Bab
6
ANGIN berderu
keras. Dalam dimensi gelap itu, Leysa terus berlari dan mencari papanya.
“Papa! Papa!
Di mana kau?!” teriak Leysa. Nafasnya ngos-ngosan. Sekujur tubuhnya bermandikan
peluh.
“Leysa...!
Leysa...!” Sayup-sayup terdengar pula suara Katada memanggil nama putrinya.
“Papa! Di
mana kau?!”
“Aku di
belakangmu...” Tiba-tiba suara itu menjadi terasa dekat.
Leysa pun
berpaling dan menemukan sosok papanya. “Papa! Aku sedari tadi mencarimu...”
Katada
tersenyum. “Selamat tinggal, Leysa...”
“Hah?! Papa
mau ke mana?!”
“Papa telah
dipanggil untuk menjadi korban berikutnya...” Begitu selesai berbicara, Katada
pun menghilang dalam gelap.
“Papa! Papa!
Jangan meninggalkan kamiii...!” Leysa pun terjaga.
Braaak! Pintu
terbuka. “Ada apa Leysa?!”
“Mama! Di
mana Papa?”
“Kau mimpi
buruk...?”
“Di mana
Papa?” Leysa bertanya sekali lagi.
“Papa baru
saja keluar.”
“Papa ke
mana? Sekarang jam berapa?”
“Barusan Papa
menerima telepon dari rekannya, katanya seorang pekerja mereka tiba-tiba
menghilang entah ke mana. Sekarang baru jam setengah dua belas malam. Tidurlah
kembali. Kau baru tertidur sekitar satu jam sedari tadi.”
Leysa menatap
berkeliling. Tunggu dulu, ke mana perginya si wanita berbaju merah, pria tanpa
busana, dan juga si kakek cengeng yang terus-menerus menangis? Mereka tak
terlihat lagi, atau memang sudah menghilang? Tak biasanya mereka tak mengganggu
Leysa. Kalau si cebol memang tak selalu muncul. Tapi biasanya yang lain tak
pernah tak ada. Leysa merasa heran. Entah mengapa, kendati ketiga makhluk itu
tak lagi mengganggunya, namun firasatnya tak begitu enak. Ia merasa telah—atau
akan segera—kehilangan sesuatu.
Tiba-tiba ia
menangkap sesuatu yang bercahaya di genggaman mamanya. Sebuah salib!
“Ma, bukankah
salib itu milik Papa?”
“Oh, ini?”
Linda memandangi salib pada genggamannya. “Tadi sebelum pergi kalung di leher
Papa putus, dan ia menitipkannya kepada Mama. Mama sedang coba memperbaikinya,
dan ternyata bisa. Mumpung hari ini Radhi tertidur pulas, jadi Mama punya
sedikit waktu.”
“Sejak kapan
Papa mengenakan salib? Bukankah biasanya Kakek dan Papa selalu berbangga diri
mengaku mereka manusia tak beragama?”
Linda
tersenyum. “Salib ini ditemukannya saat membersihkan gudang di lantai dasar
pada hari kedua kita datang. Semula terlihat hitam dan kotor. Tapi setelah
dicuci ternyata masih terlihat cantik. Sepertinya papamu hanya mengenakannya
sebagai aksesori.”
“Mungkinkah
berkat salib ini...?” gumam Leysa nyaris tak terdengar.
“Kau bilang
apa?”
Leysa menatap
wajah mamanya. “Ma, kau pernah melihat hantu?”
Linda
tersentak. “Jangan membicarakan itu...”
“Tapi Papa
bilang Mama yang setiap hari membicarakannya?”
Linda
menghela nafas. “Mama tak dapat melihatnya. Tapi Mama selalu merasa tak nyaman
di rumah ini...”
“Bukankah
biasanya kalian tak pernah merasa seperti itu di tempat lain?”
“Ya...”
“Itu karena
di sini jumlah mereka sangat banyak, Ma. Aku melihatnya dengan jelas! Aku
takut...”
“Leysa...
Mama sudah mendengarnya dari Papa tadi sore. Kita tak punya pilihan lain. Papamu
berencana akan mencari sebuah rumah sederhana lain. Semoga saja kita dapat
segera pindah.”
Leysa
tertunduk. Malam ini berbeda.
Makhluk-makhluk itu semua pergi ke mana?
“Leysa...”
Linda menyerahkan salib di tangannya kepada Leysa. “Bawalah ini jika kau takut.
Semoga Tuhan Yesus melindungi putri Mama...” Linda mengecup kening putrinya.
“Tidurlah, Nak...”
Leysa jarang
mendengar mamanya menyebut Tuhan. Namun setahunya, sebelum menikah dengan Papa,
keluarga Mama menganut agama Kristen.
***
Kembali ke Prolog untuk membaca bab lain.