Sang
Penari Barongsai
Oleh: Lea Willsen
WANG kembali membuka album itu. Album berwarna
merah yang berisi sejumlah foto-foto atraksi barongsai yang dimainkan oleh
putranya itu menyimpan banyak kenangan. Banyak ingatan yang selalu kembali
berdesak-desakan di pikiran pria paruh baya itu setiap kali ia mengamati
foto-foto itu. Dulu ia kerap menitikkan airmata bila terkenang kembali tragedi
kepergian putranya. Betapa tidak, orangtua mana yang ikhlas mengantarkan
kepergian anaknya yang mendahuluinya?
Tetapi..., beberapa tahun terakhir Wang tak
lagi menitikkan airmata. Mungkin, secara perlahan waktu yang terus bergulir
telah menawarkan rasa sakit itu. Entahlah, terkadang Wang sendiri teramat tak
setuju dengan ungkapan kalau waktu dapat perlahan menawarkan rasa sakit di
hati. Oleh waktu yang telah berlalu belasan tahun, mungkin airmatanya memang
telah mengering, tetapi bukan berarti rasa sakit di hatinya juga telah
terobati. Sama sekali tidak!
Jika boleh memilih, Wang lebih ingin bila
nyawanya yang pergi menggantikan nyawa putranya. Rimin masih terlalu muda untuk
dipanggil oleh-Nya. Anak itu baru berusia dua puluh satu tahun. Ia adalah
seorang anak yang berbakat. Di usia yang masih belia itu Rimin telah menjuarai
sejumlah kompetisi barongsai, dan memeroleh banyak penghargaan. Bila anak itu
masih tetap hidup, bukankah ia akan tetap mencatat prestasi dan membanggakan
Wang?
Tubuh Rimin tidak terlalu besar. Tingginya
seratus tujuh puluh dua senti. Tetapi ia memiliki otot yang kuat dan lincah. Ia
adalah pemain yang memegang peran sebagai kepala barongsai. Selain harus
melompat dengan beban kepala barongsai yang beratnya dapat mencapai tujuh belas
kilo, ia juga harus pintar memainkan ekspresi si barongsai, seperti mengedipkan
mata atau menggerakkan kuping dan rahangnya. Ia termasuk pemain yang menonjol
dan dihargai oleh pelatih serta anggota lain dalam sanggar tari barongsai yang
telah membesarkan namanya itu.
Semenjak duduk di bangku SD pun, Rimin telah
menunjukkan ketertarikan besarnya terhadap seni dan tradisi barongsai. Wang
paham betul keinginan putranya untuk menjadi seorang penari barongsai setelah
dewasa. Sebagian orangtua suku Tionghoa mungkin kurang setuju bila anak-anak
mereka berkecimpung di dunia seni yang kurang menjanjikan masa depan. Tetapi
Wang tidak demikian. Ia tidak berharap banyak kalau kelak putra tunggalnya itu
akan menjadi seorang pengusaha kaya ataupun bos besar. Ia hanya berharap Rimin
dapat menjalani hidup dengan baik dan bahagia.
Di usia Rimin yang lima belas, Wang
mendaftarkannya menjadi salah seorang murid dari sebuah sanggar tari barongsai ternama.
Ia ingin Rimin memeroleh didikan yang tepat untuk mewujudkan impian menjadi
seorang penari barongsai profesional, tidak sekadar ‘penari’ barongsai jalanan
yang bermodalkan kostum barongsai dan sejumlah alat-alat musik seperti tambur,
kenong, dan simbal untuk mengumpulkan angpao.
Apa yang Rimin pelajari dari sanggar tari itu
tidaklah mudah. Anak itu harus berlatih selama satu setengah tahun terlebih
dulu sebelum benar-benar diperbolehkan untuk tampil menghibur penonton. Mengikuti
pola dasar, skenario tarian barongsai terbagi menjadi delapan sesi yang
disebut; tidur, pembuka, bermain, pencarian, bertarung, makan, penutup, dan
kembali pada tidur. Masing-masing sesi memiliki makna, teori, serta gerakan
berbeda yang harus dipelajari. Namun itu bukanlah pola yang mutlak harus
diikuti. Untuk menciptakan suatu kebaruan, ada kalanya Rimin bersama anggota
harus menyusun sebuah skenario yang lebih variatif serta kreatif untuk
disesuaikan dengan acara dan golongan penonton yang menyaksikan pertunjukan
mereka.
Rimin cocok menjalani hidupnya sebagai seorang
penari barongsai. Entah hanya kebetulan belaka atau memang genetik berpengaruh
dalam segala pencapaian Rimin. Ayah Wang—akong
Rimin—dulunya juga adalah seorang penari dan pendiri sebuah sanggar tari
barongsai. Sanggar tari milik akong
Rimin hanya bertahan selama beberapa tahun, dan oleh sebuah kebijakan di masa
Orde Baru, sanggar itu terpaksa harus dibubarkan. Beberapa sanggar yang besar
masih memeroleh kesempatan untuk tampil di lokasi-lokasi tertentu seperti
kelenteng atau vihara pada acara-acara tertentu. Tetapi sanggar yang didirikan
oleh akong Rimin hanyalah sebuah
sanggar kecil yang anggotanya tidak lebih dari sepuluh orang. Alat-alat yang
digunakan dalam pertunjukan semula masih disimpan rapi dalam sebuah gudang,
kemudian termakan usia, dan berakhir dijual dengan harga loak.
Tidak hanya memiliki keterampilan yang sama,
tetapi cara meninggal yang ditempuh oleh Rimin dan agong-nya juga sama, yakni kecelakan mobil di malam Imlek kedua.
Peristiwa itu menimpa Rimin usai mempertunjukkan tari barongsai di luar kota.
Malam hari pukul delapan lewat empat puluh lima menit, Wang menerima sebuah
telepon yang mengabari kalau putranya telah meninggal sebelum dilarikan ke RS. Mobilnya
jatuh ke jurang ketika dalam perjalanan pulang dari luar kota.
Famili dan kenalan yang kala itu mengetahui
peristiwa itu mencoba mengaitkannya dengan kutukan atau ulah roh jahat. Mereka
masih percaya kepada takhayul kalau barongsai itu adalah makhluk yang dapat
membawa serta roh jahat di sekitar. Orang-orang yang menarikan barongsai dapat
mengalami kesurupan atau dikendalikan roh jahat seperti tari kuda lumping.
Mereka sama sekali tak mau percaya sekalipun Wang berusaha keras menjelaskan
kalau barongsai adalah sebuah seni dan tradisi warisan leluhur. Rimin putranya
memahami secara jelas, kalau barongsai yang dicintainya sepenuh hati tak
semistik yang dikatakan orang-orang.
Wang lebih terima bila peristiwa yang menimpa
Rimin adalah takdir, bukan sesuatu yang menjelek-jelekkan hobi putranya.
Sebuah foto dalam album yang berada di pangkuan
Wang menunjukkan Rimin sedang berdiri tegap memeluk kostum barongsai di
lengannya. Anak itu tersenyum bahagia. Tak kalah indah senyum kebanggaan di
wajah Wang yang tepat berdiri di sebelahnya. Foto itu diambil ketika pertama
kali Rimin memenangkan tari barongsai kelas nasional di usianya yang ketujuh
belas. Bagaimana mungkin senyum bahagia itu dikaitkan dengan hal-hal mistik
seperti dirasuki roh jahat? Yang Wang yakini hanyalah putranya adalah seorang
penari barongsai berbakat, dan semua itu tercapai atas usaha keras, bukan
pengaruh roh jahat.
“Permisi...! Permisi...!” suara seorang pria
berteriak dari luar pagar.
Wang segera bangkit dari kursi goyangnya, dan meletakkan
kembali album itu di atas rak. Ia mengernyitkan mata—sebelum keluar untuk
membukakan pintu—memerhatikan baik-baik orang yang sedang memanggil pintu itu
dari dalam. Orang tua itu masih selalu mengingat kondisi di masa lalu, di mana
pada hari-hari Imlek sangat pantang sembarangan menyahut atau membukakan pintu,
karena banyaknya aksi mengucapkan “kiong
hie”—jika tak ingin disebut pungutan liar—yang ujung-ujungnya meminta
diberikan angpao. Satu pintu rumah
suku Tionghoa sehari bisa didatangi orang-orang demikian hingga lima atau enam
kali.
“Oh! Ya, ya! Acek datang!” sahut Wang segera
begitu berhasil mengenali orang yang sedang berdiri di luar. Pria itu adalah
Ahmad, seorang anggota dari sanggar tari barongsai yang dulunya kerap
berpasangan bersama Rimin—menjadi ekor barongsai—dalam berbagai pertunjukan
serta kompetisi. Sejak dulu pria keturunan Jawa itu memiliki hubungan dekat
dengan keluarga Wang. Dan selama belasan tahun ini ia masih tetap ingat untuk sesekali
bertamu di rumah Wang—terlebih pada Hari Raya Imlek—meskipun sahabatnya telah
meninggal.
Melihat Ahmad jugalah yang selalu meyakinkan
Wang bahwa kepergian Rimin bukan disebabkan oleh roh jahat. Saat peristiwa itu
terjadi, Ahmad berada dalam satu mobil bersama Rimin, dan juga tiga anggota penari
barongsai lainnya. Menurut cerita Ahmad, mobil yang mereka tumpangi mengalami
kecelakaan karena si supir mengantuk.
Rimin menjadi satu-satunya orang yang
meninggal, maka itu sudah takdirnya. Mungkin Tuhan telah begitu merindukan anak
baik itu untuk segera berada di sisi-Nya. Pepatah berbunyi; seseorang yang baik itu tidak berumur
panjang...
***
Akhir
Desember, 2012
Cerpen muat di
Rubrik Cerpen dan Puisi, Harian Analisa, Medan, 20-02-2013
Ilustrasi muat
di Rubrik TRP, Harian Analisa, Medan, empat tahun lalu