Bab
2
“KITA telah
sampai, Nak!” seru Katada begitu turun dari mobil. Sebuah rumah mewah model
puri tepat berada di hadapannya.
“Pa, ini
tempat tinggal kita?!” tanya Leysa setengah kaget menyadari rumah itu sangat besar.
“Betul! Di
sinilah tempat tinggal kita! Asyik ya?! Udaranya juga sejuk...”
“Asyik memang
asyik, Katada... Tapi sepertinya untuk hari-hari berikutnya aku akan kewalahan
mengurus rumah yang sepuluh kali lipat lebih besar dibanding rumah kita di
Indonesia...,” sambung Linda sembari tersenyum.
“Linda,
tenang saja, Leysa sudah bisa membantumu. Aku dan Randy juga bisa membantumu
sedikit-sedikit, ‘kan? Pria keluarga Takahashi adalah pria mandiri yang pintar
mencuci piring, baju, dan bahkan kamar mandi! Hehehe...,” canda Katada.
“Ah, lihat
saja, putramu masih tertidur di mobil...” Linda menunjuk ke Randy kecil yang
masih tertidur pulas. “Bilangnya pria keluarga Takahashi hebat...”
Katada
tersenyum. “Leysa, bangunkan adikmu. Setelah itu bantu Papa turunkan barang
dari bagasi.”
“Baik, Pa...”
Leysa pun bergegas masuk kembali ke mobil dan memanggil-manggil nama dan mengguncang-guncang
ringan tubuh adiknya.
Sementara
itu, Katada pun bergerak ke belakang mobil, dan membuka pintu bagasi.
Tiba-tiba
seorang nenek tua menghampiri Linda yang sedari tadi sedang sibuk memberi susu
formula kepada putra bungsunya yang masih dalam dekapan. Linda tak berani
menyapa si nenek. Ia hanya tersenyum kepada nenek itu. Ia tak yakin mereka
dapat berkomunikasi dengan lancar.
“Halo... Orang
baru?” tanya nenek dengan bahasa Jepang.
Linda cukup
kaget mendapati si nenek dapat berbahasa Jepang. Meskipun Linda sendiri tak
begitu memahami bahasa Jepang, namun ia yakin benar, bahasa yang digunakan si
nenek adalah bahasa yang sama seperti yang digunakan sang suami saat berbicara
dengan mertuanya lewat telepon. Linda coba mengamati si nenek. Ubannya terlihat
sedikit berwarna pirang. Ah, mana mungkin si nenek orang Jepang.
Menyadari
Linda tak memahami apa yang dikatakannya, si nenek pun bergumam sesuatu.
“Katada! Katada!”
Linda memanggil Katada untuk menerjemahkan apa yang dikatakan si nenek. “Coba
ke sini sebentar. Nenek ini mengajakku berbicara dengan bahasa Jepang.”
Katada bergegas
menyapa si nenek dengan senyum ramah khas orang Jepang.
“Oh, ternyata
kalian memang orang Jepang? Jadi aku tak salah lihat?”
Katada kembali
tersenyum. Ia mendapati bahasa Jepang si nenek berantakan. Namun, sudah sangat
jelas untuk membuatnya paham apa yang sedang dikatakan. ”Salam kenal, Nek. Kami
orang baru di sini. Aku keturunan Jepang yang sudah lama tinggal di Indonesia.
Istriku orang Indonesia. Dan kami datang dari Indonesia. Mohon arahan nenek...”
Katada membungkukkan punggung sesaat. Belasan tahun tinggal di Indonesia tak
membuatnya melupakan gaya hidup sebagai orang Jepang.
“Oh, pantas
saja mata anak-anakmu terlihat bulat dan besar. Ternyata istrimu orang Indonesia...”
Ah, bisa saja
nenek ini... Istri Katada keturunan Tionghoa yang selalu dibilang bermata sipit
di Indonesia, masak anakku bisa bermata bulat dan besar? Nenek mungkin mengira
semua orang Indonesia bermata besar.
“Kalian tinggal
di mana?”
“Sini...”
Katada menunjuk ke rumah mewah yang akan segera mereka huni.
“Hah?!” nenek
terkejut. “Puri ini?!”
“Betul… Ada
apa, nek?”
Si nenek
tersentak dan tampak ragu, baru kemudian menjawab, “Oh, tidak, tidak...”
“Hmm..., aku
beres-beres dulu ya?!” Katada menunjuk ke bagasi mobil. Leysa sedari tadi sudah
berada di sana dan menurunkan beberapa barang dibantu oleh Randy yang masih
terlihat mengantuk.
“Ya, silakan
lanjutkan kesibukan kalian... Kalau ada perlu, silakan datang ke rumahku di
sana. Cari saja aku—Nenek Dorey.” Nenek menunjuk ke arah sebuah rumah sederhana
yang berada di daratan sedikit lebih tinggi di dekat sana.
“Di mana,
nek?” Katada menyipitkan mata. Ia dapat melihat sebidang padang rumput yang
berwarna hijau cerah. “Oh, itu? Ya, ya... Terima kasih...”