based on my true story
Kisah ini adalah kisah silam yang tak akan terusangkan masa. Meski bumi berputar terus, cerita ini akan tetap pada porosnya guna menyajikan senyuman geli setiap kali terkenang. Layaknya mentari yang tidak lelah bersinar, seperti itu pulalah gumpalan rasa lucu dan haru yang menyelimuti babak kecil episode kehidupan ini.
Rabu, 15 Agustus 2007
Andai aku Nobita, pasti kupaksa Doraemon mengeluarkan mesin waktu agar bisa melompati apa yang harus kuhadapi hari ini dan empat hari berikutnya. Ah, mendengar kata Ospek saja sudah membuatku bergidik apalagi harus menantangnya!
Hari ini adalah technical meeting kegiatan Ospek di kampusku. Sebelum pukul 09.00 aku sudah tiba di kampus dan berjajar di depan ruangan yang akan dipakai untuk pengarahan. Aku tidak sendiri, beberapa teman satu stambuk juga ada di sana, sekalipun aku hanya mengenal beberapa dari mereka. Kurasa mereka juga tengah berdebar—kalau kata Ahmad Dhani, berdetak seperti genderang mau perang.
Setelah menyelesaikan registrasi dan segala pernak-pernik, kami dibariskan di depan kantor Pemerintahan Mahasiswa. Di sanalah para senior mengepakkan sayap, sekalipun Ospek belum dibuka secara resmi. Hal yang bisa kulakukan hanya menunduk dan menuruti apa yang mereka pinta agar terhindar dari masalah.
Sebenarnya aku bersyukur karena tidak dijahili. Tidak sedikit teman seperjuanganku yang harus menguyah pahit buah kesabaran karena dibentak atau diperintah untuk melakukan hal-hal aneh, mulai dari mengipasi senior sampai pura-pura menjadi kameramen yang tengah meliput kami.
Aku hanya dihardik oleh seorang senior wanita karena masalah busana. Disebutkannya bahwa pakaianku tidak sopan dan bukan kemeja seperti yang sebelumnya telah diultimatumkan. Aku diam saja dan menerima amarahnya. Sebenarnya kurasa pakaianku sudah cukup sopan, berupa blus panjang yang dipadukan dengan cardigan yang kerahnya seperti jas. Beberapa saat kemudian aku juga dihampiri seorang senior laki-laki dan disuruh untuk mencari segala sesuatu yang berhubungan dengan penyakit diabetes. Katanya besok ia akan datang untuk menagih peer-ku.
Saat matahari mulai berada di atas kepala, barulah kami diberi tahu harus membawa apa esok hari. Jujur saja aku tercengang dengan apa yang senior beritakan. Kami harus mengenakan kemeja putih lengan panjang, celana panjang hitam, ikat kepala merah putih, rambut disanggul seperti Kartini dan sepatu hitam yang tidak boleh baru dibeli. Tentu saja itu bukan masalah. Problema timbul karena kami wajib membuat dan memakai topi dari bola plastik serta karton yang ukurannya telah ditentukan. Lalu membawa tas yang terbuat dari goni, memasang karton di dada yang ditulisi nama serta asal sekolah, menggunakan petai sebagai dasi, mengenakan ikat pinggang berbahan tali plastik yang disertai empat kaleng minuman ringan—sialnya masing-masing kaleng harus diisi tiga buah kerikil sehingga terdengar bunyi gemercik. Belum cukup sampai di sana, kami pun harus mengenakan kaus kaki sebatas lutut dan celana panjang wajib dimasukkan ke dalam kaus kaki. Ditambah lagi, kaus kaki yang dimaksud bukanlah sepasang, melainkan kaus kaki merah di kaki kanan dan kaus kaki putih di kaki kiri.
Oh! Membayangkan saja sudah membuat hati kecilku terpingkal. Bisa-bisa aku disoraki orang sekampung karena disangka dakocan nyasar. Beberapa persyaratan aneh lain yang diajukan senior yaitu berat badan kami harus genap saat datang, wajib memanggil senior dengan sebutan dewa atau dewi, tidak boleh membawa ponsel atau dompet, mobil tidak boleh masuk sampai pelataran parkir kampus, hanya diizinkan membawa uang Rp 10.000,00 yaitu 1 lembar Rp 5.000,00 dan 5 lembar pecahan seribu.
Sepulang dari kampus aku singgah di sebuah pusat perbelanjaan untuk mencari keperluan Ospek. Aku tidak menemukan apa pun di sana selain empat kaleng minuman ringan. Aku sempat melihat petai tetapi petai yang telah dikupas. Alhasil, aku justru membeli es krim.
Sesampai di rumah aku justru menikmati es krim blueberry yang baru kubeli dan seakan melupakan derita Ospek yang harus kuhadapi. Selesai mencari tentang diabetes di internet, barulah aku sibuk meminta keluargaku membantu mempersiapkan apa-apa saja yang harus dibawa esok hari. Bahkan, untuk mengerjakan topi seperti yang diperintahkan saja aku harus ditolong oleh paman yang sengaja kutelepon agar datang.
Setelah merepotkan semua orang, akhirnya aku bisa tidur dengan sedikit lebih tenang.
Kamis, 16 Agustus 2007
Kami diwajibkan tiba pada pukul 06.00. Pukul 04.00 aku sudah dibangunkan oleh nenek dan segera bergegas mempersiapkan segala pernak-pernik Ospek. Sekitar pukul 04.45 aku berangkat dengan diantar oleh sopir. Di tengah jalan kami dirazia oleh polisi yang kala itu sedang menginspeksi mobil pengangkut barang dan bus-bus malam. Perasaanku tidak enak karena sang polisi mencuri pandang ke arahku sembari menahan tawa saat memeriksa STNK. Aku merasa tidak beda layaknya alien.
Mobil yang kutumpangi berhenti di gerbang depan kampus sekitar pukul 05.30. Kelam malam belum luntur dimakan fajar. Beberapa mahasiswa baru yang dibekali ornamen Ospek sudah tampak meramaikan halaman depan kampus. Melihat mereka, adrenalinku meningkat seketika. Bagaimana tidak, mereka menyadarkanku bahwa aku melupakan sesuatu. Aku lupa memakai ikat kepala merah putih. Aku pun kebingungan sebab pasti tidak akan ada toko yang buka pagi buta begini. Jujur aku tidak sanggup membayangkan hukuman yang harus kujalani karenanya.
Berhubung menjelang hari kemerdekaan, setiap mobil dipasang bendera merah putih. Oleh karena itu, sopir yang kusapa Om menyarankanku untuk memotong dan menyambung bendera tadi hingga menjadi pita merah putih. Akhirnya tuntas satu masalah.
Aku bersyukur karena tidak terlambat. Pasalnya teman-temanku yang telat—sebenarnya sebagian dari mereka tidak telat tetapi kekuasaan senior membuat mereka menjadi telat—dihukum ala militer dengan berlari sampai berjalan jongkok mengitari lapangan. Namun, penderitaan juga tidak lepas dari kami yang datang tepat waktu. Beberapa temanku dihukum karena atribut yang dikenakan tidak lengkap.
Sialnya aku juga turut dihukum. Bukan karena atribut yang tidak lengkap, melainan karena atribut yang terlalu lengkap. Mungkin bermula karena kebodohanku juga. Kemarin senior menginstruksikan agar kami memakai dasi petai minimal enam papan (maksudnya satu petai yang minimal terdiri dari enam buah). Kukira enam papan itu artinya enam batang petai. Tidak heran jika para senior mengataiku hendak berjualan petai.
Hukuman yang harus dijalani sungguh tidak mengenakkan, yaitu mengunyah petai lalu ampasnya digosok-gosokkan di kedua telapak tangan dan dicium. Untung saja aku tidak memuntahkan isi perut karena hal tersebut.
Detik-detik berikut berlangsung dengan sangat lambat. Kami mengikuti serangkaian acara pembukaan Ospek bersama dekan fakultas sampai rektor universitas. Di sela-sela jeda kami pun diajari berbagai gerakan aneh, mulai dari salam dewa-dewi (dilakukan dengan mengacungkan tangan kanan lalu digerak-gerakkan sehingga mirip ular sambil mengeluarkan bunyi desis. Saat senior menyerukan ’bom’ maka kami harus menempelkan dahi serta bibir ke tanah dan berteriak ’mati aku’) sampai gerakan jongkok, telengkup, telentang, duduk yang semuanya disandikan dengan istilah matematika (misalnya nol, akar dua, tiga, lima, dan sebagainya). Masing-masing dari kami diberi nama cantik dan selama Ospek kami tidak boleh menyahut jika dipanggil dengan nama asli kami. Nama cantikku Melena. Kukira itu nama yang indah sampai seorang senior memberi tahu apa makna melena yang sebenarnya. Ternyata melena berarti buang air besar berdarah.
Pastinya Ospek benar-benar membuatku menderita. Tidak ada keleluasaan, bahkan di saat makan siang sekalipun. Klimaks penderitaanku hari ini terjadi saat kami diperciki air yang bau setengah mati. Aku tidak tahu lagi apa komposisi di dalamnya karena lebih parah daripada bau toilet umum. Aku benar-benar akan muntah jika salah seorang senior pria berinisial D tidak mencarikan balsem untukku.
Pukul 18.00 kami diizinkan pulang setelah diberi rincian harus menyediakan apa untuk penderitaan esok hari. Berikut adalah rincian properti yang wajib disediakan: cairan isotonis tubuh 500 ml (minuman pengganti ion tubuh), bantal berpasir (roti tawar dengan gula pasir), urine pasien hematuria (sirup kuning), keringat bumi matang (air matang), serta beberapa bahan yang tidak begitu penting.
Begitu sampai di pintu depan, hujan turun dengan deras. Aku tidak bisa keluar, sementara untuk menghubungi sopirku pun tidak mungkin karena ketiadaan ponsel. Aku tidak tahu harus bagaimana mengingat mobilku tidak diperkenankan parkir di dalam lingkungan kampus. Untunglah Om tanggap dengan situasi dan segera masuk guna menjemputku.
Aku memang bodoh. Kukira cairan isotonis itu adalah cairan infus. Lalu aku pun singgah di apotek untuk membeli cairan infus. Lalu bantal berpasir itu kusangka adalah bantal yang benar-benar diisi pasir. Seisi rumah seperti jungkir balik karena Ospek ini. Mama sibuk mencari pasir ke keluarga yang sedang membangun rumah. Setelah pasir didapat, muncul lagi persoalan baru, yaitu pasir tersebut basah akibat hujan. Entah siapa yang mengusulkan agar pasir itu dimasak di atas api, yang jelas detik berikutnya pasir sudah berada di atas kompor dan ditumis tanpa minyak atau penyedap.
Perasaanku tidak enak, lalu kuhubungi saja senior berinisial D tadi. Dari dialah semua kekacauan berhenti.
Jumat, 17 Agustus 2007
Hari ini aku bangun pukul 03.30. Dengan dibantu adik sepupu, rambutku pun dikuncir hingga berjumlah tujuh belas lalu diikat dengan pita merah putih. Atribut yang harus dipakai sama seperti kemarin, hanya saja hari ini aku juga harus memakai rok hitam di luar celana. Sebagai catatan, aku pun harus mengenakan baju bau kemarin karena kata senior haram hukumnya jika diganti. Pukul 04.55 aku berangkat dari rumah. Hari kemerdekaan membuat jalan begitu lengang, setengah jam saja aku sudah sampai di kampus.
Belum banyak mahasiswa baru yang tiba. Aku dan dua atau tiga orang lainnya duduk di bangku dekat gerbang depan.
“Eh, yang urine pasien hematuria itu kamu bawa apa?” seorang mahasiswi bertanya padaku.
“Kamu?” aku balik bertanya.
“Sirup merah. Kami semua bawa sirup merah.”
Mukaku memucat karena aku membawa sirup kuning seperti yang disarankan D.
“Kamu bawa apa?” dia bertanya sekali lagi sehingga membuatku ragu.
“Darah binatang,” jawabku asal-asalan lalu segera permisi dan beranjak.
Aku mencari Om dan minta diantar untuk membeli sirup merah. Di sekitar kampus ada sebuah warung yang sudah buka tetapi ia hanya menjual sebotol besar sirup merah. Akhirnya sirup itulah yang kubeli lalu kubuat sendiri dan dikemas dalam plastik.
Sesampai di kampus aku hampir telat. Setelah menjalani serangkaian siksaan, kami pun diinspeksi kelengkapan. Betapa kesal hatiku saat mengetahui bahwa urine pasien hematuria yang dimaksud adalah sirup kuning dan bukan sirup merah. Untunglah ada senior wanita yang berbaik hati dan membantuku menyembunyikan sirup merah pembawa bencana tersebut.
Tidak lama berselang datang beberapa senior wanita yang mengomeliku.
“Jangan sok cantik, Dik! Lihat rok kamu ini, mau saya koyakkan?” bentaknya sambil menarik-narik rokku. Menurutnya rok yang kukenakan lebih cocok dipakai ke pesta daripada ke kampus.
Salah sendiri, wong kemarin bilangnya cuma rok hitam, tidak ada penjelasan lebih rinci. Sekarang yang kupakai ini juga rok hitam, atas dasar apa kau marah? Aku hanya bisa mengumpat dalam hati.
Saat mereka mendorong tubuhku pun, aku hanya diam dan menunduk. Padahal aku tahu kalau mereka sudah sedikit menyimpang dari peraturan yang menyebutkan bahwa tidak boleh ada kekerasan fisik. Bahkan, saat aku disiram dengan air sirup, aku tetap tersenyum (meski akhirnya senyumku semakin membuat mereka menjadi-jadi).
“Dik, bangun jam berapa? Rambutnya kayak mau manggung aja. Kalau hanya mau cari pacar, kuliah aja di X—salah satu kampus swasta. Di sana baru banyak cowok cakep.”
Pernyataan itu kembali membuatku hampir mati tersedak karena menelan biji buah kesabaran. Jelas-jelas kemarin kami diinstruksikan untuk mengikat rambut menjadi tujuh belas dan tidak boleh ada yang tergerai. Lalu, salahkah aku jika menguncir rambutku hingga mirip siput? Memang dasar sirik sama aku! Rambutku sepinggang, kalau tidak dikuncir begitu bisa-bisa habis karena dibinasakan kalian.
Mengingat hari kemerdekaan, kami pun dipulangkan lebih cepat, yaitu sekitar pukul 15.00. Acara hari ini tidak terlalu menyakitkan, hanya mendengar ceramah tentang demam berdarah dari Dinas Kesehatan. Namun, bagi beberapa temanku hari ini melelahkan. Di antara mereka ada yang dipaksa memanjat pohon dan berkotek layaknya ayam, ada yang harus mengartikan Pancasila dalam bahasa daerah, ada pula yang diperintahkan menjadi bendera dan tiangnya. Bahkan, salah seorang temanku dari negeri jiran harus rela bulu dadanya dicukur. Aku hanya manusia biasa yang dibekali rasa. Melihat kelucuan ini, kadang aku juga ingin tertawa.
Saat masuk ke mobil, aku kembali disuguhi kekesalan lain akibat sirup merah tadi. Sirup tersebut tumpah dan membuat lengket seisi mobil. Ah, aku tidak tahu lagi harus berkata apa!
Untuk perlengkapan besok, kami diwajibkan membawa tumor kuning (jeruk kuning), cacing jantan yang diikat benang putih dan cacing betina yang diikat benang merah (untuk yang ini aku tidak mengerti karena jelas-jelas cacing adalah hermaprodit alias berkelamin ganda), sepasang kodok yang saling mencintai, tepung, pewarna, serta beberapa bahan lain.
Sialnya lagi, aku disuruh oleh seorang senior wanita untuk menulis surat cinta pada D lengkap dengan cap bibir dan foto. Bukan itu saja, kami juga diharuskan mendengar siaran salah satu radio swasta pada pukul 23.00 untuk mengetahui peralatan tambahan apa yang harus kami bawa besok.
Aku memang berniat untuk mendengar siaran radio yang dimaksud tetapi aku sudah tertidur sebelum jarum jam berdentang delapan kali, tepat setelah menyelesaikan segala perkara untuk Ospek besok. Ini semua akibat keterbatasan stamina.
Sabtu, 18 Agustus 2008
Aku terbangun pukul 03.30 dan mengira masih bisa mendengar siaran radio. Begitu sadar bahwa hari telah berganti, aku pun panik. Untunglah seorang teman berinisial H mendengar siaran tersebut. Katanya aku diwajibkan membawa sepasang lalat yang sedang kawin lari, menulis surat cinta untuk senior, serta beberapa poin lain yang tidak usah terlalu kurisaukan.
Mencari lalat di pagi buta jelas membuatku linglung. Pertanyaannya, bagaimana mungkin? Untunglah mamaku cerdik dan bisa menemukan dua ekor lalat. Aku tidak peduli lagi apakah mereka jantan, betina, sedang kawin lari atau tidak, yang penting ada. Aku pun belum sempat menanyakan mama bagaimana cara beliau mendapatkannya. Begitu rambutku selesai dikuncir delapan belas oleh adik sepupu, aku pun segera sarapan dan bergegas.
Sesampai di kampus, cacing dan lalatku mati karena tertimpa. Syukurlah senior tidak membuat perhitungan padaku! Mengenai kodok, kami diharuskan mencium kodok tersebut. Tanpa canggung kucium saja. Berkat keluwesanku mencium sang kodok, salah seorang senior sering memanggilku untuk memberi contoh pada teman-teman lain mengenai cara mencium kodok yang baik dan benar.
Kodok yang dicarikan guru bahasa Indonesiaku semasa SMA memang kecil—memang disengaja karena aku agak geli dengan kodok yang besar. Namun, sepertinya maksud tersebut dapat dibaca seniorku. Ia sengaja menyuruhku bertukar kodok dengan teman di belakang. Meski kodoknya bau dan besar, kucium saja untuk menghindari masalah.
“Kodok ini namanya siapa, Dik?”
“Frogy,” jawabku asal.
“Satunya lagi?”
“Kerokeropi.”
“Bukan. Coba kau taruh mulutnya di dekat telinga biar bisa tahu siapa namanya!”
Ini adalah prolog dari kesialan baru yang harus kuhadapi.
Beberapa saat kemudian wajahku dilumuri dengan tepung yang dicampur berbagai pewarna. Lalu dicoret dengan spidol dan dipakaikan lipstik pada tempat-tempat yang tidak semestinya. Dalam keadaan itulah aku dipotret dan foto tersebut akan dipasang pada ijazah Ospek.
Sehabis makan siang, kami ditelentangkan di tengah lapangan dalam keadaan mata yang terpejam. Beberapa kali para senior datang bergantian untuk meletakkan cacing di wajahku. Aku diam saja dan tidak menunjukkan perubahan mimik karena aku tahu dengan begitulah mereka akan bosan menjahiliku.
Lalu mereka menyuruhku membuka mulut dan mengunyah cacing yang mereka masukkan ke mulutku. Kukunyah saja dengan santai, bahkan kutelan dengan nikmat, wong hanya mi kuning. Namun, ada juga yang sempat histeris.
Minggu, 19 Agustus 2007
Tinggal satu hari lagi maka penderitaanku akan segera berakhir. Hari ini seperti biasa tetapi tanpa ikat pinggang kaleng. Aku membawa kepala rambut spiky yang lebih besar dari kepala senior S (durian) dan bahan standar lain. Pada D aku sempat bertanya apakah durian tersebut harus dimakan karena mencium baunya saja bisa mengocok isi perutku. Ia hanya memberi saran agar aku membawa balsem lalu dititip padanya.
Mengingat ini adalah hari terakhir, maka orang tua kami pun turut diundang di malam inagurasi. Pengisi acara adalah mahasiswa baru. Jadi, Ospek hari ini bermetamorfosis menjadi ajang latihan. Semua sibuk mempersiapkan hiburan yang akan ditampilkan. Begitu pula dengan aku yang ditunjuk untuk menyanyikan lagu Padamu Negri dan salah satu lagu milik SO7. Di saat teman-teman lain menavigasi kampus dan mengadakan penghijauan di jalan sekitar kampus, di saat itulah aku latihan.
Selain menyanyi, aku pun dituntut untuk menampilkan tarian yang mirip Tari Marhaban. Namun, di saat teman-teman lain sibuk latihan menari, aku justru diajak D untuk bercengkerama di pendopo. Ah, aku tidak ingin berkomentar untuk yang satu ini!
Semua berlangsung dengan baik sesuai rencana. Aku pulang pukul 21.00 setelah puas menari dan bernyanyi bersama, sekalipun acara belum selesai. Masalahnya, besok aku harus memulai kuliah perdana. Epilog ini cukup indah untuk menutup derita Ospek yang hampir mengguncang dunia.
Bagiku Ospek menyenangkan karena bisa melatih mental. Syukurlah aku belum pernah meneteskan air mata selama Ospek! Kupastikan pengalaman Ospek ini akan menjadi kenangan yang terindah.
Oh ya, acara di malam penutupan yang menurutku paling menarik adalah acara balet yang ditarikan oleh tiga orang pria dengan mengenakan singlet, salah satu penarinya adalah teman baikku, B. It’s cool and unique! Kuharap aku masih bisa melihat B menari balet di kemudian hari atau mendengarnya mengartikan Pancasila dalam bahasa Mandarin. Agustus 2008