Dengan curhat, mungkin benar, terkadang hati seseorang akan menjadi sedikit lega, atau setidaknya merasa telah berhasil melampiaskannya dengan cara mengubah beban di hati menjadi rangkaian kalimat-kalimat untuk didengarkan si 'korban'. Namun sadarkah? Sesungguhnya kata "curhat" hanyalah sebuah istilah halus dari kegiatan berkeluh-kesah terhadap seseorang.
Mendengar curhat (keluh-kesah) seseorang bukanlah hal mudah. Selain kita harus memberikan waktu kita, kita juga dituntut bersikap sabar, mampu menghibur, atau memberi solusi. Dan bagaimana bila setelah semua pengorbanan itu kita berikan, masalah si 'pasien' masih tak kunjung selesai, dan malah semakin bertambah rumit?
Beda cerita bila kita adalah psikolog profesional yang memang mencari nafkah dari kegiatan mendengar curhat seseorang, namun kini kita hanya seorang biasa, yang tentunya juga memiliki rutinitas, beban pikiran tersendiri. Ya, praktis, mungkin segera setelah 'over dosis' mendengar curhatan orang lain, kitalah yang malah menjadi seorang yang stress atau depresi berat, serta butuh jasa seorang psikolog. Ini tidak mengada-ada.
Mendengar curhat tidaklah sama dengan mendengar gosip. Bila mendengar gosip, mungkin kita masih dapat menertawakan seseorang yang tengah digosipkan. Namun bila mendengar curhat, cenderung yang diceritakan adalah masalah lara, yang seolah membuat kita mau tak mau harus turut 'terseret' dalam perasaan orang yang tengah curhat dengan kita.
Pedahal, setiap individu, bahkan orang yang paling dekat sekali pun, tetap memiliki batas kemampuan untuk mendengar keluh-kesah seseorang. Maka dari itu, bila kita yang tengah berada pada posisi membutuhkan teman curhat, alangkah baiknya bila kita mampu menentukan batasan-batasan tertentu, agar jangan sampai curhatan kita menjadi penderitaan si pendengar.
Sekiranya pendengar curhat adalah malaikat, mungkin sedari awal ia sudah menghilangkan semua kesengsaraan kita dengan kemampuan saktinya. Dan bila pendengar curhat adalah orang yang benar-benar mengasihi kita, bila memungkinkan, ia juga ingin berganti posisi dengan kita. Tapi nyatanya ia hanya manusia biasa, ia mendengar, prihatin, bersedih, ingin membantu, tapi apa daya hanya sebatas menghibur atau memberi masukan yang ia mampu. Ironis...!
Lea Willsen, 2011