Oleh: Lea Willsen
SEORANG perempuan paruh baya berdiam duduk di sebuah kursi goyang dekat jendela kamarnya. Keningnya berkerut, melihat apa yang terlihat olehnya di luar sana, lewat jendela sederhana itu. Angin bertiup silir-semilir, namun terasa panas. Beberapa hari ini udara memang kurang bersahabat.
Di luar sana, seorang perempuan penarik gerobak sampah menghapus peluh yang bercucuran di wajahnya. Di punggungnya, seorang anak yang baru berusia sekitar satu tahun tengah menangis sejadi-jadinya. Perempuan penarik gerobak sampah pun mencoba menenangkan tangis sang buah hati. Di goyang-goyangkannya kundangan di punggung.
“Sayang, sayang, jangan menangis, Nak...,” terdengar hiburnya bisik-bisik.
Melihat kejadian di luar sana, sungguh serupa menyaksikan kilas balik kisah hidup sendiri bagi si perempuan baruh baya. Ya, empat puluh tahun lalu ia juga pernah merasakan penderitaan demikian, setelah ditinggal pergi oleh sang suami tercinta yang tertabrak kereta api ketika tengah berjualan kudapan di stasiun. Usianya ketika menjanda masihlah sangat muda, 24 tahun. Parasnya masih sangat cantik.
Hidupnya sempat sangat berbahagia, selama empat tahun menikah dengan sang suami, serta dikaruniai dua putra yang sehat. Kendati miskin, tetapi hidup mereka sekeluarga selalu bahagia. Ia tak pernah menuntut banyak terhadap sang suami, tentu juga karena sang suami memang telah cukup baik dan perhatian kepada istri serta kedua anaknya.
Namun, segalanya berakhir terlalu singkat. Kebahagiaan-kebahagiaan itu raib, tanpa menunggu kesiapan mental. Sang tulang punggung pergi begitu saja meninggalkan tanggung jawab membesarkan anak-anak untuk ditanggung sendiri istrinya yang masih muda serta tak memiliki keterampilan apa pun.
Si perempuan malang ingin melanjutkan pekerjaan sang suami untuk berjualan kudapan di stasiun, tetapi tak ada satu pun tuan atau nyonya yang bersedia menyerahkan dagangan-dagangannya untuk seorang perempuan yang sama sekali tak memiliki modal dan keterampilan. Tak perlu menyalahkan mereka tak manusiawi. Di zaman itu, ekonomi negara tidak begitu baik. Jangankan orang-orang kecil yang hidup susah, para tuan dan nyonya yang terkenal dengan kalung-kalung emasnya yang bergelantungan di leher pun banyak yang gulung tikar, bahkan bunuh diri.
Tak ada jalan lain, demi kelangsungan hidup anak-anak—dan juga diri sendiri—tentu tak ada alasan untuk mempertahankan mahkota kecantikan. Asal halal, pekerjaan apa saja boleh dikerjakan. Ditemani oleh kedua putra yang satunya baru belajar berjalan dan satunya lagi baru berusia sebelas bulan, akhirnya ia menerima pekerjaan sebagai penarik gerobak sampah yang setiap hari menyinggahi pintu ke pintu untuk menerima sampah, hingga berkilo-kilo meter jauhnya.
Adalah benar, kecantikan itu tidaklah kekal. Dalam sekejap, perempuan cantik pun berubah menjadi perempuan jelek yang keriputan dan juga hitam pekat, dihanguskan terik matahari. Sering, dengan punggung yang masih menggendong keranjang yang diduduki si bungsu, tangan kiri harus menarik gerobak sampah, dan tangan kanan masih harus menggendong si sulung yang menangis tak henti-hentinya, akibat kelaparan, kepanasan, dan kelelahan berjalan.
Dalam hal ini, tentu sebagian individu tak akan lagi bersedia menanggung beban demikian berat. Mereka akan berpendapat bahwa akan lebih baik bila memilih opsi lain saja, seperti beralih profesi menjadi pengemis, pelacur, atau menjual anak-anaknya. Namun, tentu hal itu tak sejalan dengan prinsip hidup sang penarik gerobak sampah yang telah melucuti segala kecantikan yang melekat pada tubuhnya, demi kedua anak. Ia tak ingin menjadi pengemis, karena ia masih mempertahankan harga dirinya sebagai seorang kepala keluarga. Ia tak ingin menjadi pelacur, karena ia masih mengingat setiap kata bahkan huruf sumpah setianya kepada sang suami. Dan apalagi bila sampai harus menjual anak-anaknya, ia tak akan mampu melakukan hal itu. Baginya, sudah merupakan kewajiban seorang ibu untuk membesarkan anak-anaknya, tak peduli sesulit apa pun itu.
Sempat pula muncul pendapat-pendapat miring dari famili dan kerabat, bahwa sesungguhnya akan lebih baik bila ia kembali menikah lagi dengan pria lain, agar hidup mereka tak perlu menderita. Di usia yang masih muda, tentu tidak begitu sulit untuk menemukan pria yang bersedia menjadikannya istri lagi. Bahkan, ada pula seorang kerabat yang hendak memperkenalkan seorang pria mapan yang juga sudah menduda. Namun, baginya semua itu adalah sebuah penghinaan. Kalau pun pria yang diperkenalkan itu bersedia menerima dirinya, belum tentu pria itu mampu menerima anak-anaknya, serta menyayangi anak-anaknya layaknya anak kandung sendiri. Ia tak ingin nantinya anak-anak harus besar di bawah tekanan seorang bapak tiri. Ia yakin, ia masih mampu membesarkan anaknya sendiri, kendati harus hidup menderita dengan bekerja sebagai penarik gerobak sampah. Dan kenyataannya, ia telah berhasil membuktikan hal itu.
Kini, empat puluh tahun sudah berlalu. Kedua putranya adalah sarjana, dan kini telah menjadi pengusaha yang kaya raya di kota tempat mereka tinggal. Mereka masing-masing juga telah berkeluarga dan dikaruniai anak. Seakan belum cukup setelah empat puluh tahun menderita demi membesarkan serta menyekolahkan kedua putranya, sisa-sisa tenaga di hari tua pun masih dicurahkan untuk cucu-cucu terkasih—sungguh—serupa lilin yang membakar diri hingga habis masa pakainya, demi penerangan di sekeliling.
Tentu tak berlebihan, bila kini sudah tiba saatnya anak-anak yang harus memberikan perhatian kepadanya.
Pintu terbuka. Lamunan pun terbuyar. Seorang perempuan muda memasuki kamar. “Bu, sudah selesai makan?”
Perempuan paruh baya pun menoleh ke menantunya, dan berkata, “Piring dan makananku terjatuh, maaf...”
Alis si menantu terangkat. Diperhatikannya nasi yang berserakan di lantai. “Astaga, mengapa tak berhati-hati?! Lihatlah, semuanya jadi berantakan. Aku jadi harus tambah repot membersihkannya lagi, Bu! Sudah berkali-kali kuperingatkan, ‘kan?! Masak makan saja harus disuapi? Kedua cucumu saja sudah mampu makan sendiri...! Ah!”
“Maaf, maaf, kedua tangan ini tak bertenaga lagi...,” jawab perempuan tua dengan suara yang kurang jelas. Mulutnya terlihat miring, seakan sebelah wajahnya tertarik agak ke atas. Semua itu gara-gara setahun silam ia terserang stroke, dan hingga kini kondisinya tak dapat pulih lagi
“Ibu, makanya, kalau disuruh minum obat jangan menolak. Minum obat itu harus sesuai aturan...”
“Obat itu pahit... Harus dicampur susu manis baru dapat diminum...”
“Ah, Ibu kayak anak kecil saja... Aku dan Angga beberapa hari ini sibuk sekali, mana ada waktu untuk membeli susu itu. Minum saja yang masih ada.”
“Yang masih ada rasanya tak manis...”
“Tapi Angga lagi sibuk, Bu...”
“Angga sibuk... Ya, benar juga... Mengapa sudah berhari-hari ia tak datang menemaniku...?”
Seulas senyum kecut pun muncul di wajah si menantu. “Ibu..., Angga sibuk... Harus kubilang berapa kali...?”
“Aku rindu kepada putraku...”
“Ibu kesepian?”
“Benar, benar!” jawab perempuan paru baya penuh semangat. “Mintalah Angga datang menemaniku sebentar. Sudah beberapa hari aku tak melihatnya...”
“Hmm...” Si menantu pun menghampiri mertuanya. Lembut dielus punggung sang mertua. “Tenang saja, dalam waktu dekat...” kalimatnya tertahan sesaat, “...kami berencana ingin membawa Ibu pergi ke sebuah taman kebahagiaan. Di sana, Ibu akan ada banyak teman sebaya. Dijamin pasti tak akan kesepian lagi... Ibu akan tinggal di sana. Dan kapan-kapan bila ada waktu kami pasti akan menjenguk Ibu, ya?!”
Perempuan paruh baya pun menunduk. Airmatanya mengalir turun. Ah, inikah balasan dari perjuangan mati-matiannya selama empat puluh tahun?
Tuhan..., segeralah Kau menjemputku...
***
Medio Desember, 2010