Sunday, October 24, 2010
JEJAK CINTA DI PESISIR
JEJAK CINTA DI PESISIR
Liven R
Senja ini,
angin berdesir menawarkan aroma laut
awan berarak mengantar hujan tiba di pesisir
sebentuk wajahmu hadir dalam ingatanku,
membawa kembali kenangan
yang terangkai di suatu musim
kala rindu membelenggu jiwa,
ada sesal menyertai,
sebab telah membiarkan bayangmu pergi
sebelum rangkaian kisah kita terjalin seutuhnya
kini, cinta kita bagai jejak di pesisir
hilang tersapu ombak…
***
Friday, October 22, 2010
Ikhlas
Janganlah mengharapkan imbalan apa pun, dari suatu pemberian kecilmu. Jangan pula mengharapkan imbalan apa pun, kalau pun pemberianmu besar. Pemberian harus disertai keikhlasan. Berilah dengan ikhlas, tanpa mengharapkan imbalan.
-Lea Willsen-
Thursday, October 14, 2010
Yuk, Berlangganan "Share and be Happy" dari Andrie Wongso!
Bila Anda pernah membaca catatan Andrie Wongso yang terdapat pada Art Dimension, tentu saja Anda pernah lihat, setiap akhir dari catatan tersebut tertulis bahwa catatan itu bersumber dari "News Letter". Lalu apa itu news letter?
Dalam jagat maya, news letter adalah sebutan akrab untuk sebuah email langganan yang kita terima dari suatu blog atau web yang menyediakan fasilitas tersebut. Isi dari news letter dapat berbeda-beda, ada yang berisi cerita, artikel, info produk baru, dan lain-lain.
Nah, kendati setiap memposkan catatan-catatan Andrie Wongso Art Dimension tak pernah sedikit pun mengedit dan mengubah format tulisan tersebut, namun tentu saja akan sangat bagus, bila ada di antara pengunjung Art Dimension yang mau coba berlangganan langsung dengan news letter motivator no 1 Indonesia ini. Program ini bernama: Share and be Happy.
Dalam postingan kali akan diperkenalkan kepada Anda, bagaimana dan di mana Anda dapat berlangganan news letter tersebut. Dan, Anda juga perlu tahu, ini merupakan layanan gratis! Berikut:
1. Kunjungi alamat: www.andriewongso.com/interaksi_aw/share_and_be_happy/
2. Masukkan nama dan alamat email Anda pada kolom yang telah tersedia, kemudian klik "Submit".
3. Buka email Anda yang telah terdaftar untuk mengklik tautan (link) konfirmasi bahwa memang Anda-lah yang meminta berlangganan news letter.
Setelah semua langkah di atas selesai, maka Anda pun akan mendapatkan banyak manfaat-manfaat positif dari setiap edisi kiriman news letter (seminggu sekali).
Bukan hanya itu, dalam setiap edisinya, Andrie Wongso juga tidak lupa memberikan hadiah berupa rekaman audio, slides Show yang diiringi musik dan suara langsung dari Andrie Wongso, wisdom, widget, greeting Card, wallpaper, bookmark, poster, photo frame, kalender, dan lain-lain, yang tentunya semua berkaitan dengan hal-hal positif.
Pengunjung yang bijak, Share and be Happy adalah menyenangkan dan tidak akan membuat Anda merasa terganggu dengan kiriman-kiriman tersebut. Mari!
10/2010
Sunday, October 10, 2010
Kesempatan Beramal
Pahala dari suatu amal tidaklah diukur berdasarkan besar kecilnya amal tersebut, melainkan berdasarkan ikhlas atau tidak.
Dengan adanya niat, tak peduli kaya atau pun miskin, setiap manusia akan selalu berkesempatan untuk beramal, sesuai kemampuan.
-Lea Willsen-
Saturday, October 9, 2010
Jangan Bercanda dengan Kata Autis!
Oleh: Liven R
Sesungguhnya, berhentilah berolok-olok dengan kata ‘autis’ dan lainnya. Mengapa?
Aku adalah seorang yang mutlak percaya tentang adanya jalinan jodoh yang menyebabkan kita bertemu dengan seseorang di dalam kehidupan ini.
Jangan salah. Jodoh yang kumaksud di sini bukan hanya jodoh antara sepasang manusia berlainan jenis, atau jodoh suami-istri. Namun, jodoh yang kumaksud di sini adalah ‘jodoh’ dalam arti luas. Ya, lebih tepatnya, bagiku segala pertemuan bisa terjadi hanya karena adanya jalinan ‘jodoh’.
***
SIANG itu adalah hari pertama anak-anak kembali bersekolah setelah libur panjang kenaikan kelas. Ini juga berarti aku akan kembali bertemu dengan anak-anak didikku. Ya, ada kerinduan untuk bertemu mereka setelah kurang lebih sebulan lamanya tak bertemu.
Seperti biasa, setelah jam pulang sekolah aku sudah berada di tempat bimbel kami dan menunggu anak-anak datang untuk mulai belajar seperti biasa. Dan, seperti pada setiap tahun ajaran baru, selalu ada murid-murid baru yang mendaftar untuk ikut belajar di bimbel kami. Tahun itu juga demikian. Di antara yang telah menelepon, aku tahu mama Fendi dan Emil akan membawa anak ketiganya yang tahun ini duduk di kelas 1 SD untuk belajar di bimbel kami menyusul kedua abangnya.
Tak perlu menunggu lama, aku melihat Fendi, Emil, mama mereka, seorang anak kecil, dan seorang pembantu memasuki tempat bimbel kami.
“Lao Shi (Guru), ini Bobby,” ucap mama Bobby memperkenalkan Bobby padaku. Aku tersenyum dan mengiyakan. Sementara kedua abangnya menuju tempat duduk masing-masing, kupandangi Bobby yang terlihat asyik dengan mainan di tangannya.
Tak seperti anak pada umumnya, Bobby terlihat cuek dan tak peduli. Sejak masuk dia hanya sibuk dengan mainannya dan sama sekali tak memandangku barang sebentar pun.
Seolah mengerti tatapanku, mama Bobby segera berkata, ”Bobo, mainannya biar Mama bawa pulang dulu, ya?!” Sesaat kulihat Bobo—begitu Bobby dipanggil—sepertinya tak bersedia melepaskan mainan gasing dan helikopternya. Sesekali dia terlihat tertawa kegirangan. Ya, mama Bobo (biasa kupanggil tante) pasti tahu aku tak suka anak-anak membawa mainan ke tempat les. Bagaimana anak bisa belajar jika pikirannya lengket pada mainannya itu?
“Tak mengapa, Tante,” Aku mencoba mengalah ketika kulihat Bobo memberontak saat mainannya direbut. Ini adalah hari pertama Bobo datang, jangan membuatnya takut dan trauma berada di sini, begitu pikirku.
“Bo, Bobo, ayo panggil Lao Shi!” ucap Fendi, abang kedua Bobo yang sudah duduk di kelas 2 SD itu sambil menarik-narik lengan adiknya. “Lao Shi, Bobo nggak bisa berbicara,” lanjutnya lagi padaku dengan senyum polos seorang anak kecil.
“Hah? Bobo belum bisa berbicara?” Pertanyaan ini kutujukan kepada mama mereka.
“Bisa. Hanya belum bisa begitu jelas. Di rumah dia biasa berbicara bahasa Indonesia, kalau di sini, terserah Lao Shi bagaimana mengajarinya. Dengan bahasa Hokkian atau Mandarin pun boleh...,” terang mamanya.
Aku mengangguk. Ada rasa heran menyergap pikiranku. Anak kelas 1 SD belum bisa berbicara dengan jelas? Karenanya, aku mencoba mengajak Bobo berbicara semisal: tadi di sekolah belajar apa? Tahun lalu dapat juara berapa? Tapi sepertinya Bobo tak suka menjawab pertanyaanku. Dia masih sibuk menerbangkan helikopternya. Sedikit pun tak terlihat dia sedang mendengarkanku. Dan, upss! Astaga! Aku melihat lantai tempat di mana Bobo berdiri basah.
“Lho, dia masih mengompol di celana?” Belum habis rasa heranku yang satu, muncul lagi rasa heran berikutnya.
“Oh, sorry, Lao Shi. Bobo biasa bisa memberitahu kalau mau pipis. Ini pasti karena keasyikan bermain,” jawab mama Bobo sambil cepat-cepat menarik Bobo ke samping, dan pembantunya segera pulang mengambilkannya celana ganti. Rumah mereka memang tak jauh dari tempat bimbel kami. Hanya berseberangan jalan saja.
“Dicoba saja, Lao Shi,” ucap mamanya membaca kebingungan di wajahku.
Dicoba? Ya, sejujurnya aku tak pernah tahu bagaimana karakter seorang murid baru sebelum mencoba mengajarinya. Adalah baik jika kebetulan murid yang datang ke bimbel kami adalah anak yang cerdas dan rajin. Sebaliknya, jika murid yang datang hanya berkemampuan otak pas-pasan dan pemalas pula, maka tentunya harus ada kerja keras ekstra untuk membimbingnya.
Tak ada alasan bagi kami untuk mengatakan kepada orangtua murid bahwa anaknya ‘kurang pandai’ atau ‘ber-IQ jongkok’, karena bukankah jika mampu, mereka tak perlu mengikuti bimbingan lagi?
Akhirnya aku menerima untuk ‘mencoba’ membimbing Bobo dan memberi isyarat tangan kepada mama Bobo untuk pulang saja dengan diam-diam. Aku khawatir Bobo akan menangis jika melihat mamanya pulang.
Aku akan mengatasi Bobo dan juga mainannya itu nanti, pikirku. Melalui pengalamanku, setiap anak akan segera menurut ketika orang tuanya telah pulang. Sebab mereka pasti tahu ini adalah wilayah kekuasaanku, dan mungkin anak-anak yang polos itu berpikir nyawa mereka terancam jika tak menurut atau membandel. Wah!
Dan, di luar dugaanku, Bobo seharian itu bahkan tak mencari mamanya.
***
MENERIMA Bobo sebagai murid, mengawali sebuah kisah baru tentang pengalaman mengajar seorang anak autis di dalam riwayat hidupku.
Bobo adalah seorang anak autis! Itulah yang aku sadari setelah mulai berinteraksi dengannya. Ya, dari perkenalan singkat siang itulah jalinan jodoh antara aku dan Bobo sebagai guru dan murid berawal. Dan, dari situ jugalah titik mula dari semua cerita suka dan duka mengajar Bobo mengalir dan mungkin akan menjadi kisah yang tak terlupakan seumur hidupku.
***
BOBO, seorang anak yang sehat secara fisik, namun mengalami keterlambatan perkembangan mental. Hal ini perlahan kusadari ketika aku mulai kesulitan membimbingnya belajar. Kendala demi kendala mulai kurasakan ketika aku menyadari prilaku Bobo tak lazim! Bobo kerap melukai tangan dan kakinya sendiri hingga berdarah-darah. Oh, Tuhan!
Anda tentu membayangkan bagaimana sakitnya tangan dan kaki yang setelah berdarah, ditusuk dengan pensil atau alat tulis lainnya? Atau Anda membayangkan Bobo menangis dengan luka menganganya itu? Tidak! Seperti apa pun lukanya, Bobo tak menangis! Bahkan dia sibuk bermain dengan luka menganganya itu.
Karena lukanya itu, tak jarang aku meminta abangnya mengantarnya pulang untuk dibalut dahulu dan kemudian kembali lagi ke tempat les.
Kendala lain yang aku hadapi adalah kendati aku berhasil membuatnya duduk di hadapanku tanpa mainannya, namun aku kesulitan menyampaikan materi pelajaran kepadanya. Hal itu terjadi karena aku tak mengerti apa yang diucapkan Bobo, dan Bobo juga tak mengerti apa yang aku ucapkan. Aku selalu membutuhkan Fendi atau Emil untuk membantuku menerjemahkan apa yang ingin Bobo sampaikan kepadaku.
Sejujurnya, sebelum mengenal Bobo aku hanya tahu apa yang dimaksud dengan ‘autis’ dari beberapa buku dan koran yang kubaca. Suatu ketika, aku tercengang saat membaca ciri-ciri anak autis pada sebuah media cetak. Di sana tertulis beberapa ciri-ciri anak penderita autis yang sama persis dengan tingkah laku Bobo.
Mau tak mau aku percaya Bobo adalah salah satu dari sekian banyak anak penderita autis. Dan, yang menjadi masalah, Bobo bersekolah pada sebuah sekolah swasta yang cukup bermutu, dan bukan pada sekolah luar biasa.
***
HARI-hari mengajar Bobo terasa begitu sulit. Rasanya ketahanan jiwa dan fisikku benar-benar sedang diuji. Bohong jika kukatakan aku tak stres menghadapi Bobo. Berulang kali kukatakan kondisi Bobo pada mamanya dan berharap mamanya mengerti bahwa aku tak dilahirkan dengan perlengkapan kemampuan yang membuatku mampu mengajar Bobo yang berkebutuhan khusus. Namun, berulang kali juga mamanya mengatakan padaku bahwa dia mengerti kondisi anaknya, dan tetap berharap Bobo dapat memperoleh pendidikan layaknya anak-anak normal lainnya.
Selain itu, mamanya mengutarakan kekhawatirannya padaku, bahwa dia takut kondisi Bobo akan semakin tak menentu jika kemudian menjadi tak bersekolah. Jadi bagi keluarganya, sekolah luar biasa bukanlah solusi untuk Bobo. Mamanya juga mengatakan padaku, dia tak akan pernah menyalahkanku jika suatu saat Bobo tinggal kelas. Keinginan mama Bobo hanya satu, Bobo tetap diterima dan dibimbing belajar!
Jujur kukatakan, aku bimbang! Dilema antara perasaan kasihan dan tekanan serta kelelahan yang kuhadapi bila aku terus mengajar Bobo berputar-putar di kepalaku. Aku akan berusaha semampuku! Akhirnya, hanya itu yang bisa kukatakan pada diriku sendiri.
Hari-hari selanjutnya, aku berusaha ‘mempelajari’ Bobo. Mengulang suatu materi pelajaran yang sama puluhan kali bahkan lebih sudah merupakan hal yang biasa bagiku. Lelah? Jangan ditanya! Aku mencoba segala cara untuk membuat Bobo mengerti. Selanjutnya, rasanya aku semakin gila ketika aku mulai mencoba mempelajari bahasa Bobo (bahasa planet lain?) dan mencoba menyampaikan materi pelajaran kepadanya dengan bahasa anehnya itu. Jika sudah demikian, ingin rasanya aku menyerah! Kelelahan mengajari seorang Bobo, sebanding dengan mengajari 15 anak yang normal!
Aku kerap berpikir, mengapa aku mau menerima tugas seberat ini? Bukankah Bobo seharusnya dibimbing seorang guru berpengalaman pada sekolah luar biasa? Aku tak punya pengalaman menghadapi anak autis! Aku tak sanggup!
Namun, setiap kali pikiran ini muncul, selalu muncul pula pikiran lain tentang semua harapan orangtuanya. Jika kukatakan aku tak lagi bersedia membimbing Bobo, orangtuanya pasti akan kecewa. Dan, bagaimana jika selanjutnya tak ada guru yang bersedia menerimanya? Akankah Bobo menjadi semakin terbelakang? Tidak! Aku tak sanggup mengatakan itu! Terlebih jika aku teringat wajah Bobo. Ah, bukankah Bobo juga tak pernah memilih untuk dilahirkan dengan kondisi seperti itu? Aku seharusnya berbuat semampuku untuk membimbingnya! Lagi-lagi hanya itu yang bisa kukatakan pada diriku.
***
HARI demi hari, kami (aku dan orangtua Bobo) bekerja sama melewati kendala demi kendala yang ada bersama-sama. Tiada hari bagiku tanpa menerima telepon atau pun menelepon mama Bobo berkisar masalah pelajaran Bobo di sekolah.
Sudah menjadi tugas mama Bobo untuk menemui guru mata pelajaran di sekolah tatkala Bobo membawa pulang buku ujian yang seharusnya dikumpulkan kepada guru seusai ujian. Atau, ketika semua tugas bernilai yang seharusnya dikumpulkan tepat waktu, Bobo justru menyimpannya berhari-hari di dalam tasnya.
Bukan hanya itu, hampir setiap hari ada saja buku/alat tulisnya yang hilang atau tertinggal di sekolah. Bolak-balik berulang kali antara rumah, sekolah, dan tempat les sudah menjadi kegiatan rutin bagi mama Bobo.
Tak jarang karena lelah dan kesal, mama Bobo pun memarahi dan memukul Bobo.
“Anak-anak lain tahu Bobo tak bisa mengadu dan melawan, setiap hari ada saja yang mengambil alat tulisnya,” adu mama Bobo kepadaku.
Apa yang bisa kulakukan? Hanya ikut menasehati Bobo!
Aku bersyukur ketika kemudian di tempat bimbel kami masuk lagi beberapa murid yang sekelas dengan Bobo. Dengan demikian, aku dapat melengkapi pelajaran yang tak Bobo salin dari teman-temannya (dan mengurangi kelelahan mama Bobo tentunya). Teman-teman sekelas Bobo itu jugalah yang kemudian menjadi mata-mataku dan menjadi sumber informasiku tentang prilaku Bobo di sekolah dan tugas apa saja yang diberikan kepada Bobo di sekolah.
***
BULAN demi bulan berlalu. Kami semua sudah terbiasa dan dapat beradaptasi dengan Bobo, meskipun tingkah lakunya tetap bagaikan bom waktu yang siap meledak sewaktu-waktu dan membuat sport jantung. Tentang cara belajar, prilakunya yang terkadang buang air besar di celana, dan semacamnya, sudah bukan hal baru lagi bagi kami.
Membicarakan tingkah lakunya yang kerap membuat kami panik, membuatku teringat pada kejadian ‘heboh’ di suatu siang.
Kala itu, ketika proses belajar mengajar sedang berlangsung, Bobo tiba-tiba berteriak dengan bahasanya, “Penghapus masuk hidung! Penghapus masuk hidung!”
“Apa? Sini, Lao Shi lihat!” kataku. Dan, Astaga! Benar saja! Sebuah penghapus sebesar satu ujung buku jempol tangan terlihat menyumbat lubang hidungnya. Kontan seisi kelas geger! Bobo terlihat berusaha mengeluarkan penghapus itu dari hidungnya yang justru membuatnya masuk semakin dalam dan tak bisa dikeluarkan.
Segera telepon dipencet, dan bagaikan roket meluncur meninggalkan terminalnya, papa dan mama Bobo segera tiba di tempat bimbel hanya dalam hitungan detik! (lebay? Tidak!)
Dengan pinset dan segala macam alat, papa Bobo berusaha mengeluarkan penghapus itu dari hidung Bobo. Para tetangga (ibu-ibu yang memang selalu kurang kerjaan) segera berdiri di luar pagar halaman dan sibuk ngerumpi. Proses belajar mengajar menjadi terhenti. Jika ada wartawan yang lewat, aku rasa dia akan tertarik memberitakan kejadian ini di surat kabar!
Setelah tak berhasil, akhirnya orang tua Bobo membawa Bobo ke dokter THT dan menghabiskan biaya yang tak sedikit untuk mengeluarkan penghapus itu.
Ah, aku sering berpikir, kejadian seperti ini mungkin hanya pernah terjadi di bimbel kami dan oleh seorang Bobo.
***
SEIRING berjalannya waktu, setahun membimbing Bobo pun berlalu. Bobo sudah semakin lancar berbicara dan tiap ucapannya sudah bisa dipahami dengan jelas. Entah itu karena sudah adanya perkembangan pada diri Bobo, atau aku yang sudah semakin menguasai bahasa Bobo, aku pun tak jelas. Yang pasti, kami sama-sama ada kemajuan dalam hal komunikasi.
Akan tetapi, untuk mengerti materi pelajaran, Bobo tetaplah mengalami kesulitan. Setiap hari sebelum Bobo datang, aku akan membaca semua materi pelajaran yang sedang berjalan di sekolah dan memikirkan cara apa yang akan aku gunakan untuk mengajari Bobo. Cara yang tak lazim namun bisa dimengerti oleh Bobo. Hal ini tak pernah aku lakukan sebelum Bobo menjadi muridku. Ya, anak lain tentu tak butuh penjelasan atau pun cara-cara yang khusus (tak lazim).
Mendapat nilai 100 hari ini, dan esoknya mendapat nilai 30 sudah merupakan hal yang biasa bagi Bobo. Mengapa? Sebab untuk sebuah soal yang sama persis dengan yang dipelajarinya, Bobo mampu menjawab dengan sempurna, sedangkan untuk soal yang memiliki makna yang sama namun berbeda susunan kalimat saja, Bobo tak mampu menjawabnya lagi.
Aku, dalam hal ini sering merasa gagal apabila melihat nilai Bobo yang ‘amat kurang’ itu. Karena itu, untuk sebuah soal yang sama, aku kerap menyalinnya dengan berbagai bentuk dan berharap bisa membantu Bobo ketika menemui soal yang terbalik susunannya di sekolah nanti.
Tak dipungkiri, mengajari Bobo amatlah menyita waktu. Bayangkan! Aku harus menyalin setiap soal dari semua mata pelajarannya. Ketika teman-temannya cukup didikte untuk pelajaran hafalan, Bobo harus dengan menuliskannya. Dan, Bobo tak pernah menguasai pelajaran hanya dengan sekali tulis! Jadi, aku harus membuatkan soal yang sama dengan berbagai bentuk berkali-kali. Aku sadar, waktuku banyak yang habis hanya untuk menyalin soal-soal untuk Bobo. Tak jarang aku menyalinnya hingga larut malam.
***
TUHAN selalu menyertakan talenta tersendiri bagi makhluknya. Tentu!
Satu hal dalam diri Bobo yang merupakan kelebihannya adalah ketekunannya. Bobo tak pernah mengatakan ‘Tidak’ meski disuruh mengulang pelajaran berapa kali pun. Mungkin Anda tak percaya jika kukatakan hari-hari Bobo hanya diisi dengan belajar dan belajar. Ya, pagi hari dia belajar di sekolah. Siang sampai sore di tempat bimbel kami. Dan, pada malam hari giliran kakaknya yang mengajarinya di rumah. Apa boleh buat? Sebab jika tak demikian, kami khawatir Bobo tak dapat menguasai pelajaran. Semua yang kami lakukan hanya karena ingin Bobo bisa sejajar dengan anak lainnya.
Masa-masa mendekati ujian semester adalah masa paling sibuk bagiku. Banyak hal yang terpaksa kutinggalkan demi membuat persiapan agar Bobo dapat ikut ujian meskipun hanya mendapat nilai ‘cukup’ (jika nilai ‘lebih’ sulit dijangkau Bobo). Menjelang masa ujian, aku mengajar Bobo dari Senin-Jumat. Sabtu dan Minggu aku memberinya bimbingan ekstra dari pagi hingga sore. Jadi, boleh dikatakan aku bertatap muka dengan Bobo dari Senin-Minggu. Tak ada kata ‘libur’ bagi aku dan Bobo.
Sering kali aku diolok oleh tetangga yang kebetulan berpapasan denganku saat aku hendak berangkat mengajar di hari Minggu/libur: Murid yang bodoh atau guru yang bodoh, nih? Sampai libur pun mengajar? Menanggapi itu aku hanya tersenyum, “Sama bodohnya,” sahutku.
Ah, selagi aku masih sanggup dan jalinan jodoh ini belum berakhir, pikirku. Dan, Anda salah jika mengira aku menerima bayaran lebih untuk semua ini!
Mengajari Bobo tanpa istirahat, tentu ada konsekuensinya bagi kesehatanku. Tak jarang ketika libur ujian semester/kenaikan kelas, aku pun tumbang. Di saat semua orang berliburan, aku justru terbaring menghabiskan masa liburanku. Ya, wajar saja! Robot pun bakal aus jika dipaksa bekerja tanpa istirahat, ya?!
Namun, semua kelelahanku terbayar setiap kali aku mendapat kabar: Bobo naik kelas! Ya, asal tahu saja, meski dengan nilai pas-pasan, Bobo tak pernah tinggal kelas.
Dari diri Bobo, aku belajar tentang ketekunan. Aku kerap berpikir, hal yang bisa menyebabkan seorang anak tinggal kelas hanyalah sebuah kata ‘malas’. Aku sungguh bangga terhadap Bobo, meski serba kekurangan, namun bermodal ‘ketekunan’, dia tak pernah tinggal kelas!
***
SELAIN segala kekurangannya, Bobo ternyata anak yang ceria. Banyak hal yang dia ceritakan padaku di jam makan siang kami. Ya, selain membimbingnya belajar, aku juga kerap terlibat dalam kegiatan sehari-harinya di rumah.
Aku tak tahu sejak kapan setiap kali Bobo menangis di rumah, mamanya akan meneleponku dan memintaku berbicara pada Bobo. Atau, ketika Bobo membandel di rumah, aku akan menasihatinya di telepon. Dan, biasanya aku cukup berhasil membuat Bobo diam.
Suatu ketika, mama Bobo meneleponku sekitar jam 19.00. Bobo yang sedang menangis diminta berbicara padaku. Apa pasal? Ternyata, ketika pulang dari tempat bimbel sekitar pukul 18.00, Bobo tak langsung pulang namun bermain dengan teman yang ditemuinya di jalanan. Teman-temannya yang usil itu mengejek dan membuka celana Bobo di jalanan. Dengan celana setengah melorot, Bobo berlari dan terjatuh hingga lututnya berdarah. Dalam isak tangisnya di telepon, Bobo mengadu dan memintaku memarahi teman-temannya yang bandel itu. Kukatakan ‘Ya!’.
Keesokan harinya, Bobo memperlihatkan lututnya yang terluka. Ada perih dan sesak di dada membayangkan Bobo dipermainkan anak-anak bandel itu. Akan tetapi, ah, namanya juga anak-anak! Mereka belum mengerti!
***
TAK terasa semenjak kedatangan Bobo kecil ke tempat bimbel kami, diam-diam 6 tahun berlalu.
Memasuki tahun ajaran baru di kelas 6 SD, tentu merupakan tahun di mana Bobo akan segera menjelang ujian kelulusan UAS/UASBN.
Aku benar-benar khawatir. Bagaimana tidak? Selain kendala materi yang demikian banyak, Bobo juga tak mengerti bagaimana cara mengisi lembar jawaban komputer yang telah ditentukan.
Segala cara kami tempuh bersama agar Bobo mampu menghadapi semua ujian kelulusan itu.
Ketika pembagian nomor urut peserta ujian berlangsung, menjadi tanggung jawab teman-temannya untuk ikut mencatat nomor urut Bobo dan kemudian memberitahuku untuk kemudian dihafal Bobo di tempat bimbel.
Berlatih mengisi lembaran jawaban, terus menerus dilakukan Bobo di bawah bantuan teman-temannya hingga dia mampu. Aku sungguh salut dengan teman-teman sekelasnya yang kerap membantunya mengerjakan hal-hal yang tak dimengerti Bobo.
Namun, meski kami telah berdaya upaya, Bobo di tahun itu tetap harus mengikuti Paket Kejar A pada akhirnya. Ya, sebab pada dasarnya meski aku dan orangtuanya sanggup membuatnya lulus Ujian Akhir Sekolah, dia tetap tak mampu lulus dari soal ujian pemerintah.
***
HARI ini secara kebetulan aku mendengar suara marah yang ‘khas’ dari kejauhan jalanan. Aku mengedarkan pandanganku keluar jendela. Benar dugaanku! Mama Bobo lewat sambil menyeret Bobo dan tak hentinya marah. Sekilas kudengar omelan tentang alat tulis yang hilang.
Bobo yang lewat terlihat sudah lebih besar dan tinggi. Dia kini duduk di kelas VIII-SMP. Ya, jalinan jodoh guru dan murid antara aku dan Bobo sudah berakhir di tahun 2008, disebabkan aku juga memiliki batas-batas kemampuan untuk terus membimbing Bobo.
Melihat Bobo, membuatku teringat kembali masa-masa mengajarnya dulu. Masihkah Bobo seperti dulu kerap menghilangkan barang-barangnya?
***
AUTIS bukanlah sebuah lelucon.
Jika seseorang dapat tertawa dengan kata-kata ejekan seperti ‘autis’, pastilah dia seorang yang tak pernah mengenal/menyelami apa sesungguhnya dunia autis.
Sebuah keluarga dengan anggota yang mengalami autis, bisa kupastikan tidaklah mudah. Demikian juga dengan seorang ibu yang memiliki anak autis pastilah membutuhkan perjuangan lebih untuk membimbing dan membesarkan anak tersebut. Mama Bobo contohnya.
Sering kali sebuah lelucon meluncur begitu saja dari mulut kita tanpa kita sadari adanya orang lain (yang ikut mendengar) dengan kondisi yang sama akan tersakiti.
Namun, seorang penderita autis di masa kecilnya, bukanlah jaminan kondisinya akan sama di masa dewasanya.
Bill Gates, salah satu orang terkaya di dunia dan juga pendiri Microsoft Office, konon juga merupakan seorang autis di masa kecilnya. Namun, Bill Gates mampu menjadi salah seorang yang sukses di masa sekarang.
Segala kondisi manusia hanyalah Tuhan yang tahu. Besok dan lusa tetaplah terbuka peluang bagi Bobo untuk menjadi seorang Bill Gates kedua. Ya, siapa tahu?!
Yang terpenting, berempatilah selalu terhadap seseorang dengan kondisi berkebutuhan khusus. Dan, janganlah bercanda dan tertawa dengan penderitaan orang lain.
***
NB: nama tokoh bukanlah nama sebenarnya
Medan Area, 9 Oktober 2010
Friday, October 8, 2010
Eksotisme Budaya Tanah Air: Bercermin pada Suku Dayak
Sekilas Wajah di Balik Kebudayaan Suku Dayak
Salah satu budaya yang mengambil bagian penting dalam jagad keunikan
Beberapa teori telah mencuat berkenaan dengan sejarah suku Dayak. Sebuah teori menyebutkan bahwa suku Dayak berasal dari Yunnan, Cina Selatan dan bermigrasi pada zaman glasial. Dari sastra lisan, diketahui bahwa mereka pernah mendirikan kerajaan Nansarunai Usak Jawa sebelum akhirnya hancur oleh kerajaan Majapahit.
Dulunya suku Dayak tidak berdiam di hutan, melainkan tinggal di tepi pantai. Pendatang-pendatang dari luar Kalimantan membuat mereka terdesak ke pedalaman. Tidak terlalu banyak sejarah suku Dayak yang bisa dikuak mengingat mereka tidak meninggalkan bukti-bukti otentik berupa literatur atau sejenisnya, bahkan diduga tidak mengenal tulisan. Keterangan hanya didapat dari penuturan lisan.
Suku Dayak tidaklah sesederhana yang dikira. Di setiap segmen kehidupan mereka, tersimpan keunikan-keunikan, mulai dari aspek sosial, perilaku, keorganisasian, kesenian, ekonomi, sampai religi.
Namun, pernah pada suatu masa suku Dayak malu mengakui jati diri mereka sendiri karena label primitif yang selalu melekat. Mereka tidak mau dianggap kuno, buas, bodoh, dan miskin. Untuk alasan itulah mereka lebih nyaman mengaku bukan sebagai suku Dayak. Sungguh ironis! Akibat hal tersebut, kebudayaan mereka pun terbengkalai dan tidak terawat. Padahal tidak ada yang akan menjaga kebudayaan turun temurun mereka selain mereka sendiri. Tidak ada yang akan (baca: berhak untuk merasa) bangga pada suatu kebudayaan selain pemilik asli kebudayaan yang bersangkutan. Untunglah, aktivis-aktivis Dayakologi tanggap dan cepat mengembalikan paradigma positif. Sekarang semua berlangsung dengan lebih baik, meski sebagian besar kebudayaan telah meluntur karena pergolakan zaman.
Salah satunya kebudayaan telinga panjang khas suku Dayak. Ini merupakan salah satu seni menghias diri, di samping tato dan gigi emas. Tradisi ini hampir tidak bisa ditemukan, bahkan memang sudah tidak berlaku pada generasi muda suku Dayak. Hanya beberapa orang tua saja yang terlihat masih memiliki telinga panjang. Telinga panjang dinilai memalukan. Bahkan, sebagian besar orang tua yang memiliki telinga panjang memilih untuk memotong ujung daun telinga, setidaknya untuk dua alasan yaitu agar tidak dianggap kolot dan tidak memalukan anak atau cucu mereka.
Padahal, dahulu suku Dayak Kayan mengaitkan telinga panjang dengan strata sosial, hanya kaum bangsawan saja yang memiliki telinga panjang. Sementara suku Dayak lain ada yang menyimbolkan telinga panjang sebagai pembeda antara perempuan budak dengan perempuan bangsawan, ada pula yang mengkonotasikan pembentukan telinga panjang sebagai salah satu cara melatih kesabaran dan merasakan penderitaan.
Memang tidak selamanya kita harus mempertahankan tradisi mengingat zaman yang semakin bergulir menuntut kita untuk fleksibel dan dinamis. Tidak ada yang bisa menyalahkan keengganan muda-mudi Dayak untuk mempertahankan tradisi telinga panjang. Mereka pasti tidak ingin dijadikan pusat perhatian dan dianggap aneh oleh orang-orang di setiap tempat yang mereka datangi. Ditambah lagi, generasi muda Dayak pasti sudah tersentuh dengan pendidikan sehingga mengerti mana yang lazim dan tidak.
Namun, sangat disayangkan jika kita harus merasa malu dengan tradisi yang ada, setidaknya kita masih tetap menghargai tradisi yang merupakan warisan sejarah. Suku leher panjang di Thailand bisa menjadi contoh. Mereka tetap menghargai, bahkan meneruskan dan merasa bangga dengan tradisi itu tanpa harus terbebani. Keberadaan suku ini telah menambah devisa negara Thailand di sektor pariwisata karena banyak wisatawan yang penasaran dengan keberadaan mereka. Sepertinya hal ini juga tidak lepas dari peran serta pemerintah Thailand. Sementara, pemerintah Indonesia tampak terlalu sibuk dengan korupsi dan politik luar negri sehingga kehilangan waktu untuk mengurus masalah kebudayaan. Padahal, daerah Borneo pun bisa dijadikan daerah tujuan wisata alam dan budaya yang menggiurkan jika digarap lebih baik.
Di samping itu, tidak seharusnya masyarakat memberi cemoohan menyudutkan terhadap suatu tradisi atau kebudayaan yang eksentrik. Justru ciri khas seperti itulah yang menjadi daya tarik. Bayangkan saja, seni tato khas suku Dayak sangat digemari oleh kawula muda dewasa ini. Seni gigi emas juga pernah menjadi tren di kalangan masyarakat tertentu beberapa tahun silam. Bukan tidak mungkin jika pada suatu saat seni memanjangkan telinga dengan manik-manik atau pemberat juga bisa meroket dan disenangi. Atau paling tidak bisa mendatangkan decak kagum dari orang-orang yang melihat telinga panjang suku Dayak. Sungguh disayangkan jika harus terkubur bersama rasa malu!
Pihak luar negeri juga sangat tertarik dengan kebudayaan suku Dayak. Tentu saja kita tidak ingin kasus lagu Rasa Sayange terulang kembali dan menimpa kebudayaan Dayak. Kalau itu terjadi, maka bukan suku Dayak saja yang merasa dirugikan melainkan seluruh bangsa Indonesia. Oleh karenanya, mengapa tidak mencegah hal tersebut dengan lebih memekatkan dan melekatkan kebudayaan? Saat ini, episode yang terlihat justru pelunturan kebudayaan yang dulu sangat sarat seiring dengan merambahnya masa. Tradisi dan keunikan budaya hanya bisa ditemukan pada orang lanjut usia dan sebagian kecil pemuda. Kalau begitu, bisa jadi dalam beberapa dekade ke depan tradisi serta keunikan tersebut hanya tinggal catatan dalam literatur dan arsip di museum. Ditambah lagi, peninggalan besar kebudayaan Dayak berupa sastra lisan yang jika tidak dilanjutkan secara estafet maka akan berangsur-angsur punah.
Pelestarian kebudayaan daerah memang harus dilakukan secara holistik, memerlukan partisipasi dan penerimaan dari seluruh elemen masyarakat, dukungan pemerintah dan yang terutama kecintaan terhadap kebudayaan tersebut dari kelompok yang memiliki (dalam hal ini suku Dayak).
Mencontoh dari Suku Dayak
Saat ini suku Dayak juga sedang menghadapi berbagai masalah yang cukup merisaukan. Sebut saja hutan mereka yang disulap menjadi areal perkebunan, proyek-proyek pembangunan, atau hilang akibat ilegal logging. Hal tersebut membawa perubahan ekologi, tradisi, ekonomi, sampai budaya suku Dayak.
Selain sebagai paru-paru dunia, hutan juga adalah tempat suku Dayak menggantungkan kehidupan dan tradisi. Berbagai bahan upacara, bahan makanan, bahan kerajinan, bahkan bahan sandang tradisional diperoleh dari hutan. Mereka sendiri sangat arif dan bijak dalam memanfaatkan hutan. Hutan yang dijadikan ladang tidak lebih dari dua hektar per keluarga. Selepas panen, ladang tersebut pun akan kembali dijadikan hutan.
Suku Dayak memiliki beberapa hasil olah intelektual yang lain dari yang lain, mulai dari kesenian, bahasa, hingga kebiasaan hidup. Beberapa dari kebudayaan mereka pantas dijadikan teladan.
Merupakan kesalahan besar jika mengecap suku Dayak sebagai suku yang kejam dan tidak berperasaan karena pernah diisukan dengan ritual potong kepala guna menolak bala. Sebaliknya, suku ini adalah suku yang beradab dan mengerti benar makna persaudaraan serta kebersamaan. Sebagai bukti, tradisi suku Dayak adalah tinggal di rumah besar yang disebut Betang atau Lamin atau rumah Panjang. Rumah ini bisa menampung hingga ratusan orang dan setiap orang yang tinggal di rumah tersebut adalah saudara. Saat satu orang tertimpa masalah, seisi rumah akan turut prihatin. Saat salah satu penghuni rumah meninggal, seluruhnya akan berkabung selama satu minggu dengan tidak menikmati kemewahan duniawi. Sayangnya, keberadaan rumah Betang juga semakin terbatas. Ditambah lagi, pemerintah sendiri melarang suku Dayak untuk tinggal di rumah Betang dengan alasan tidak memenuhi standard kesehatan.
Masyarakat Dayak sangat menggantungkan kehidupan pada pertanian, terutama padi. Pertanian atau perladangan ini pun bisa dibilang masih alami karena jarang menggunakan pupuk sintetis atau pestisida. Sebagai pupuk hanya digunakan abu dari pembakaran dedaunan atau sampah organik hutan. Dengan demikian, ekosistem pun tidak terganggu sebab kita ketahui bahwa pupuk dan terutama pestisida mengandung zat kimia (misalnya DDT) yang mencemari tanah dan air. Kebiasaan bertani seperti ini seharusnya ditiru oleh pertanian modern dan sangat disayangkan jika masyarakat Dayak yang harus mengimitasi pertanian modern.
Meski tanpa bahan-bahan sintetis, pertanian tetap menjadi napas suku Dayak. Bahkan, mereka bisa menghasilkan berbagai jenis padi yang berkualitas dengan berbagai macam sifat tanpa hibridisasi laboratorium. Mereka sudah mengenal padi yang tahan hama, tahan kering, tahan serangga, dan lain sebagainya.
Implementasi Kebudayaan Dayak Terhadap Kesehatan
Judul ini muncul sebagai wujud kecintaan dan keprihatianan terhadap kebudayaan Dayak. Didasari pula dengan pertimbangan bahwa kesehatan adalah harta manusia yang paling berharga. Setiap propaganda yang menyangkut improvisasi kesehatan akan mengundang perhatian dan tilikan dari masyarakat. Misalnya, terapi air seni yang disinyalir dapat menyembuhkan beberapa penyakit. Meski menjijikan, terapi alternatif tersebut tetap digemari oleh sejumlah kalangan.
Seperti itu pulalah kebudayaan Dayak akan dijelmakan dalam tulisan ini, yaitu menghubungkan kebudayaan tersebut―dalam hal ini makanan dan nyanyian―terhadap kesehatan. Bahwa beberapa segemen budaya Dayak ternyata membawa manfaat positif terhadap kesehatan. Buktinya, meski bersahabatkan alam, tidak mengkonsumsi suplemen yang dijual bebas di apotik, tingkat kesehatan dan angka harapan hidup mereka lumayan tinggi. Sedikit banyak hal tersebut juga mendapat pengaruh dari pola serta gaya hidup masyarakatnya.
Olahan ikan adalah sumber protein utama bagi suku Dayak di samping binatang buruan. Hal ini juga dikarenakan wilayah Kalimantan yang dibelah oleh banyak sungai. Umumnya ikan-ikan akan dikeringkan sebelum dikonsumsi. Pengeringan ikan yang dilakukan secara tradisional akan meningkatkan kadar protein serta menurunkan kadar air. Intinya, ikan kering mengandung protein yang lebih tinggi daripada ikan segar.
Di samping itu, ikan mengandung lemak tidak jenuh omega 3 yang berfungsi mencegah penyakit degeneratif, lemak EPA untuk mencegah ateroskelrosis dan DHA untuk pembentukan sel otak. Kandungan lemak dalam ikan tidak mudah teroksidasi di dalam tubuh sehingga mengecilkan kemungkinan terbentuknya plak makrofag foam cell yang bisa menyumbat pembuluh darah.
Untuk membakar makanan seperti daging, suku Dayak kerap melakukannya di atas kayu bakar. Meski tertempel abu, cara seperti ini lebih aman daripada membakar/memanggang di atas bara api yang berlapiskan besi. Sisa pembakaran dari besi atau logam lain merupakan zat karsinogenik yang dapat memicu protoonkogen menjadi onkogen serta menghambat kerja tumor supressor gen. Lebih jauh lagi, kanker adalah dampaknya. Namun, suku Dayak dapat menikmati makanan yang dibakar/dipanggang tanpa harus takut dengan zat karsinogenik dari sisa pembakaran besi.
Biasanya makanan yang kita beli dibungkus dengan kertas, plastik, daun pisang, kotak styrofoam, maupun kotak karton. Namun, suku Dayak membungkus makanan, terutama nasi lembek dan kue saga dengan daun njuk (Maranta arundinacea), daun dalui (Halopegia blumei), daun pedek (Macaranga triloba), dan daun lain yang diperoleh secara alami dari hutan. Selain menyumbang aroma tersendiri, tentu saja ini lebih alami daripada bahan sintetis yang senantiasa kita pakai.
Contohnya plastik yang merupakan polimer. Plastik (Polyethylene terephthalate atau PET) akan terurai menjadi monomer-monomer (DEHA) jika terkena panas dari makanan. DEHA bersifat karsinogenik dan tidak bersahabat dengan tubuh. Sementara kertas telah terdeteksi mengandung timbal. Timbal akan semakin mudah meresap dalam makanan jika makanan tersebut berlemak dan panas. Dampaknya adalah pallor (pucat), sakit, dan kelumpuhan (paralisis). Sedangkan residu styrofoam dapat mengakibatkan gangguan sistem endokrin dan reproduksi.
Selanjutnya, berdasarkan telaah pustaka lain yang dilakukan, musik terbukti dapat memberikan efek positif bagi tubuh. Di sini fokus dilakukan terhadap pemaksimalan fungsi otak guna membantu proses pembelajaran. Setelah mencoba menyesuaikan, ternyata beberapa lagu khas Dayak memenuhi kriteria musik yang membantu kinerja otak.
Ada beberapa lagu tadisional Dayak yang memiliki tempo lambat, yaitu 60-80 ketukan. Pada tempo ini musik dapat mempersiapkan otak untuk memulai kegiatan belajar. Sesungguhnya pembelajaran tidaklah sesederhana yang dibayangkan karena penerimaan informasi melibatkan sejumlah besar sel otak dalam beberapa tahap. Dimulai dari encoding (proses memasukan informasi ke dalam memori), rentensi (penyimpanan merupakan proses penyimpanan memori ke dalam otak) serta recalling (pemanggilan kembali memori saat dibutuhkan). Musik, termasuk sederet lagu tradisional Dayak akan memaksimalkan sel neuron guna memasuki ketiga tahap tersebut. Di samping itu, juga menuntun kita kepada dunia pencitraan pikiran yang akan menurunkan stres, mengoptimalkan kemampuan diri, meningkatkan daya ingat, merangsang kreativitas dan imajinasi, mengembangkan intelegensi, membuat lebih santai, segar dan tenang.
Sejauh ini hipotesis saya menyatakan bahwa musik-musik Dayak bertempo lambat itulah yang membuat sebagian mereka terhindar dari kerusakan sel otak. Padahal, suku Dayak gemar minum arak atau tuak yang mereka fermentasikan dari singkong maupun beras. Sementara, arak yang mengandung alkohol dapat mengganggu neurotransmitter di dalam susunan saraf. Dalam kasus ini, musik memperbaiki koneksi-koneksi antarneuron, termasuk pula mempotensiasikan neurotransimiter.
Artinya, bukan hanya musik klasik saja yang bisa membawa manfaat. Musik klasik terkenal karena promosi. Lalu, mengapa kita tidak mencoba mempromosikan lagu tradisional Dayak dengan didahului dengan berbagai riset dan observasi yang mendukung? Jika tidak menembus internasional, paling tidak bisa bersinar di gawang kita sendiri.
Berikutnya, saya akan mengambil contoh tari Perang yang merupakan tarian khas Dayak. Tarian yang menceritakan tentang pahlawan Dayak Kenyah dalam berperang melawan musuh ini memiliki gerakan yang sangat lincah, gesit, penuh semangat dan kadang-kadang diikuti oleh pekikan si penari. Gerakan tarian ini juga bisa dicontoh dalam rangka memperbaiki kondisi kesehatan.
Tarian Perang membutuhkan koordinasi gerakan yang sangat baik. Oleh karena itu, tarian ini dapat digunakan untuk mengasah kemampuan cerebellum, termasuk area 4 pada otak dan beberapa traktus yang berhubungan dengan fungsi motorik.
Di samping itu, pekikan-pekikan yang keluar selama menari dapat meningkatkan kadar endomorfin yang membuat kita lebih santai dan rileks. Dalam sebuah jurnal kedokteran, disebutkan bahwa emosi yang dilepas baik dalam bentuk tangisan maupun teriakan adalah lebih baik daripada emosi yang ditahan. Dengan memainkan tari Perang, kita bisa membuka belenggu emosi dengan jeritan-jeritan. Keadaan ini juga menyebabkan terkontrolnya kadar hormon katekolamin maupun kortisol (biasanya disekresi lebih banyak saat stres). Sebagai catatan, hormon tersebut berkerja untuk menaikkan tekanan serta kadar gula darah.
Selain menarik dan menantang, paduan gerakan dalam tari Perang juga dapat mengoksidasi lebih banyak lemak abdominal, yang mana lemak ini berpotensi menimbulkan berbagai penyakit degeneratif, mulai dari diabetes melitus sampai jantung koroner.
Untuk kaum hawa, alternatif tarian yang dapat dicoba adalah tari Gong yang menggambarkan kelembutan seorang gadis bak padi yang meliuk tertiup angin. Tarian ini dibawakan di atas sebuah gong. Oleh karena itu, sudah pasti akan menantang area labirin untuk menjaga keseimbangan. Tarian ini juga cocok sebagai media relaksasi guna mengembalikan tubuh ke keadaan yang lebih segar dan tenang.
Intinya, banyak hikmah yang bisa dipetik dari kebudayaan alami suku Dayak. Oleh karena itu, tidak seharusnya masyarakat modern memandang sebelah mata. Sebaliknya, masyarakat diimbau untuk memberi perhatian lebih pada setiap segmen kebudayaan Dayak. Dengan harapan eksistensi kebudayaan tersebut akan tetap terjaga.
Penutup
Kebudayaan Dayak menyimpan berjuta keunikan yang sangat potensial untuk digali, sebagai penambah devisa maupun sebagai identitas yang membanggakan bangsa. Meski keunikan tersebut telah diusangkan masa, belum terlambat untuk kembali berbenah. Pembenahan dilakukan mulai dari suku Dayak itu sendiri dengan dukungan pemerintah pusat maupun daerah dan elemen-elemen terkait.
Ditekankan sekali lagi, yang terpenting di sini adalah tekad untuk tetap berpegang pada nilai-nilai budaya leluhur. Masalah apakah muda-mudi Dayak yang telah berpendidikan tinggi mau menjalani keunikan tersebut atau tidak tetap dikembalikan pada hati nurani masing-masing. Setidaknya, keunikan yang lazim diteruskan pada era global dapat dipertahankan eksistensinya.
Semoga Dayak yang merupakan jantung Borneo tetap bisa berdetak untuk memompakan pesonanya ke pelosok tanah air!
Tahi Lalat Anda Bisa Jadi Musuh dalam Selimut
Kata primbon, tahi lalat bisa dibuat sebagai indikator kepribadian seseorang berdasarkan letaknya. Namun, kata medis, tahi lalat justru bisa menjadi ancaman terhadap kesehatan. Bisa saja tahi lalat sudut bibir yang selama ini membuat Anda tampak manis akan mengganas dan meliar, menimbulkan kelainan sejenis kanker yang dinamai melanoma. Melanoma ini tergolong kepada kanker kulit.
Sejatinya, tahi lalat tidak memiliki arti penting bagi kesehatan dan dalam kondisi normal juga tidak membahayakan. Ia timbul karena tumpukan zat pemberi warna melanin. Melanoma sendiri bisa berkembang dari tahi lalat yang sudah ada sejak lahir atau yang baru timbul. Tahi lalat berkembang menjadi melanoma dengan dilatarbelakangi oleh sel yang disebut melanosit. Melanosit ini menghasilkan anak-anak yang abnormal dan mengakibatkan perubahan sifat. Perubahan sifat itu juga dapat kita amati secara fisik pada tahi lalat yang bersangkutan, mulai dari perubahan warna (bervariasi antara kecoklatan, hitam, bahkan biru, putih, atau merah, bisa lebih gelap, pucat, atau terang), perubahan bentuk menjadi tidak beraturan dengan permukaan yang tidak rata dan batas yang tidak tegas, serta perubahan ukuran menjadi lebih besar dalam hal diameter. Ada kalanya, tahi lalat yang telah mengganas itu akan menjadi gatal dan berdarah.
Perubahan abnormal tersebut dipicu oleh banyak hal, bisa sinar ultraviolet maupun agen-agen lain yang berpeluang menimbulkan mutasi. Agen yang dimaksud bisa berasal dari makanan maupun paparan lain seperti obat. Sama seperti penyakit kegananasan lain, genetik atau faktor keturunan juga berkemungkinan mengambil peran dalam menciptakan melanoma.
Tahi lalat yang paling sering mengganas biasanya bermarkas di daerah tungkai bawah, badan, kepala dan leher, tungkai atas, termasuk juga pada kuku. Sebagai catatan, kita sebaiknya berwaspada dan segera mencari pengobatan jika terdapat tanda-tanda pengganasan tahi lalat seperti yang telah disebutkan di atas. Bukan apa-apa tetapi hasil pegobatan sangat bergantung kepada derajat penyakit saat diketemukan.
Untuk penanganan, biasanya melanoma tersebut akan diangkat, tepatnya saat hasil laboratorium telah menunjukkan adalah benar tahi lalat telah mengganas. Ada kalanya, jaringan di sekitar melanoma, termasuk juga kelenjar getah bening harus diangkat pula jika sel kanker sudah menyebar.
Hal paling menakutkan dari melanoma adalah penyebarannya yang cepat, yaitu melalui peredaran darah. Akibatnya, sel-sel ganas akan singgah dan berkembang di organ-organ vital. Sebagai lanjutan tentu saja kematian berpeluang besar untuk terjadi.
Thursday, October 7, 2010
Abadi pada Kenangan
Tanpa sumbu
Aku masih menyala
Tinggal setitik cahaya redup
Pada ruang sunyi
Nan membahanakan jerit tangis
Dalam gelap itu
Aku terdiam
Tertikam angin
Tiada kata tuk meminta kembali sukacita
Pada masa lampau
Nan menghiaskan senyum pada wajah
Di mana cahaya terang?
Panggillah aku
Jemputlah aku
Tuk menjadi kemilau mentari
Nan abadi
Pada kenangan mereka
Kamar renung, 2010
Manfaat Bersikap Sopan-Santun
Tuesday, October 5, 2010
Kertas
Yang memiliki sebentuk gambar pada permukaan
Maka berkali-kali sudah kau meremas
Dan mengoyakku hingga hancur
Menjadi sepotong-sepotong
Setiap segala detik demi detik kegilaan telah berlalu
Maka kembali kau merekatku
Dengan bekas-bekas ketragisan
Yang bagiku sangatlah menyakitkan
Ah
Berhentilah merekatku kembali
Jikalau hanya untuk kau hancurkan lagi esok
Aku sudah begitu tragis
Seiring hari-hari
Walau sebentuk gambar pada permukaanku
Memiliki kekurangan
Namun biarkanlah aku mengasihimu
Tanpa segala kebencian
Kamar renung, 2010
Sunday, October 3, 2010
Malam Itu
Mereka larut dalam cinta
Terseret dalam pusaran goda
Bermain-main dalam gelap malam
Tanpa ikatan sakral
Ah...
Nikmat yang memuncak
Pun segala dosa terlupakan
Menanti datangnya aib
Diam
Hanya aku dan kamu yang tahu, kata mereka
Tetapi noda dosa itu kian menghantui
Seolah hendak mengungkapkan pada dunia
Sepasang insan t'lah terjerumus dalam suram
Pada malam itu
Malam yang menimbulkan aib dan dosa
Tuk dipikul pada masa mendatang
Dia pun terlahir
Dan bertanya; Ma, siapa Papa?
Kamar renung, 2010
Saturday, October 2, 2010
SEBAIT KENANGAN DI KALA SENJA
Kini, batang usiaku membayang di gerbang senja.
Ketika rindu kembali menggema dalam palung jiwaku, ingin kubebaskan segenap rasa yang telah terpenjara seabad dalam batin...
Atau, kutuang kembali kenangan yang tergenggam dalam cawan sisa usiaku...
Dan, kutulis... kulukis...
Namun, pena enggan pun menarikan sebait syair tentang kita di atas putih kertas...
Kuas enggan pun membaurkan warna cerita kita di atas putih kanvas...
Adakah kenangan telah buram oleh jejak musim?
*
Seperti Bayang
Tentu, cinta ini tak perlu memerlihatkan gulungan-gulungan ombak pada emosi. Cukup membisu, tertidur, pada kuburnya.
Tetapi aku masih di sini, tiada sedetik pun, menggeser tatapku padamu. Kukenang dalam riwayat ini, senyum-senyum indahmu, yang menyihir malam-malamku selalu hadir bayangmu.
Jangan menggertak dan mengusirku. Aku tak akan mengusikmu. Aku hanya ingin mengikutimu, seperti bayang hitam. Dan mendukungmu, semampuku.
Hingga bila benar tak mampu lagi, maka aku pun pergi...
Kamar renung, 2010
Friday, October 1, 2010
Sahabat yang Sebenarnya
Sahabat yang sebenarnya, adalah sahabat yang mengingat kita ketika ia bahagia, serta tak melupakan kita ketika kita susah.
Sahabat yang palsu, adalah sahabat yang mengingat kita ketika kita senang, serta melupakan kita ketika kita susah.
-Lea Willsen-
Selektif dalam Bergaul
Selektif dalam bergaul, bukanlah sikap pongah, namun sikap mawas, agar tak terjerumus.
-Lea Willsen-
Entri Populer
-
Teknologi SIM ganda pada smartphone bukan lagi hal baru di dunia pergawaian. Hampir semua merek memiliki model smartphone yang dibekali...
-
Foto: Rizka Amita Bermunculannya smartphone yang menggunakan slot model hybrid dari yang murah hingga mahal selangit, sedikit banya...
-
Menyambung postingan sebelumnya yang membahas tentang salah satu game balap berkualitas yang ada pada sistem operasi Android, yaitu N...
-
Pada kesempatan kali ini, kita akan membahas tentang perlu dan pentingnya sikap sopan-santun bagi kita semua. Karena, sikap sopan-santun ...
-
Tentu, dalam menciptakan suatu karya tulis, penulis-penulis cenderung lebih memprioritaskan MAKNA KATA daripada sakadar BUNYI KATA. Cara ...
-
Sejumlah fitur baru selalu mempermanis sejumlah smartphone flagship berbagai merek, sebut saja Samsung GALAXY S7 atau S7 Edge, di mana salah...
-
Sedari zaman dulu pun, desain fisik sebuah ponsel umumnya selalu tidak luput dari kepentingan para pengguna tunanetra, atau katakanlah ...
-
Oleh: Lea Willsen SEBAGIAN orang beranggapan kalau belajar menggambar itu membutuhkan biaya yang maha...
-
Setelah lama kita mendengar kabar akan ditambahkannya tombol dislike oleh Facebook (FB), kemudian kita juga sempat menduga-duga atau be...