Oleh: Lea Willsen
Judul tulisan ini begitu
menyeramkan mungkin. Kebanyakan dari kita tentu takut berada dalam kondisi
tersebut. Lantas, apa yang kemudian kita lakukan? Jelas secara batin kita
tertekan, bahkan seketika kehilangan semangat hidup, dan menjadi lebih sering
menjalani hari-hari—yang tak banyak lagi—dengan menangis atau murung. Tak ada
yang salah dari sikap tersebut. Sangat manusiawi.
Mungkin
kita akan berpikir tentang banyak hal yang masih tidak ikhlas kita lepaskan.
Kita masih belum melakukan ini, belum melakukan itu, dan masih banyak target
atau impian yang belum tercapai. Nah, kenyataannya ungkapan "tak ada yang
mustahil dalam dunia ini" berlaku di sini. Ada saatnya kondisi titik
terendah dalam hidup justru adalah motivasi terampuh untuk melakukan hal
positif dalam hidup ini.
Kisah Anthony Burgess
Melakukan
banyak hal dengan sisa waktu yang sedikit. Inilah yang telah dilakukan oleh
Anthony Burgess, seorang pria kelahiran Inggris 25 Februari 1917 yang telah
divonis dokter menderita penyakit tumor otak. Saat itu Burgess baru berusia 42
tahun, tetapi dokter mengungkapkan kalau maksimal sisa hidup Burgess tinggal
satu tahun.
Keberadaan
tumor otak itu bukan hanya mengancam hidup, tetapi biaya pengobatan yang
diperlukan juga telah menguras banyak kekayaan Burgess, hingga pria itu
benar-benar jatuh miskin. Satu hal yang Burgess risaukan adalah ia tak memiliki apa pun untuk
diwariskan kepada isterinya. Namun, Burgess tidak berdiam diri menunggu ajal
menjemput. Dalam kondisi terdesak itu terpikirkan ide kalau ia harus mulai
menulis dan coba menjadi seorang novelis. Burgess merasa dirinya berpotensi untuk menjadi
seorang penulis besar. Semangatnya bagai
bara api yang takkan padam oleh siraman air. Bila novelnya
populer, maka kelak royalti yang terus mengalir dapat menghidupi keluarganya,
sekalipun ia telah meninggal.
Menurut
perkiraan, Burgess hanya memiliki musim dingin, musim semi, serta musim panas untuk menjalani
hidup. Dan pada musim gugur ajal akan datang menjemputnya. Ia
lekas mulai menulis novel. Tahun itu menjadi tahun yang demikian menakjubkan.
Ia berhasil merampungkan lima buah naskah novel, yang kemudian tiga di
antaranya berhasil diterbitkan.
Satu hal yang menakjubkan lagi, Burgess
ternyata tidak meninggal pada tahun itu! Tumor otaknya menghilang, dan ia tidak
berhenti menulis begitu saja hingga kemudian berhasil melahirkan sekitar 70 buku, sebelum meninggal pada usia 76 tahun. Coba saja bayangkan, Burgess yang pada usia 42 tahun telah divonis hidupnya tak akan lama lagi
ternyata masih dapat hidup sampai usia 76 tahun. Dan ini bukan sebuah drama
fiksi!
Jika Burgess tidak dihadapkan pada ancaman ajal
di depan mata, entah harus menunggu sampai kapan ia baru akan termotivasi untuk
menggali potensi dirinya. Bahkan mungkin untuk selamanya ia tak akan pernah
menjadi seorang novelis besar—seorang yang namanya mendunia. Inilah yang
disebut motivasi ampuh di kala berada pada titik terendah kehidupan.
Memfoya-foyakan Sisa Hidup
Tak ada satu pun dari kita yang mutlak
mengetahui kapan ajal kita tiba. Mungkin esok, mungkin lusa, atau kapan pun itu
kita tak akan pernah tahu. Apalagi bila masih muda, usia dua puluh atau tiga
puluh dan empat puluh tahunan, kita akan membayangkan kita masih akan tetap
hidup hingga usia tujuh puluh, delapan puluh, sembilan puluh atau bahkan sampai
ratusan tahun. Ah, waktu masih panjaaang...! Sedikit berleha-leha itu manusiawi.
Bukankah masa muda itu tak pernah kembali dan harus dinikmati dengan baik?!
Sah-sah saja menikmati masa muda—menikmati
hidup—atau yang biasa disebut refreshing.
Refreshing itu penting, ibarat
mengistirahatkan atau menyegarkan kembali sebuah komputer yang sudah bekerja
sepuluh jam lebih dan mulai mengalami bugs
di mana-mana. Tetapi, harus dipahami juga kalau refreshing itu berbeda dari bermalas-malasan, dan tidak akan pernah
dapat disamakan dengan alasan apa pun. Terlalu lama ‘refreshing’, justru akan membuat kita menjadi barang elektronik
baru yang tak terpakai, disimpan selama bertahun-tahun, hingga termakan usia
dan berakhir menjadi loak yang tak pernah sekali pun bermanfaat.
Agaknya kisah Anthony Burgess dapat
mengingatkan kita bahwa betapa bermanfaatnya sisa hidup, sekalipun ajal sudah
di depan mata. Bermalas-malasan itu identik dengan ‘memfoya-foyakan’ sisa
hidup. Bisa jadi sepuluh tahun yang dimiliki seorang pemalas tidak lebih
berharga daripada satu tahun yang dimiliki Burgess. Pepatah berbunyi; tak penting hidup berapa lama, tetapi lebih
penting apa yang telah dikerjakan semasa hidup.
Fokus dengan Target
Dalam buku “Mimpi Sejuta Dolar”, Merry Riana
menceritakan pengalaman berharganya dalam mengikuti seminar Anthony Robbins, di
mana terdapat sebuah permainan lari menyeberangi kobaran api untuk mencapai
tujuan. Sebuah permainan yang menantang tentunya. Dalam kehidupan kita juga
sama. Api ibarat rintangan. Tujuan ialah target. Untuk mencapai target, sudah
tentu kita harus berani dan fokus menyeberangi rintangan. Di samping itu,
kehidupan tak pernah luput dari godaan. Godaan yang dimaksudkan adalah
keinginan kita yang terus mengarah pada hal-hal menyenangkan—seperti berjam-jam
chating, nonton film, bermain game online, atau mengunjungi tempat
hiburan—daripada hal-hal yang menjanjikan.
Sukses mungkin bukan milik semua pekerja keras.
Namun, tanpa bekerja keras dan fokus dengan target, sudah tentu sukses lebih
tidak mungkin dimiliki. Tak ada pantangnya menganggap ajal sudah di depan
mata—setahun lagi kita akan meninggal—maka kita pasti akan memanfaatkan waktu
sebaik mungkin. Setiap akan berpikir atau bertindak negatif, kita akan berpikir
dua kali. Oh, waktu saya tidak banyak! Lebih baik saya memanfaatkannya untuk
hal yang baik!
***
karen, awal
Januari, 2013
http://myartdimension.blogspot.com