Bab
5
PADA malam malam
berikutnya, Linda masih terus merasakan kejadian-kejadian aneh lainnya, seperti
sandal yang berpindah tempat, pintuk yang malam-malam diketuk, lampu teras yang
tiba-tiba menyala, suara tangisan di koridor, suara alat musik di lantai tiga,
keran di kamar mandi yang tiba-tiba terbuka, dan juga suara-suara pria yang
menjerit-jerit entah dari mana arahnya.
Selain itu, Radhi
si bungsu juga setiap malam menangis tak henti-hentinya. Linda takut suara
tangisan Radhi akan membuat Katada tak dapat tidur nyenyak—sementara esok masih
harus bekerja di kebun—maka Linda selalu membawa Radhi turun ke ruang utama
lantai dasar.
Bukan hanya
itu, Randy juga sempat bercerita, suatu malam ketika ia keluar dari kamar untuk
mengambil air, terdengar suara Leysa yang memanggil-manggil namanya. Namun saat
disahut, suara itu pun menghilang. Dan ketika ia hendak kembali ke kamar,
terdengar suara bola besi yang terseret-seret di tangga lantai dua menuju
lantai tiga.
Dan berbeda
lagi dengan apa yang dialami oleh Leysa. Setiap malam ia melihat sesosok wanita
berbaju merah yang terbang ke sana kemari di atas langit-langit kamarnya.
Sesosok pria tanpa busana mengamatinya semalaman dari arah pintu. Dan sesosok
kakek tua yang tak henti-hentinya menangis di sisi ranjang. Belum lagi sesosok
cebol yang kadang muncul kadang tidak. Cebol itu paling mengganggu. Dia senang
menarik rambut Leysa, menciptakan bunyi-bunyian aneh dengan sebuah terompet
kecil yang selalu bergelantungan di lehernya, dan juga mendekatkan jari-jarinya
di wajah Leysa serta mengancam akan mencungkil mata Leysa. Selama seminggu
tinggal di rumah itu, nyaris tak ada satu malam pun Leysa dapat tidur nyenyak.
Sebagai pemilik shinigami’s eye, ia
dapat melihat serta merasakan gangguan-gangguan makhluk halus itu, melebihi apa
yang dapat dirasakan oleh anggota keluarga lainnya. Ia tahu secara pasti bahwa
rumah mewah yang mereka tempati sangat angker dan tak seperti tempat-tempat
lainnya. Tetapi, ia tak berani menceritakannya kepada anggota keluarga lainnya.
Yang sulit
dipercaya, selama seminggu tinggal di rumah mewah itu, Katada sama sekali tak
merasakan hal aneh apa pun.
***
“BAGAIMANA
kalau kita pindah saja?” tanya Linda hati-hati.
Katada tak
menjawab.
“Betul, Pa...
Randy takut...,” timpal Randy.
Katada pun
menghela nafas. “Pindah ke mana? Rumah ini tersedia secara gratis, mewah dan
indah. Kita tak mungkin meminta perusahaan memberikan rumah lain lagi, ‘kan?
Itu mustahil...”
“Tapi,
Katada... Sepertinya ada sesuatu yang aneh di sini...”
“Betul, Pa!
Rumah ini angker!”
“Randy...,
jangan ikut campur...”
Randy
tertunduk.
“Kalian
setiap hari membicarakan hal ini. Tapi mengapa aku tak pernah sekali pun merasakannya?
Sepertinya kalian terlalu sering menonton film horor, Suster Mandi, Suster
Rangkak, Hantu Jeruk Busuk, Hantu Jamu Pahit, Babi Ngesot, dan lainnya...”
Katada pun bangkit dari kursinya, dan berjalan keluar rumah, menuju halaman
belakang. Rasanya kesal juga terus-menerus mendengar Linda setiap hari membahas
itu-itu saja.
Ternyata di
halaman belakang Katada mendapati Leysa. Putri pendiamnya itu sedang membaca
sebuah buku.
“Papa...”
“Leysa...”
Katada menghampiri Leysa. Tiba-tiba rasanya ada yang ingin ia bicarakan.
“Leysa, apa pendapatmu tentang rumah ini?”
“Rumah ini?”
Leysa sedikit kaget mendengar pertanyaan itu.
“Benar!
Maksud Papa, Mama dan adikmu setiap hari membicarakan yang bukan-bukan tentang
rumah ini, tapi Papa tak pernah merasakannya...”
Leysa hanya
terdiam.
“Papa tak
begitu percaya, karena matamu bisa melihat makhluk halus, tapi kau tak pernah
mengeluh. Sementara mata mereka tak dapat melihatnya, tapi justru mereka yang
terus mengeluh kepada Papa...” Katada tersenyum sinis.
“Pa...” Leysa
tampak ragu. “Apa yang dikatakan oleh Mama dan adik itu benar...”
“Apa?”
“Rumah
kita... Seperti sarang hantu...”
Nafas Katada
tertahan. Ah, haruskah ia percaya dengan apa yang barusan dikatakan oleh Leysa?
Leysa mencengkeram
lengan Katada. Nafasnya memburu. Suaranya meninggi. “Jumlah mereka bukan
belasan atau puluhan, tapi tak terhitung lagi, Pa! Bentuknya sangat
menyeramkan! Aku takut! Aku tak tahan lagi, Pa!” Tangisan Leysa pun pecah dalam
dekapan sang Papa.
“Sudah,
Leysa... Jangan menangis... Papa akan mencarikan jalan keluar untuk kita...
Kita akan pindah begitu Papa menemukan rumah lain...”
Leysa tetap tak
dapat membendung airmata. Wajahnya dibenamkan pada dada sang Papa. Di sana ia
mendapati sebuah liontin salib yang tergantung pada kalung di leher papanya.
Salib itu berkilau-kilauan memantulkan sinar matahari.
***
Kembali ke Prolog untuk membaca bab lainnya.