Oleh: Lea Willsen
Bab
3
“KAK Leysa,
apa di sini ada?” tanya Randy berbisik-bisik sebelum memasuki rumah.
Leysa pun
menepuk ringan kepala adiknya. “Jangan bertanya. Selalu setelah kukasih tahu
keberadaan mereka, kau akan menangis ketakutan dan membuatku dimarahi Mama...”
“Tapi aku
ingin tahu posisi pastinya di mana saja, biar bisa menghindari tempat itu...”
“Jangan
bicara lagi. Anggap saja tak ada yang dapat memberitahukannya kepadamu.”
“Huh! Kakak
jahat!” protes Randy yang kemudian berlari ke dalam rumah.
Leysa
tersentak, baru saja adiknya berlari menerobos sesosok bayangan putih yang tak
memiliki tangan. Ah, kalau saja Randy tahu, pasti akan kembali menangis
ketakutan. Terkadang, Leysa berpikir akan lebih baik bila ia tak menceritakan
apa yang terlihat olehnya kepada orang lain, agar tak membuat mereka ketakutan
tanpa alasan. Sudah banyak sosok-sosok aneh yang tertangkap oleh matanya. Ada
yang tak memiliki mata, kepala, kaki, dan juga tangan—seperti yang barusan
diterobos Randy. Leysa tak akan sembarang bercerita kepada orang lain, kalau
tak mau dianggap gila.
Leysa pun
melangkah masuk ke dalam rumah dengan sebelah tangan yang menenteng sebuah
koper. Tiba-tiba kepalanya terasa pusing. Kakinya lemas dan kesulitan menopang
tubuhnya. Ia ambruk seketika. Isi koper berserakan keluar. Randy satu-satunya
yang menyaksikan hal itu pun segera menghampiri Leysa dan menanyakan
keadaannya.
“Tidak...
Mungkin aku hanya kelelahan...,” jawab Leysa.
“Kukasih tahu
Mama.”
“Jangan! Aku
tak apa-apa...”
Leysa bangkit
lagi dan menatap berkeliling. Ia hampir tak dapat percaya dengan apa yang
terlihat olehnya. Rumah mereka sangat ramai disesaki sosok-sosok makhluk halus!
Ada yang berpenampilan seperti bangsawan, ada musisi yang tak henti-hentinya
memainkan alat musik di genggaman sembari menangis lara, dan banyak pula yang
berdarah-darah tergeletak tak berdaya di sudut ruangan! Sungguh, baru kali ini
Leysa melihat jumlah mereka demikian banyak!
Seperti
biasanya, bila berada pada suatu tempat yang terlalu banyak makhluk halus,
Leysa akan merasakan perasaan yang tak enak. Dan kini perasaan itu kembali
muncul. Kepalanya terasa pusing, tubuhnya terasa lemas, dan jantungnya terasa
lemah. Hal itu mungkin disebabkan rasa takut atau jijik akibat mampu melihat
‘mereka’.
“Kak Leysa…” Randy terhihat masih cemas.
“Kupanggil Mama…”
“Jangan,
Randy! Mama masih harus mengurus adik...”
“Tapi,
Kak...”
“Aku tak
apa-apa...” Leysa memejamkan mata beberapa saat, kemudian membukanya kembali.
Sosok-sosok
transparan di ruangan itu sudah hilang. Namun Leysa tahu secara pasti,
sosok-sosok itu masih ada, hanya saja tak lagi terlihat. Dengan konsentrasi
yang kuat, kadang Leysa dapat menghilangkan kemampuan mata malaikat pencabut
nyawanya itu. Namun itu tak berlangsung lama. Biasanya setelah sekian menit,
mata Leysa akan kembali dapat melihat makhluk halus. Leysa hanya akan
menggunakan ‘kemampuan’-nya itu bila ia sudah benar-benar tak sanggup melihat
makhluk-makhluk itu dalam jumlah yang banyak.
Kembali Leysa
menatap berkeliling. Kendati masih berdebu, namun sesungguhnya rumah itu sangat
mewah dan indah. Dari ruang utama yang sangat luas tanpa langit-langit—langsung
menembus ke lantai dua—terdapat dua tangga lebar di sisi kiri dan kanan yang
terhubung ke bagian tengah lantai dua. Pada sisi kiri dan kanan dinding di koridor
lantai dua, berderet puluhan pintu yang entah akan tembus ke mana. Sementara di
tengah-tengahnya, ada sebuah pintu besar yang juga entah akan tembus ke mana.
Di atas pintu besar itu, terdapat sebuah lukisan yang memerlihatkan sosok Adam
dan Hawa yang tengah berada di bawah pohon apel keramat.
***
Kembali ke Prolog untuk membaca bab lain
Telah dimuat di Harian Analisa
foto: Toni Burhan