Monday, December 22, 2014

Ketika Terkadang Ibu Tidak Adil



Penulis yakin, banyak di antara kita—terlebih yang memiliki banyak saudara—terkadang memiliki problematik atau persepsi yang beranggapan bahwa ibu kita tidak adil. Ya, kendatipun tidak sedikit juga yang senantiasa bersyukur terhadap keberadaan sosok sang ibu, di sini kita tak perlu, atau tak harus menyatakan siapa-siapa yang harus dipersalahkan.
Ketika seorang anak cenderung merasa ibunya pilih kasih, bukan berarti kita harus memvonis kalau anak tersebutlah yang bersalah, tak tahu bersyukur, durhaka, atau sejenisnya. Tidak juga dengan membenarkan kalau sosok si ibu memang tidak baik, menyebalkan, dan patut dikritisi atau diprotes.
Realistis saja. Ketika seorang anak mengalami problematik atau menyimpan persepsi kalau ibunya tidak adil, tentu saja ada alasan tersendirinya, yang bisa jadi hanya si anak bersangkutanlah yang tahu secara pasti. Tetapi, di balik ketidakadilan yang ditunjukkan seorang ibu kepada anak-anaknya, ada kalanya terdapat banyak sebab serta kesalahpahaman. Di sini, tujuan kita tentu bukan terus terperosok semakin dalam pada problematik tersebut. Kita butuh mencari tahu, mencoba memahami apa yang sebenarnya menjadi penyebab sikap seorang ibu yang dianggap tidak adil.
Sebab dan alasan
Tuhan itu adil. Ungkapan demikian pada dasarnya masih kerap menjadi pro-kontra. Tetapi, bila berbicara tentang manusia itu adil, jangan ditanya lagi. Pada dasarnya di dunia ini tak ada manusia yang benar-benar seratus persen adil. Bahkan seorang penegak keadilan, belum tentu sanggup bersikap adil ketika dihadapkan pada posisi sebagai orangtua—ayah atau ibu—untuk anak-anaknya.
Ketidakadilan itu manusiawi, kendatipun sulit diterima. Ketidakadilan seorang ibu juga manusiawi. Coba saja kita renungkan, setiap dari kita terlahir sebagai anak dengan karakteristik, bentuk, serta cerita yang berbeda. Kita tidak seperti sebuah produk yang diproduksi secara massal hanya dengan sebuah cetakan yang sama. Jadi, ketika seorang ibu—yang masih manusia—menilai satu per satu buah hatinya, sang ibu jelas memiliki pendapat tersendiri untuk setiap anaknya.
Ibarat ketika seorang perancang busana mengamati satu per satu busana rancangannya yang memiliki motif dan model berbeda—kendatipun setiap busana itu terlahir dari buah pikirannya—tetap saja si perancang memiliki pendapat tersendiri juga untuk setiap busana itu. Itu pun busana hanya sebuah benda mati. Berbeda dengan anak (manusia), ada yang pintar mengambil hati ibunya, ada yang suka bermanja-manja dengan ibunya, dan ada juga yang justru sebaliknya, selalu meresahkan ibu, atau memancing emosi ibu.
Selain itu, terkadang bisa juga oleh berbagai sebab lain. Sebut saja dari segi usia anak, seorang ibu mungkin berpikir kalau dirinya harus lebih melindungi anaknya yang kecil, atau lebih memprioritaskan anaknya yang berusia sekian-sekian, kemudian tanpa disadari sikap tersebut malah diterjemahkan sebagai ketidakadilan di mata anak yang lain.
Misalkan, dua bersaudara sedang berebutan mainan. Satu berusia sepuluh tahun, dan satunya lagi baru lima tahun. Secara refleks seorang ibu biasanya akan meminta anak berusia sepuluh tahun untuk mengalah kepada adiknya. Lalu contoh kedua, seorang anak berusia delapanbelas tahun diberikan ibu ponsel yang mahal dan canggih, sementara adiknya yang berusia sepuluh tahun hanya mendapatkan ponsel bekas pakai saudaranya itu. Kondisi yang serupa juga bisa saja terjadi pada seorang ibu delapanpuluh tahunan dengan anak-anaknya yang berusia limapuluh atau enampuluh tahunan, meskipun untuk cerita yang berbeda.
Kasih di balik ketidakadilan
Umumnya, di mata seorang ibu, setiap anak selalu dikasihi. Hanya saja, terkadang ibu menunjukkan kasih tersebut pada setiap anaknya dengan cara yang berbeda-beda. Untuk si A kasih yang diberikan adalah dengan cara ini, dan untuk si B kasih yang diberikan adalah dengan cara itu, kemudian lain cara lagi untuk C, D, E. Penulis akan kembali memberi sebuah contoh berdasarkan cerita ibunda sendiri.
Ibunda penulis memiliki sebuah ‘ketidakadilan’ yang unik. Setiap di keluarga kami tersedia makanan favorit penulis (tanpa menyebut apa itu)—baik dari beli atau oleh-oleh dari kerabat tertentu—ibunda penulis kerap kali melebih-lebihkan jatah penulis, bahkan secara terang-terangan. Kadang penulis menolak semua itu, namun tetap saja jatah makanan itu seolah telah tercatat nama penulis di atasnya. Wah!
Sebaliknya, kondisi di mana ibunda penulis memprioritaskan saudara penulis yang lain dengan alasan dan pertimbangan serupa, tentu juga pernah terjadi. Dengan sedikit pemakluman, saling pengertian, dan saling mengasihi, ada kalanya ketidakadilan adalah sebuah wujud kasih dari seorang ibu.
Penutup
Katakanlah ibu kerap disebut malaikat hidup, namun realitanya ibu juga hanya manusia. Jadi, ketika seorang ibu bersikap tidak adil, sebagai anak kita semua perlu mengagendakan untuk merenungkannya, mengapa dan apa sebabnya.
Kasihilah beliau dengan segala ketidakadilannya yang perlu kita pahami makna-makna indah di baliknya. Sekecil apa pun, setiap manusia memiliki sisi ketidakadilan. Jika kita semua menuntut memiliki ibu yang adil, maka itulah ibu yang bukan manusia—ibu yang tak akan pernah ditemukan!
***
akhir April, 2014

No comments:

Post a Comment

Silakan centang "Notify me" agar Anda memeroleh pemberitahuan.