Oleh: Lea Willsen
Bab
4
KEDUA mata
Linda terpejam. Tubuhnya terendam dalam bathtub
yang dipenuhi air sabun. Sungguh lelah rasanya. Seharian ia membereskan ruang-ruang
di lantai dua. Dan besok-besok masih ada lantai dasar, tiga, dan empat yang
harus dibersihkan. Kendati Katada dan anak-anak juga turut membantu, tapi
bagaimana pun juga pria dan anak-anak tak pintar mengerjakan pekerjaan rumah.
Pekerjaan mereka tak sebanding dengan Linda.
Tiba-tiba,
sepasang tangan merangkul leher Linda dari belakang.
“Ah, Katada,
jangan menggangguku...,” gumam Linda yang masih memejamkan mata.
Tak ada
balasan. Sepasang tangan itu masih terus berada pada leher Linda, dan
meraba-raba halus.
“Katada...”
Linda tak tahu harus berkata apa. Kalau ia tak salah ingat, sebelum ia mandi
tadi, Katada sudah terlelap. Suaminya terbangun lagi?
Perlahan-lahan,
sepertinya Linda merasa kuku sepasang tangan itu menggesek lehernya. Kuku itu
terasa panjang.
“Katada!”
Linda tersentak membuka mata. Tak ada siapa-siapa dalam kamar mandi itu. Lalu,
siapa yang barusan merangkul lehernya?
Linda
bergidik. Bergegas ia bangkit dari bathtub,
mengenakan pakaiannya, dan berjalan keluar. Terlihat olehnya Katada masih
terlelap di atas ranjang.
Oh, Katada masih terlelap... Lalu...?
Srrrt...
Srrrt... Terdengar langkah kaki yang terseret-seret dari belakang. Linda coba
melirik ke belakang, namun tubuhnya tak berani berputar. Astaga! Sepertinya ada
sesuatu bergerak-gerak di belakang! Warnanya hitam! Apa itu?! Manusia?! Siapa?!
Greeeb...!
Sesuatu menarik baju Linda dari belakang! Spontan Linda menjerit histeris.
Jantungnya hampir berhenti.
“Ada apa?!”
Katada tersentak bangun. Langsung saja Linda melesat dalam pelukannya.
“Hantu!
Hantu!” pekik Linda tak berani membuka mata.
“Hantu?! Di
mana?!”
“Di
belakangku!”
Mata Katada
menerawang seisi ruangan, hingga ke langit-langit. Tak terlihat apa pun. “Tak
ada, Linda... Jangan bicara yang bukan-bukan...”
“Ada!”
“Tak ada...
Coba kau buka mata lihat sendiri. Di sini hanya ada kita berdua...”
Pelan Linda
membuka mata, dan menerawang seisi ruangan. Hantunya hilang. “Oh, tadi
jelas-jelas ada! Dia menarik bajuku!”
Katada
tersenyum. “Jangan takut...”
Linda menatap
wajah Katada. Tiba-tiba ia teringat sesuatu. “Tadi kau masuk ke kamar mandi?”
“Tidak... Aku
sudah terlelap.”
“Tadi ada
sepasang tangan yang meraba leherku! Aku tak bohong, Katada! Aku mengira itu
kau... Tapi... kukunya terasa panjang!”
“Linda...”
Alis Katada mengernyit. “Mungkin kau ketiduran di dalam karena terlalu lelah.
Nanti aku akan mencarikan seorang pembantu untukmu...”
“Tidak,
Katada! Aku yakin aku tak sedang bermimpi! Aku merasakan kukunya bergesekan
dengan leherku. Sedikit sakit...” Linda menjelaskannya sembari mengelus leher
sendiri. “Ah?!” Lehernya terdapat sebuah luka kecil. “Katada! Leherku terluka?”
“Coba
diangkat...” Katada pun memerhatikan leher Linda. “Benar..., sedikit goresan
memar...”
“Katada! Itu
perbuatan hant...”
“Linda.
Sebaiknya kau segera istirahat dulu. Besok pagi baru kita bicarakan lagi...”
***
Kembali ke Prolog untuk membaca bab lain.