Judul: Si Cacing
dan Kotoran Kesayangannya 3!
Penulis: Ajahn
Brahm
Tebal: 308
halaman
Penerbit:
Awarness Publication
SEBUAH eksperimen di Harvard beberapa tahun yang lalu pernah diadakan untuk
menguji bagaimana orang-orang sering memiliki persepsi yang melenceng dan
mempertahankan persepsi tersebut.
Dalam eksperimen
tersebut, beberapa mahasiswa diminta duduk dan menyaksikan kilasan gambar di
sebuah layar televisi. Pertama-tama, gambar diperlihatkan dengan sangat cepat
dan hanya sekedipan saja. Mahasiswa diminta untuk menuliskan apa yang berhasil
mereka lihat. Dan, semua mahasiswa hanya mampu melihatnya sebagai cahaya saja.
Oleh penguji,
waktu paparan gambar pun ditingkatkan sedikit demi sedikit. Dari seperseratus
detik, dua per seratus detik lamanya, dan seterusnya.
Ketika paparan
gambar—yang menunjukkan sebuah sepeda sedang diparkir di sebuah
universitas—semakin lama semakin jelas, ada mahasiswa yang mempersepsikan apa
yang dilihatnya sebagai sebuah kapal.
Hal yang menarik
adalah, mahasiswa tersebut terus-menerus menuliskan apa yang dilihatnya sebagai
kapal, meski waktu paparan gambar telah demikian lama dan gambar semakin jelas
terlihat bahwa itu bukanlah sebuah kapal. Dan, dibutuhkan waktu yang amat lama
untuk membuatnya menuliskan apa yang dilihatnya menjadi sesuai dengan yang diperlihatkan.
Dalam Si Cacing
dan Kotoran Kesayangannya 3, melalui kiasan dan fakta sederhana, Ajahn Brahm
mengajak kita untuk menyadari bagaimana persepsi lama selalu bekerja dan
terpatri dalam benak kita, sehingga membuat kita melihat seluruh dunia ini
sesuai dengan pandangan kita, meskipun pandangan tersebut keliru adanya. Sering
karena mempertahankan persepsi yang diyakini, pertengkaran antar manusia pun
timbul. Dan, sering dibutuhkan waktu yang lama untuk mampu meluruskan ataupun
menerima gambaran yang benar sejatinya.
Lahir di London,
7 Agustus 1951, Peter Betts adalah seorang Sarjana Fisika Teori lulusan
Universitas Cambridge akhir tahun 1960. Pada usianya yang ke-23 tahun, Peter
muda memutuskan untuk menjadi seorang petapa dalam tradisi hutan kuno di
Thailand Timur Laut dan kemudian ditahbiskan dengan nama Ajahn (guru) Brahm
(Brahmavamso= silsilah luhur).
Suka dan duka Ajahn
Brahm dalam pelatihannya selama 9 tahun di belantara Thai, di kemudian hari
selalu dikisahkannya dengan mega cinta kepada orang-orang sebagai pembelajaran
dan penghiburan untuk mencapai keharmonisan, pembebasan, pemaafan, kedamaian,
kebijaksanaan dan kebahagiaan hidup.
Di antara 108
kisah inspiratif yang termaktub, terdapat kisah Retakan pada Gelas (hlm. 294) yang
memberi kiasan kepada kita bahwa pada setiap gelas sesungguhnya memiliki
retakan yang tak kasat mata. Suatu hari, jika seseorang menendangnya atau
menjatuhkannya, gelas tersebut akan pecah dan retakannya akan terbuka.
Gelas dalam
perumpamaan tersebut adalah manusia dan hubungannya dengan pasangan, anak-anak,
dan sahabat maupun dengan binatang peliharaannya.
Segala sesuatu
yang ada dan berada dalam kebersamaan, adalah tidak kekal dan akan ada hari di
mana perpisahan pasti terjadi. Karena gelas (hubungan yang ada) bersifat rapuh
dan mudah pecah, maka kita perlu merawatnya dengan baik melalui kebiasaan dan
perilaku kita terhadapnya. Sebab dalam realitanya, mungkin kita tak lagi
berkesempatan mengucapkan kata maaf ketika orang/benda tersebut telah tiada.
Dalam sebuah
konseling, seorang gadis datang menemui Ajahn Brahm dan terus menundukkan
kepalanya menatap lantai. Apa masalahnya? Ternyata, dia merasa ada yang salah
dengan hidungnya. Hidungnya terlalu besar, begitu pikirnya!
Setelah
memintanya mengangkat kepalanya, Ajahn Brahm mengatakan tak ada yang salah.
Hidung gadis tersebut adalah ukuran rata-rata dan sama sekali tidak jelek.
Manusia,
demikianlah adanya. Selalu ada yang salah dengan diri maupun lingkungannya. Jika
bukan hidung yang terlalu besar, maka pasti dirasakan ada gigi yang bengkok
atau rambut yang jelek. Dengan batin yang selalu mencari-cari kesalahan, itulah
sumber penderitaan.
Banyaknya
masalah yang ada, sering timbul disebabkan orang-orang hanya melihat dan
mencari kesalahan dalam diri sendiri maupun pasangannya dan juga orang lain.
Itulah mengapa untuk meraih kebahagiaan, kita harus berhenti mengeluh dan
memiliki kewelasan terhadap diri dan orang-orang yang hidup bersama kita. Sebab,
mereka sesungguhnya telah berusaha yang terbaik yang mereka sanggup lakukan, seperti
tertulis dalam kisah Kasihanilah Diri Sendiri (hlm. 207).
Menyusul seri
terdahulunya (Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya 1 & 2) yang berhasil
menduduki rak buku best seller, Si
Cacing dan Kotoran Kesayangannya 3 pun merupakan buku yang mampu demikian
mencerahkan, menghibur, menginspirasi dan memotivasi pembacanya yang berasal dari
berbagai kalangan dan lintas agama.
Alih-alih
mengeluh, menyalahkan diri sendiri dan orang lain maupun takdir, kita sesungguhnya
dapat belajar mengenai apa hidup itu sesungguhnya.
Peresensi: Liven R