Oleh: Liven R
MALAM Sabtu, jam sudah menunjukkan pukul 19.00 WIB, aku segera berkemas
meninggalkan ruang kerjaku. Di jalan, lalu lintas padat. Inilah Kota Medanku, tak
pagi, siang atau malam, macet di mana-mana. Mungkinkah karena sebentar lagi
Imlek tiba? Batinku.
Sampai
di rumah, kulihat Mama sedang merangkai tangkai-tangkai bunga mei di
hadapannya. Aku menerawang sekeliling dan langit-langit ruang tamu, aksesori
Imlek dengan dominan warna merah terlihat di mana-mana. Ada ikan kertas di
bawah lampu gantung; barongsai mainan di dekat jam dinding, sebuah tulisan ‘keberuntungan’
tertempel di dinding; dan banyak burung mainan menempel di gorden jendela ruang
tamu.
Aku
tersenyum sendiri. Ah, Mama memang selalu antusias dalam merias seisi rumah
menjelang Imlek.
“Ma,
gorden ini Mama pasang sendiri? Ikan dan stiker itu…?”
“Iya.
Semua Mama pasang sendiri. Cantik, ‘kan?”
“Mengapa
tak menunggu kami pulang membantumu, Ma?”
“Ah,
tak perlu, aku bisa! Lihat! Sudah beres, ‘kan?” potong Mama cepat.
Sebenarnya
aku tahu, meminta Mama menunggu kami pulang membantunya hanyalah kalimat klise
yang tak pernah menjadi nyata setiap tahunnya. Ya, selain tak ingin melihat
kami lelah, Mama tak begitu suka dibantu dalam bekerja. Semua tak sesuai
seleranya. Jika sudah begitu, Mama tak segan melarang siapa pun menyentuh
barang-barangnya.
Tahun
lalu saja, abang ipar harus tersenyum pasrah tatkala menerima kritik dari Mama atas
bantuannya memasang kuplet Tahun Baru di depan pintu. “Ih, itu terlihat
miring! Kalian empat orang membantu lihat, pun bisa lihat sampai miring….”,
begitulah ujar Mama kepada kami.
“Melvian,
kamu tahu? Ikan itu pemberian Tante Ami,” ujar Mama dengan senyumnya.
“Ohh…
Kalau stiker itu?”
“Itu
Mama beli tempo hari. Bagus, ‘kan?”
“Kalau
bunga mei ini setangkai berapa? Kuplet dan hiasan mercon ini beli di mana, Ma?
Berapa harganya?” Aku menunjuk aksesori Imlek yang belum terpasang di atas
meja.
Mama
menatapku gemas. “Kamu tim KPK, ya? Mau tahu saja….”
Kami tertawa lepas.
“Tunggu…!”
Mama beranjak ke belakang dan kembali dengan sebuah kantung plastik besar.
“Ini…,” lanjutnya lagi sambil menyodorkan bungkusan itu kepadaku.
“Apa
ini?”
“Baju
baru. Tadi Mama ke pasar dan memilihkan kalian masing-masing dua pasang.”
Aku
mengeluarkan baju-baju itu. Ada empat pasang di dalamnya.
“Usah
memilih. Sudah dipilih Cici (Kak) Jovian dan Cici Sepvian. Sisa yang dua itu
punyamu….”
Aku
mengerucutkan wajahku. Selalu begitu! Tapi, bukankah semua sudah dipilihkan
oleh Mama sebagai yang tercantik di antara semua yang ada di lapak baju itu?
Aku mengeluarkan jurus menghibur diri sendiri!
“Kamu
pakai baju apa pun tetap cantik ‘kan?” hibur Mama.
Aku
diam dan berpura-pura marah.
“Kecuali
dengan muka mirip jeruk purut seperti ini…. Pakai baju apa pun jelek!” imbuh
Mama lagi.
Aku
tak bisa menahan senyum.
“Sudah
punya berapa pasang baju baru?”
Aku
mencoba mengingat-ingat. Baju yang kubeli sendiri…, ada juga pemberian Ci
Jovian dan Ci Sepvian, hadiah ulang tahun dari Bibi Hua tempo hari, baju
pilihan Paman Yuan saat dia berlibur ke Paris, dan…. Astaga! Tak habis kupakai
hingga lewat malam Imlek ke limabelas sekalipun!
“Bagaimana?
Sudah berlebih, ‘kan?”
Aku
mengangguk.
“Kalau
begitu, ini Mama bawa saja untuk berbagi kasih ke panti asuhan lusa, ya?”
“Ah,
Mama…! Keterlaluan nggak, sih? Sudah tak berhak memilih, sekarang malah…,” Aku
memeluk erat kantung plastik hitam beserta isinya itu. “Barang yang sudah
diberikan, tak boleh diminta kembali! Jika tidak….” Kalimat ultimatum
kukibarkan ke udara.
Aku
tahu Mama hanya bercanda. Namun, diam-diam aku tersenyum dan menyetujui ucapan
Mama. Beberapa helai baju bekas layak pakai akan kupilihkan juga nanti.
***
Imlek
hari pertama.
Pagi-pagi,
kami sudah bangun. Mama segera menjerang air gula dan memasak onde-onde, kebiasaan
yang selalu dilakukan kami di pagi hari Imlek, yang melambangkan keutuhan dalam
segala hal, dan dilanjutkan dengan menikmati kue lapis legit yang melambangkan
harapan akan meningkatnya segala usaha, kesehatan, dan kesuksesan seluruh
anggota keluarga.
Telepon
di ruang keluarga sebentar-sebentar berdering. SMS pun tak kalah ramai. Ucapan
‘gong xi fa cai’ menggema di dunia nyata maupun maya sebagai doa dan harapan
akan tahun yang lebih baik lagi.
“Tambah pintar, sehat selalu, ya,” ucap Mama
saat memberiku angpao. Ah, ini ucapan yang sudah kudengar sejak aku duduk di
bangku TK A. Hanya saja, dulu ucapan itu ditambah dengan ‘cepat besar dan jadi
juara, ya’. Tapi, dengan atau tanpa kedua kata itu, aku tetap menyukai angpao
pemberian Mama, terutama isinya! O ow!
Seusai
sarapan, seperti kebiasaan kami bertahun-tahun, setelah paman, bibi, dan para
sepupu tiba, dengan lima mobil keluarga besar kami segera berangkat bersama
mengunjungi tujuh vihara yang tersebar di Kota Medan untuk mendoakan segala
kebaikan untuk tahun yang baru ini.
“Ada
kru Metro TV, Cici Mel…,” ucap Elin, putri Paman Yuan, demi melihat beberapa
orang berpakaian lengkap atribut Metro TV, setibanya kami di vihara keempat,
Vihara Borobudur.
“Boleh
narsis, dong, jarang ada kesempatan masuk tivi, ‘kan?”
Elin
tertawa dan kami berjalan menghindari sorotan kamera tim Metro TV yang sedang menyiarkan
berita dari Vihara Borobudur.
“Selanjutnya
vihara kelima, Setia Budi di Jalan Irian Barat, ya?” komando Nicco, putra tertua
Paman Huang kepada kami semua sebelum kembali ke mobil masing-masing.
Memasuki
ruas Jalan Irian Barat, lalu lintas terlihat padat. Mobil berjalan merayap
mendekati pintu masuk vihara.
Di
bahu jalan, di depan bangunan vihara, para penjual bunga menggelar lapak
dagangannya. Seorang kakek tua berpakaian sederhana mendekati mobil kami,
menawarkan dupa, lilin, dan kertas sembahyang yang digulung menjadi satu paket.
Mama
mengangkat tangannya mengisyaratkan ‘tidak’.
Kutatap
lama kakek itu hingga mobil melaju meninggalkannya di belakang. Kini, seorang
gadis belia turun dari trotoar dan berlari ke arah mobil kami diikuti tiga remaja
laki-laki berusia sekitar limabelas tahun. Masing-masing dari mereka berebut
menawarkan paket-paket sembahyang yang sama kepada kami dan juga mobil lainnya.
Aku
tertegun melihat pemandangan itu. Mereka sama denganku. Kami sama-sama sedang
merayakan Tahun Baru Imlek, tapi mereka….
“Lima
belas ribu saja, Ci…,” teriak gadis itu sambil menempelkan dagangannya di balik
jendela mobil dan terus berlari-lari kecil mengikuti laju mobil. Aku terdiam,
namun batinku sibuk berbicara. Ada rasa tak tenang mendadak muncul. Aku tak
dapat membantunya dengan membeli dagangannya, sebab meski beragama Buddha, kami
sekeluarga menghindari membakar apa pun yang dapat mencemari Bumi. Untuk kami
hanya ada penghormatan tertinggi dengan merangkupkan tangan saja saat berdoa.
Karena
padatnya umat yang berkunjung, akhirnya kami hanya kebagian tempat parkir di
luar area vihara.
Hanya
sebentar di dalam Vihara Setia Budi, aku harus keluar karena tak tahan dengan
asap dupa yang membuat mataku pedih dan dadaku sesak.
Di
dalam mobil aku menunggu anggota lain selesai berdoa. Aku terus memandang para
penjaja dupa dan alat sembahyang yang berlarian di tengah-tengah jalanan yang
padat itu. Tak ada baju baru melekat di tubuh mereka. Keringat bercucuran di
sekujur tubuh. Menantang bahaya demi mendapatkan sedikit keuntungan untuk
ditukar makanan, begitulah realita yang sedang berlangsung di depan mataku.
Bertahun-tahun
lalu, aku juga pernah merasakan Imlek tanpa baju baru. Saat itu, aku seusia
gadis belia tadi. Kala itu, aku tak punya baju baru karena Papa baru saja
meninggal. Jangankan baju baru, untuk makan selanjutnya saja akan menjadi masalah
jika kami tak irit dalam mengelola warisan Papa yang tak banyak itu. Dan, masa
lalu itu selalu lengket di benakku dan membuatku lebih memahami arti penderitaan
orang lain, terlebih tentang kehidupan yang selalu berubah.
Hidup
ini memang tak mudah, tapi selalu ada hikmah yang mengajarkan kita untuk peduli
kepada siapa pun selagi sanggup. Bekerja keras untuk kehidupan, kami sama-sama
melakoninya, tapi aku mungkin lebih beruntung, kerja kerasku hampir selalu
mendapatkan apresiasi tinggi dari atasanku dan memberi hasil ‘cukup’ bagiku.
Aku
mengeluarkan sepuluh buah angpao dari dompetku. Sesaat, aku turun dan menghampiri
anak-anak itu….
“Mel,
kelihatannya gembira sekali, ada apa?” tanya Mama sekembalinya ke mobil.
“Ah,
tidak ada…,” jawabku singkat. “Cemara Asri?”
Mama
mengangguk. Kami melanjutkan perjalanan menuju vihara keenam dan ketujuh di
Cemara Asri.
Aku
akan berdoa untuk kalian semua…!
*Gong xi fa cai
kepada teman-teman pembaca yang merayakan!
*Medan, Harian Analisa (TRP) 3 Februari 2013