2L
Friday, April 29, 2011
Cemburu = Kasih
2L
Posted by Art Dimension
Art Dimension Updated at: 11:04 PM
Tuesday, April 19, 2011
Ikut Lomba Menulis di Facebook, Menjadi Pemenang Atau Korban?
"Akan dipilih satu pemenang yang berhak memeroleh satu buku XXX. Dan untuk peserta sepuluh besar, naskah akan dibukukan dan royalti akan disumbangkan pada yayasan sosial XXX."
Untuk penulis atau pun calon penulis, tentu kalimat di atas atau yang senadanya telah pernah dijumpai bukan? Seiring fenomena bermunculannya penerbit-penebit baru--khususnya self publisher--di dunia kepenulisan kita, berbagai lomba-lomba menulis yang diselenggarakan penerbit pun bermunculan di FB juga. Dan biasanya jumlah peserta akan meledak, kendati kalau mau jujur, sebenarnya reward yang dijanjikan sangatlah tak sebanding dengan proses kreativitas yang dibutuhkan.
Lalu apa sebenarnya yang menyihir para peserta untuk mengikutinya? Coba Anda perhatikan kalimat di atas lagi, tertulis, "peserta sepuluh besar, naskah akan dibukukan". Ya, kalimat inilah yang telah sukses menyihir para peserta.
Dewasa ini, seiring semakin banyaknya masyarakat yang memiliki minat besar untuk menulis dan menerbitkan karya tersebut, para penerbit tua yang telah memiliki nama harum pun benar-benar sudah kehilangan daya untuk menampung karya-karya tersebut, yang padahal terkadang dapat dikatakan adalah karya yang bagus. Di arena persaingan, beda tipis saja, naskah pun terpaksa harus ditolak.
Alhasil, menulis pun menjadi jauh lebih mudah daripada menerbitkannya. Tetapi, bila hanya menulis dan tidak diterbitkan, lalu siapa yang baca? Bukankah sebuah karya tulis itu selain untuk dibaca sendiri, seharusnya juga untuk dibaca orang lain?
Karena impian/keinginan untuk menerbitkan buku itulah, para calon penulis, dan bahkan para penulis yang namanya sudah cukup dikenal di daerahnya masing-masing pun memilih untuk mengikuti lomba tersebut, dengan harapan semoga naskah mereka lolos seleksi dan dapat diterbitkan tanpa modal materi sepersen pun.
Padahal, ini adalah hal yang sangat menyedihkan. Dari 300-an atau 500-an peserta, hanya akan dipilih puluhan nama. Itu pun hanya satu yang berhak memeroleh reward berupa sebuah buku yang harganya tak lebih besar dari lima puluh ribu rupiah. Total royalti akan disumbangkan ke yayasan sosial. Tak jarang pula, sebenarnya si pendiri yayasan sosial dan panitia adalah orang yang sama.
Kita memang sering mendengar pepatah berbunyi, "kalah menang hal yang wajar". Tetapi, sebenarnya kekalahan dari mengikuti event seperti ini adalah aib yang menjadi penghalang si peserta untuk menjadi seorang penulis besar, karena biasanya event demikian wajib men-tag banyak-banyak teman di FB, yang ujung-ujungnya menjadi memberitahukan kepada publik bahwa ia kalah dengan karya tersebut. Karena tulisannya buruk? Sebenarnya tidak juga. Hanya saja, itulah anggapan sebagian besar orang. Kalau pun sebenarnya saat itu telah ada seorang editor yang menyukai karyanya, melihatnya kalah, sang editor pun menjadi harus berpikir dua kali.
Nah, di atas bercerita tentang kerugian yang kalah, tetapi untuk yang menang pun sebenarnya tetap rugi! Mengapa dikatakan demikian? Cobalah direnungkan, apa sebenarnya keuntungan dari terbit buku dengan cara seperti itu? Untuk mendongkrak nama?
Sekadar opini, untuk buku-buku yang telah diterbitkan pun mungkin jarang dibeli, karena yang menerbitkan buku tersebut adalah penerbit yang (maaf) minim modal, dan bermaksud mencari naskah bagus tanpa memberikan royalti kepada penulis bersangkutan. Bukan bermaksud mengatakan si penerbit miskin, hanya saja biaya pengeluaran memang telah ditentukan/dibatasi sedari awal. Biasanya proses pemasaran dan promosi penerbit demikian juga kurang menjanjikan.
Hitung-hitung, sebenarnya peserta yang karyanya terpilih untuk dibukukan telah menjadi korban penipuan naskah dengan modus yang halus, dan hanya memeroleh imbalan namanya mejeng di kaver buku. Hanya itu.
Padahal, karyanya terpilih karena bagus. Dan kalau dikirim ke media massa dan lolos diterbitkan, paling tidak honornya tujuh puluh lima ribu rupiah. Dan dari media massa, sebenarnya karya tersebut jauh lebih banyak dibaca oleh masyarakat serta nama si empunya pun akan lebih terdongkrak.
Sependapat atau tidak, ini hanya sekadar opini. Penulis yakin masing-masing individu tentu wajar bila memiliki opini yang berbeda. Dan kalau pun sependapat, bukan berarti kita harus memusuhi penerbit yang telah menyelenggarakan event-event demikian. Itu termasuk kreatif--kreatif dalam berbisnis. Selagi kedua belah pihak merasa setuju/mau, tentu tak ada yang salah.
Lea W, 2011
Untuk penulis atau pun calon penulis, tentu kalimat di atas atau yang senadanya telah pernah dijumpai bukan? Seiring fenomena bermunculannya penerbit-penebit baru--khususnya self publisher--di dunia kepenulisan kita, berbagai lomba-lomba menulis yang diselenggarakan penerbit pun bermunculan di FB juga. Dan biasanya jumlah peserta akan meledak, kendati kalau mau jujur, sebenarnya reward yang dijanjikan sangatlah tak sebanding dengan proses kreativitas yang dibutuhkan.
Lalu apa sebenarnya yang menyihir para peserta untuk mengikutinya? Coba Anda perhatikan kalimat di atas lagi, tertulis, "peserta sepuluh besar, naskah akan dibukukan". Ya, kalimat inilah yang telah sukses menyihir para peserta.
Dewasa ini, seiring semakin banyaknya masyarakat yang memiliki minat besar untuk menulis dan menerbitkan karya tersebut, para penerbit tua yang telah memiliki nama harum pun benar-benar sudah kehilangan daya untuk menampung karya-karya tersebut, yang padahal terkadang dapat dikatakan adalah karya yang bagus. Di arena persaingan, beda tipis saja, naskah pun terpaksa harus ditolak.
Alhasil, menulis pun menjadi jauh lebih mudah daripada menerbitkannya. Tetapi, bila hanya menulis dan tidak diterbitkan, lalu siapa yang baca? Bukankah sebuah karya tulis itu selain untuk dibaca sendiri, seharusnya juga untuk dibaca orang lain?
Karena impian/keinginan untuk menerbitkan buku itulah, para calon penulis, dan bahkan para penulis yang namanya sudah cukup dikenal di daerahnya masing-masing pun memilih untuk mengikuti lomba tersebut, dengan harapan semoga naskah mereka lolos seleksi dan dapat diterbitkan tanpa modal materi sepersen pun.
Padahal, ini adalah hal yang sangat menyedihkan. Dari 300-an atau 500-an peserta, hanya akan dipilih puluhan nama. Itu pun hanya satu yang berhak memeroleh reward berupa sebuah buku yang harganya tak lebih besar dari lima puluh ribu rupiah. Total royalti akan disumbangkan ke yayasan sosial. Tak jarang pula, sebenarnya si pendiri yayasan sosial dan panitia adalah orang yang sama.
Kita memang sering mendengar pepatah berbunyi, "kalah menang hal yang wajar". Tetapi, sebenarnya kekalahan dari mengikuti event seperti ini adalah aib yang menjadi penghalang si peserta untuk menjadi seorang penulis besar, karena biasanya event demikian wajib men-tag banyak-banyak teman di FB, yang ujung-ujungnya menjadi memberitahukan kepada publik bahwa ia kalah dengan karya tersebut. Karena tulisannya buruk? Sebenarnya tidak juga. Hanya saja, itulah anggapan sebagian besar orang. Kalau pun sebenarnya saat itu telah ada seorang editor yang menyukai karyanya, melihatnya kalah, sang editor pun menjadi harus berpikir dua kali.
Nah, di atas bercerita tentang kerugian yang kalah, tetapi untuk yang menang pun sebenarnya tetap rugi! Mengapa dikatakan demikian? Cobalah direnungkan, apa sebenarnya keuntungan dari terbit buku dengan cara seperti itu? Untuk mendongkrak nama?
Sekadar opini, untuk buku-buku yang telah diterbitkan pun mungkin jarang dibeli, karena yang menerbitkan buku tersebut adalah penerbit yang (maaf) minim modal, dan bermaksud mencari naskah bagus tanpa memberikan royalti kepada penulis bersangkutan. Bukan bermaksud mengatakan si penerbit miskin, hanya saja biaya pengeluaran memang telah ditentukan/dibatasi sedari awal. Biasanya proses pemasaran dan promosi penerbit demikian juga kurang menjanjikan.
Hitung-hitung, sebenarnya peserta yang karyanya terpilih untuk dibukukan telah menjadi korban penipuan naskah dengan modus yang halus, dan hanya memeroleh imbalan namanya mejeng di kaver buku. Hanya itu.
Padahal, karyanya terpilih karena bagus. Dan kalau dikirim ke media massa dan lolos diterbitkan, paling tidak honornya tujuh puluh lima ribu rupiah. Dan dari media massa, sebenarnya karya tersebut jauh lebih banyak dibaca oleh masyarakat serta nama si empunya pun akan lebih terdongkrak.
Sependapat atau tidak, ini hanya sekadar opini. Penulis yakin masing-masing individu tentu wajar bila memiliki opini yang berbeda. Dan kalau pun sependapat, bukan berarti kita harus memusuhi penerbit yang telah menyelenggarakan event-event demikian. Itu termasuk kreatif--kreatif dalam berbisnis. Selagi kedua belah pihak merasa setuju/mau, tentu tak ada yang salah.
Lea W, 2011
Posted by Art Dimension
Art Dimension Updated at: 10:19 PM
Tuesday, April 12, 2011
Penulis Tak Boleh Hanya Berharap kepada Editor
Saya masih ingat dengan bunyi pepatah yang sempat keluar dari mulut paman saya suatu ketika sedang berbincang di kediaman saya, "hanya berharaplah pada tulang sendiri untuk menumbuhkan daging". Artinya, seseorang tak boleh berharap untuk dapat sukses dengan mengandalkan orang lain. Hanya daging yang tumbuh pada tulang sendirilah yang menjadi milik sendiri--hanya usaha sendirilah yang menjadi kesuksesan milik sendiri.
Disadari atau tidak, sesungguhnya dalam dunia sastra juga demikian. Seorang penulis tidak akan mungkin dapat bertahan, jikalau hanya berharap pada editor.
Mungkin benar, tugas seorang editor adalah mengedit tulisan agar tulisan itu menjadi lebih indah. Tetapi, bukan berarti karena ada editor, seorang penulis lantas menjadi membebaskan diri sendiri dari tugas mengedit tulisan sendiri dan juga belajar untuk menghasilkan tulisan yang lebih indah.
Sejauh yang saya ketahui, yang mengirimkan tulisan untuk penerbit bukanlah hanya satu atau dua orang. Persaingan sangat ketat. Berbagai tema atau gaya tulisan dimulai dari yang benar-benar bagus bahkan yang benar-benar hancur ada di sana. Dan oleh karena begitu beragamnya tulisan untuk dipilih, tentu wajar saja, editor akan lebih berpihak pada tulisan yang bagus daripada yang buruk dan harus diedit habis-habisan lagi.
Selain itu, penerbit juga termasuk sebuah perusahaan yang bertujuan untuk memeroleh untung, tidak semata bertugas menerbitkan buku untuk dibaca oleh masyarakat. Modal yang telah ditentukan untuk menerbitkan buku juga memiliki batas. Kalau tak ingin 'tewas' di usia muda, tentu perusahaan (penerbit) harus memilih tulisan yang diprediksi dapat memikat calon pembeli di pasar nanti. Dan karena keterbatasan modal yang telah ditentukan itu jugalah, jangankan tulisan yang masih membutuhkan kerja ekstra editor untuk menyempurnakannya, tulisan yang sudah bagus pun banyak yang terpaksa harus ditolak. Ini adalah hal yang wajar terjadi. Bahkan seorang teman sesama penulis sering mengatakan, untuk bisa bekerjasama dengan sebuah perusahaan penerbitan, harus ada ikatan jodoh.
Sayangnya, seiring dengan makin meningkatnya keinginan menulis masyarakat, ternyata masih banyak calon penulis yang tidak menyadari sistem kerja yang ada pada penerbit. Mereka masih meyakini bahwa tulisan mereka nantinya akan disempurnakan seorang editor, dan mereka tinggal 'memuntahkan' ide-ide yang ada di dalam otak tanpa perlu adanya modal skill menulis yang baik. Padahal itu keliru. Tak ada satu pun penerbit yang bersedia mengeluarkan modal puluhan juta untuk menerbitkan sebuah judul tulisan yang masih hancur-hancuran, sementara mereka masih memiliki banyak judul tulisan yang bagus untuk dipilih.
Seorang redaktur juga pernah berkata, kalau mau mengedit tulisan yang hancur hingga menjadi sempurna, maka tulisan itu pun seolah menjadi karyanya, bukan karya si pengirim.
Sejatinya seorang penulis harus benar-benar memiliki kemampuan menulis yang bagus, bukan sekadar keinginan dan harapan belaka. Anggaplah di depan ada dua opsi, menghabiskan waktu untuk perbanyak belajar dan memeroleh ilmu yang baik, atau menghabiskan waktu untuk menuliskan sesuatu yang 100% ditolak penerbit. Pilih yang mana?!
Lea Willsen, 2011
Disadari atau tidak, sesungguhnya dalam dunia sastra juga demikian. Seorang penulis tidak akan mungkin dapat bertahan, jikalau hanya berharap pada editor.
Mungkin benar, tugas seorang editor adalah mengedit tulisan agar tulisan itu menjadi lebih indah. Tetapi, bukan berarti karena ada editor, seorang penulis lantas menjadi membebaskan diri sendiri dari tugas mengedit tulisan sendiri dan juga belajar untuk menghasilkan tulisan yang lebih indah.
Sejauh yang saya ketahui, yang mengirimkan tulisan untuk penerbit bukanlah hanya satu atau dua orang. Persaingan sangat ketat. Berbagai tema atau gaya tulisan dimulai dari yang benar-benar bagus bahkan yang benar-benar hancur ada di sana. Dan oleh karena begitu beragamnya tulisan untuk dipilih, tentu wajar saja, editor akan lebih berpihak pada tulisan yang bagus daripada yang buruk dan harus diedit habis-habisan lagi.
Selain itu, penerbit juga termasuk sebuah perusahaan yang bertujuan untuk memeroleh untung, tidak semata bertugas menerbitkan buku untuk dibaca oleh masyarakat. Modal yang telah ditentukan untuk menerbitkan buku juga memiliki batas. Kalau tak ingin 'tewas' di usia muda, tentu perusahaan (penerbit) harus memilih tulisan yang diprediksi dapat memikat calon pembeli di pasar nanti. Dan karena keterbatasan modal yang telah ditentukan itu jugalah, jangankan tulisan yang masih membutuhkan kerja ekstra editor untuk menyempurnakannya, tulisan yang sudah bagus pun banyak yang terpaksa harus ditolak. Ini adalah hal yang wajar terjadi. Bahkan seorang teman sesama penulis sering mengatakan, untuk bisa bekerjasama dengan sebuah perusahaan penerbitan, harus ada ikatan jodoh.
Sayangnya, seiring dengan makin meningkatnya keinginan menulis masyarakat, ternyata masih banyak calon penulis yang tidak menyadari sistem kerja yang ada pada penerbit. Mereka masih meyakini bahwa tulisan mereka nantinya akan disempurnakan seorang editor, dan mereka tinggal 'memuntahkan' ide-ide yang ada di dalam otak tanpa perlu adanya modal skill menulis yang baik. Padahal itu keliru. Tak ada satu pun penerbit yang bersedia mengeluarkan modal puluhan juta untuk menerbitkan sebuah judul tulisan yang masih hancur-hancuran, sementara mereka masih memiliki banyak judul tulisan yang bagus untuk dipilih.
Seorang redaktur juga pernah berkata, kalau mau mengedit tulisan yang hancur hingga menjadi sempurna, maka tulisan itu pun seolah menjadi karyanya, bukan karya si pengirim.
Sejatinya seorang penulis harus benar-benar memiliki kemampuan menulis yang bagus, bukan sekadar keinginan dan harapan belaka. Anggaplah di depan ada dua opsi, menghabiskan waktu untuk perbanyak belajar dan memeroleh ilmu yang baik, atau menghabiskan waktu untuk menuliskan sesuatu yang 100% ditolak penerbit. Pilih yang mana?!
Lea Willsen, 2011
Posted by Art Dimension
Art Dimension Updated at: 11:29 AM
Sunday, April 10, 2011
Cara Mengetahui Jumlah Backlink
Backlink, backlink, dan backlink lagi. Banyak blog yang membahas backlink. Dan kenyataannya, backlink memang adalah sesuatu yang sangat penting untuk kemajuan sebuah blog. Semakin banyak backlink, semakin berpotensilah sebuah blog untuk memeroleh pagerank, agar lebih mudah terbaca oleh mesin pencari. Lalu, bagaimanakah cara untuk mengetahui sudah seberapa banyak backlink sebuah blog?
Saya yakin, sudah banyak blog yang membahas cara untuk mengetahui seberapa banyak backlink dari sebuah blog. Kalau pun postingan ini tak dibuat, Anda juga akan dengan mudah menemukan cara untuk mengetahui seberapa banyak backlink dari sebuah blog lewat tutorial yang ada pada blog lain.
Ya, bagaimana pun juga, kendati sudah banyak blog yang membahas hal ini, namun dari hari ke hari, masih saja ada banyak blogger yang membutuhkan informasi ini. Anggap saja sekadar untuk melengkapi bacaan Anda di Art Dimension ini. Bila masih ada yang membacanya--kendati sudah sering ditulis--berarti yang membaca berjodoh dengan Art Dimension.
Caranya sangat mudah. Silakan kunjungi situs ini, kemudian masukkanlah URL blog bersangkutan.
Baca juga cara untuk memeroleh banyak backlink di postingan ini. Salam!
Saya yakin, sudah banyak blog yang membahas cara untuk mengetahui seberapa banyak backlink dari sebuah blog. Kalau pun postingan ini tak dibuat, Anda juga akan dengan mudah menemukan cara untuk mengetahui seberapa banyak backlink dari sebuah blog lewat tutorial yang ada pada blog lain.
Ya, bagaimana pun juga, kendati sudah banyak blog yang membahas hal ini, namun dari hari ke hari, masih saja ada banyak blogger yang membutuhkan informasi ini. Anggap saja sekadar untuk melengkapi bacaan Anda di Art Dimension ini. Bila masih ada yang membacanya--kendati sudah sering ditulis--berarti yang membaca berjodoh dengan Art Dimension.
Caranya sangat mudah. Silakan kunjungi situs ini, kemudian masukkanlah URL blog bersangkutan.
Baca juga cara untuk memeroleh banyak backlink di postingan ini. Salam!
Posted by Art Dimension
Art Dimension Updated at: 10:45 PM
Friday, April 8, 2011
Catatan Art Dimension: Pencapaian Setengah Tahun (8 April 2011)
Pepatah berbunyi, "tak ada usaha yang tak membuahkan hasil". Saya masih ingat dengan jelas, saat Art Dimension baru-baru dibuat, jangankan berada di posisi terbawah dari halaman pertama, hingga tiga empat halaman, baru blog ini muncul di mesin pencari Google, dengan kata kunci "Art Dimension". Ironisnya, bahkan nama-nama yang tidak begitu sesuai dengan kata kuncilah yang malahan muncul di depan. Misalkan nama web "Art of Dimension", atau lainnya yang kebanyakan berasal dari luar negeri.
Hal itu disebabkan oleh sudah terlalu banyaknya pihak-pihak yang menggunakan nama Art Dimension, sehingga blog yang baru terlahir ini pun terkapar tak berdaya sebelum sempat bersaing.
Bila harus jujur, mungkin ini dapat dikatakan sebagai suatu kecerobohan yang lumayan fatal. Saat memberikan nama, saya sama sekali tak mengecek apakah nama tersebut sudah pernah digunakan atau tidak. Padahal, nama dari sebuah blog cukup berpengaruh pada kemajuan blog tersebut nantinya.
Coba perhatikan, banyak sekali blog yang begitu diketikkan namanya di Google, sudah langsung muncul di posisi teratas 'kan? Padahal blog itu hanya berisi belasan postingan dan kurang begitu terawat. Hal itu bisa terjadi karena nama dari blog tersebut masih belum ada yang punya.
Ya, tapi bagaimana pun juga, lagi-lagi pepatah berbunyi, "yang lalu biarlah berlalu". Tak ada sedikit pun penyesalan atau keinginan untuk mengganti nama blog ini. Dan setelah perjuangan (lebay) selama setengah tahun lebih, kini blog ini telah berhasil menduduki posisi ketiga dari halaman pertama mesin pencari Google!
Dengan kata lain, selama setengah tahun ini, blog ini sudah berhasil mengungguli puluhan blog atau web lainnya. Selain itu, hal lain yang cukup memuaskan ialah Alexa rank yang hanya dalam kurun waktu satu bulan terakhir saja, sudah meningkat hingga delapan kali lipat dari sebelumnya!
Tetapi, bagaimana pun juga, blog ini masihlah 'anak bayi'. Ke depannya, masih ada banyak target. Salah satunya ialah memeroleh pagerank dari Google. Dan bila Anda yang sedang membaca postingan ini juga seorang blogger yang memiliki tujuan sama (memeroleh pagerank), silakan klik ini.
Salam
Admin
Hal itu disebabkan oleh sudah terlalu banyaknya pihak-pihak yang menggunakan nama Art Dimension, sehingga blog yang baru terlahir ini pun terkapar tak berdaya sebelum sempat bersaing.
Bila harus jujur, mungkin ini dapat dikatakan sebagai suatu kecerobohan yang lumayan fatal. Saat memberikan nama, saya sama sekali tak mengecek apakah nama tersebut sudah pernah digunakan atau tidak. Padahal, nama dari sebuah blog cukup berpengaruh pada kemajuan blog tersebut nantinya.
Coba perhatikan, banyak sekali blog yang begitu diketikkan namanya di Google, sudah langsung muncul di posisi teratas 'kan? Padahal blog itu hanya berisi belasan postingan dan kurang begitu terawat. Hal itu bisa terjadi karena nama dari blog tersebut masih belum ada yang punya.
Ya, tapi bagaimana pun juga, lagi-lagi pepatah berbunyi, "yang lalu biarlah berlalu". Tak ada sedikit pun penyesalan atau keinginan untuk mengganti nama blog ini. Dan setelah perjuangan (lebay) selama setengah tahun lebih, kini blog ini telah berhasil menduduki posisi ketiga dari halaman pertama mesin pencari Google!
Dengan kata lain, selama setengah tahun ini, blog ini sudah berhasil mengungguli puluhan blog atau web lainnya. Selain itu, hal lain yang cukup memuaskan ialah Alexa rank yang hanya dalam kurun waktu satu bulan terakhir saja, sudah meningkat hingga delapan kali lipat dari sebelumnya!
Tetapi, bagaimana pun juga, blog ini masihlah 'anak bayi'. Ke depannya, masih ada banyak target. Salah satunya ialah memeroleh pagerank dari Google. Dan bila Anda yang sedang membaca postingan ini juga seorang blogger yang memiliki tujuan sama (memeroleh pagerank), silakan klik ini.
Salam
Admin
Posted by Art Dimension
Art Dimension Updated at: 1:42 PM
Subscribe to:
Posts (Atom)
Entri Populer
-
Teknologi SIM ganda pada smartphone bukan lagi hal baru di dunia pergawaian. Hampir semua merek memiliki model smartphone yang dibekali...
-
Foto: Rizka Amita Bermunculannya smartphone yang menggunakan slot model hybrid dari yang murah hingga mahal selangit, sedikit banya...
-
Menyambung postingan sebelumnya yang membahas tentang salah satu game balap berkualitas yang ada pada sistem operasi Android, yaitu N...
-
Pada kesempatan kali ini, kita akan membahas tentang perlu dan pentingnya sikap sopan-santun bagi kita semua. Karena, sikap sopan-santun ...
-
Tentu, dalam menciptakan suatu karya tulis, penulis-penulis cenderung lebih memprioritaskan MAKNA KATA daripada sakadar BUNYI KATA. Cara ...
-
Sejumlah fitur baru selalu mempermanis sejumlah smartphone flagship berbagai merek, sebut saja Samsung GALAXY S7 atau S7 Edge, di mana salah...
-
Sedari zaman dulu pun, desain fisik sebuah ponsel umumnya selalu tidak luput dari kepentingan para pengguna tunanetra, atau katakanlah ...
-
Oleh: Lea Willsen SEBAGIAN orang beranggapan kalau belajar menggambar itu membutuhkan biaya yang maha...
-
Setelah lama kita mendengar kabar akan ditambahkannya tombol dislike oleh Facebook (FB), kemudian kita juga sempat menduga-duga atau be...