Penulis yakin, banyak di antara
kita—terlebih yang memiliki banyak saudara—terkadang memiliki problematik atau
persepsi yang beranggapan bahwa ibu kita tidak adil. Ya, kendatipun tidak
sedikit juga yang senantiasa bersyukur terhadap keberadaan sosok sang ibu, di
sini kita tak perlu, atau tak harus menyatakan siapa-siapa yang harus
dipersalahkan.
Ketika seorang anak cenderung
merasa ibunya pilih kasih, bukan berarti kita harus memvonis kalau anak
tersebutlah yang bersalah, tak tahu bersyukur, durhaka, atau sejenisnya. Tidak
juga dengan membenarkan kalau sosok si ibu memang tidak baik, menyebalkan, dan
patut dikritisi atau diprotes.
Realistis saja. Ketika seorang
anak mengalami problematik atau menyimpan persepsi kalau ibunya tidak adil,
tentu saja ada alasan tersendirinya, yang bisa jadi hanya si anak
bersangkutanlah yang tahu secara pasti. Tetapi, di balik ketidakadilan yang
ditunjukkan seorang ibu kepada anak-anaknya, ada kalanya terdapat banyak sebab
serta kesalahpahaman. Di sini, tujuan kita tentu bukan terus terperosok semakin
dalam pada problematik tersebut. Kita butuh mencari tahu, mencoba memahami apa
yang sebenarnya menjadi penyebab sikap seorang ibu yang dianggap tidak adil.
Sebab dan alasan
Tuhan itu adil. Ungkapan
demikian pada dasarnya masih kerap menjadi pro-kontra. Tetapi, bila berbicara
tentang manusia itu adil, jangan ditanya lagi. Pada dasarnya di dunia ini tak
ada manusia yang benar-benar seratus persen adil. Bahkan seorang penegak
keadilan, belum tentu sanggup bersikap adil ketika dihadapkan pada posisi
sebagai orangtua—ayah atau ibu—untuk anak-anaknya.
Ketidakadilan itu manusiawi,
kendatipun sulit diterima. Ketidakadilan seorang ibu juga manusiawi. Coba saja
kita renungkan, setiap dari kita terlahir sebagai anak dengan karakteristik,
bentuk, serta cerita yang berbeda. Kita tidak seperti sebuah produk yang
diproduksi secara massal hanya dengan sebuah cetakan yang sama. Jadi, ketika
seorang ibu—yang masih manusia—menilai satu per satu buah hatinya, sang ibu jelas
memiliki pendapat tersendiri untuk setiap anaknya.
Ibarat ketika seorang perancang
busana mengamati satu per satu busana rancangannya yang memiliki motif dan
model berbeda—kendatipun setiap busana itu terlahir dari buah pikirannya—tetap
saja si perancang memiliki pendapat tersendiri juga untuk setiap busana itu.
Itu pun busana hanya sebuah benda mati. Berbeda dengan anak (manusia), ada yang
pintar mengambil hati ibunya, ada yang suka bermanja-manja dengan ibunya, dan
ada juga yang justru sebaliknya, selalu meresahkan ibu, atau memancing emosi
ibu.
Selain itu, terkadang bisa juga
oleh berbagai sebab lain. Sebut saja dari segi usia anak, seorang ibu mungkin
berpikir kalau dirinya harus lebih melindungi anaknya yang kecil, atau lebih
memprioritaskan anaknya yang berusia sekian-sekian, kemudian tanpa disadari
sikap tersebut malah diterjemahkan sebagai ketidakadilan di mata anak yang
lain.
Misalkan, dua bersaudara sedang
berebutan mainan. Satu berusia sepuluh tahun, dan satunya lagi baru lima tahun.
Secara refleks seorang ibu biasanya akan meminta anak berusia sepuluh tahun
untuk mengalah kepada adiknya. Lalu contoh kedua, seorang anak berusia
delapanbelas tahun diberikan ibu ponsel yang mahal dan canggih, sementara
adiknya yang berusia sepuluh tahun hanya mendapatkan ponsel bekas pakai
saudaranya itu. Kondisi yang serupa juga bisa saja terjadi pada seorang ibu
delapanpuluh tahunan dengan anak-anaknya yang berusia limapuluh atau enampuluh
tahunan, meskipun untuk cerita yang berbeda.
Kasih di balik
ketidakadilan
Umumnya, di mata seorang ibu,
setiap anak selalu dikasihi. Hanya saja, terkadang ibu menunjukkan kasih
tersebut pada setiap anaknya dengan cara yang berbeda-beda. Untuk si A kasih
yang diberikan adalah dengan cara ini, dan untuk si B kasih yang diberikan
adalah dengan cara itu, kemudian lain cara lagi untuk C, D, E. Penulis akan
kembali memberi sebuah contoh berdasarkan cerita ibunda sendiri.
Ibunda penulis memiliki sebuah
‘ketidakadilan’ yang unik. Setiap di keluarga kami tersedia makanan favorit
penulis (tanpa menyebut apa itu)—baik dari beli atau oleh-oleh dari kerabat
tertentu—ibunda penulis kerap kali melebih-lebihkan jatah penulis, bahkan
secara terang-terangan. Kadang penulis menolak semua itu, namun tetap saja
jatah makanan itu seolah telah tercatat nama penulis di atasnya. Wah!
Sebaliknya, kondisi di mana
ibunda penulis memprioritaskan saudara penulis yang lain dengan alasan dan
pertimbangan serupa, tentu juga pernah terjadi. Dengan sedikit pemakluman,
saling pengertian, dan saling mengasihi, ada kalanya ketidakadilan adalah
sebuah wujud kasih dari seorang ibu.
Penutup
Katakanlah ibu kerap disebut
malaikat hidup, namun realitanya ibu juga hanya manusia. Jadi, ketika seorang
ibu bersikap tidak adil, sebagai anak kita semua perlu mengagendakan untuk merenungkannya,
mengapa dan apa sebabnya.
Kasihilah beliau dengan segala
ketidakadilannya yang perlu kita pahami makna-makna indah di baliknya. Sekecil
apa pun, setiap manusia memiliki sisi ketidakadilan. Jika kita semua menuntut
memiliki ibu yang adil, maka itulah ibu yang bukan manusia—ibu yang tak akan
pernah ditemukan!
***
akhir April, 2014