritik karya? Hmm... Tidak, tidak..., penulis tak pernah menyenangi peran sebagai seorang kritikus. Beberapa penulis pemula pernah meng-inbox untuk menanyakan kesediaan tersebut. Sesuai etika kepenulisan, tak perlulah menyebut siapa-siapa saja nama mereka. Yang jelas, biasanya penulis tidak menyanggupi mereka. Tentu ini bukan masalah pelit ilmu, egois, atau sombong. Justru karena menyadari kita sama-sama pelajar, maka rasanya tak perlulah kritik mengkritik. Apa lagi, penulis juga bukan seorang redaktur/editor. Dan, tentunya terhadap media mana pun yang nantinya akan dituju, telah ada redaktur/editor profesional yang mengambil peran itu.
Lagipula, bagi penulis secara pribadi, kritik juga tidak selamanya mutlak. Ada kritik yang memang berdasarkan logika, ada lagi kritik yang ternyata hanya opini dari si pemberi kritik--namun kurang disadari oleh ia sendiri--kemudian dilontarkan sebagai 'kritik'. Contoh, terhadap gaya tulisan, tentu beda penulis beda juga cara penyampaiannya. Bahkan hingga seorang motivator handal pun, tetap ada segelintir orang yang tak dapat menerima apa yang disampaikannya. Kalau sudah begitu, lantas kita menyalahkan sang motivator? Tentu tidak.
Beda cerita bila ada yang tanya; Bagaimana mencari ide? Masuk akalkah anak usia 6 tahun jatuh cinta? Tanda baca yang benar seperti apa? Nah, sebisa mungkin penulis akan memberi jawaban terbaik, berdasarkan kemampuan yang dimiliki. Ini berbeda dengan kritik, tetapi lebih pada memberi solusi, masukan, atau katakanlah diskusi. Penulis memaklumi hal ini, mengingat penulis dulunya juga sering bertanya-tanya dengan seorang penulis lain. Ketika kita belum pernah mendatangi sebuah negara, tentu kita tak tahu banyak tentang negara itu, dan kadang kita berharap akan ada sedikit bocoran dari orang lain. Namun, seorang penulis tentunya harus mandiri. Setelah mendapat sedikit bocoran, untuk berikutnya berjalanlah sendiri, tanpa harus melibatkan orang lain. Perkembangan seorang penulis utamanya ditentukan oleh diri sendiri dalam menciptakan sebuah karya.
Pentingkah Kritik?
Bila bertanya pentingkah sebuah kritik? Sebagian dari kita pasti akan menjawab kritik itu penting, tak peduli jawaban itu sebenarnya melawan hati atau tidak. Kalau berkata terlalu jujur, oh, takutnya dicap sebagai orang berhati kecil yang tak bisa menerima kritik. Sebenarnya tak perlu memusingkan kritik itu penting atau tidak. Yang lebih penting adalah kamauan memperdalam ilmu serta aksi nyata untuk menciptakan karya.
Cobalah bayangkan, ketika seseorang terus-menerus menerima kritik sementara fondasi kemauannya kurang kuat, bukannya maju, tapi justru putus asa dan aksi pun turut dihentikan! Tanpa kemauan dan aksi, seberapa bermanfaat pun sebuah kritik tetap saja bohong.
Selain kritik kalah penting dari kemauan dan aksi, tak jarang kritik justru menyebabkan terjadinya adu argumentasi. Seperti yang pernah diceritakan oleh editor Majalah Story pada suatu kesempatan, ia pernah diminta seseorang untuk menjadi pengkritik. Setelah dikritik, bukannya menghargai kritik itu, justru mereka menjadi terlibat adu argumentasi. Melelahkan pastinya.
Ketika seseorang meminta karyanya dikritik, kita tak menjamin orang tersebut dapat menerimanya atau tidak. Daripada salah-salah terjadi adu argumentasi lagi, lebih baik tidak menyanggupi permintaan itu. Pada dasarnya semua kritikan ada efek buruknya, sekalipun dengan tujuan baik dan mungkin bermanfaat.
Tahun pertama menulis, sering juga terbersit di pikiran; Kira-kira bagaimana kualitas karya saya di mata pembaca? Penulis pernah memberanikan diri untuk meminta bantuan seorang penulis untuk menilai karya-karya itu. Dan itulah sebuah tindakan konyol. Karena terlalu ramah, penulis itu mungkin segan menolak. Beberapa karya yang telah pernah dimuat pun dikirim via email untuk kemudian dinilai. Satu minggu berlalu, satu bulan, dua bulan, hingga berbulan-bulan, kok belum ada jawaban? Penulis itu bukan melupakan karya itu, tetapi setiap sempat mengobrol, ia seolah menjadi serba salah, dan berulang kali mengatakan maaf, karena ia belum sempat membacanya. Ia akan mencari waktu membacanya.
Setelah dipikir-pikir, penulis mengambil satu kesimpulan, kita tak perlu meminta seseorang untuk menilai karya kita. Kalaupun karya kita buruk, tak semua orang dapat menjadi 'orang jahat' untuk 'membantai' karya itu. Bisa jadi orang itu menghargai kita, sehingga hal tersebut menjadi sebuah tekanan tersendiri untuknya. Kalau benar-benar ingin berkembang, fokus saja dengan kemauan dan aksi. Seiring waktu akan semakin baik pastinya, dengan catatan harus bersungguh-sungguh. Sama halnya juga dengan jam terbang para pilot. Tak perlu terlalu memusingkan penilaian orang lain yang kemungkinan berbeda-beda satu sama lain.
Menanggapi Kritik
Tak masalah ketika kita siap dikritik tetapi tak ada yang bersedia mengkritik. Namun, bagaimana ketika kita tak siap dikritik tetapi justru dikritik? Jangan gentar! Berkecimpung di dunia sastra, tak pernah luput dari hal demikian. Kritik adalah obat, kalimat yang pernah digunakan oleh Presiden. Tetapi, perlu diingat, kita harus memfilter segala kritik yang datang kepada kita secara cermat, karena beberapa kritik sebenarnya adalah kedok dari aksi menjatuhkan, atau mengangkat derajat si pemberi kritik itu. Kita hanya perlu menggunakan dua opsi; menerima bila benar, dan mengabaikan bila tidak benar. Kita tak perlu membantah, jika tak ingin dianggap--seperti yang dikatan sebelumnya--orang berhati kecil yang tak bisa menerima kritik.
***
dinihari, akhir Mei 2012
Rebana, Harian Analisa, 03 Juni 2012
Posted by Art Dimension
Art Dimension Updated at: 8:09 PM
Komentar Facebook
0 Komentar Blogger

No comments:

Post a Comment

Silakan centang "Notify me" agar Anda memeroleh pemberitahuan.

Entri Populer