Oleh: Lea Willsen
Bab
1
OLEH tuntutan
karier atau pekerjaan, terkadang seseorang mungkin harus mengikhlaskan diri
mengikuti pergerakan gelombang kehidupan. Serupa perahu tanpa pengayuh, kita
hanya berhak memilih mau menaikinya untuk coba menggapai harapan baru, atau tak
mau menaikinya dan hanya terus berdiam diri pada pulau terpencil, menanti
kedatangan kesempatan lain yang tidak pasti.
Hal serupa
juga dialami oleh papa Leysa, Takahashi Katada, seorang alumni mawasiswa jurusan
pertanian yang sudah menetap sebagai warga negara Indonesia sejak tujuh belas
tahun silam, serta memperistri Linda Lin, seorang perempuan keturunan Tionghoa
Indonesia, dan dikaruniai tiga anak, Takahashi Leysa, Takahashi Randy, dan
Takahashi Radhi, yang baru berusia empat belas bulan.
Atasan tempat
Katada bekerja di sebuah perusahaan anggur menugaskannya pindah ke Belanda
untuk menjadi mandor yang mengawasi sebuah proyek perkebunan anggur yang
bekerja sama dengan sebuah perusahaan besar Jepang.
Awalnya Katada
tak mau. Namun karena atasan sangat mengharapkan kesediaannya—dan juga karena
hanya Katada yang fasih berbicara dalam bahasa Jepang—akhirnya Katada pun
menyanggupi hal itu. Bersama sang istri dan ketiga anaknya, Katada pun pindah
ke Belanda untuk menetap di sana selama dua tahun.
Di sana,
perusahaan telah menyiapkan sebuah rumah mewah dekat perkebunan anggur untuk
Katada sekeluarga. Selain itu, perusahaan juga memberi fasilitas kendaraan, dan
juga menanggung biaya pendidikan anak-anak Katada di sana. Rasanya Katada
memang sulit beralasan untuk menolak permintaan atasannya. Namun, bagaimana pun
juga, Katada sangat berat hati meninggalkan Indonesia. Kendati Indonesia bukan
sebuah negara yang memiliki perkembangan teknologi semaju Amerika atau Jepang
negara asalnya, namun Indonesia merupakan sebuah negara beriklim tropis yang
dapat subur ditumbuhi berbagai jenis tanaman indah. Dan karena itu jugalah,
sebagai seorang pencinta alam, Katada memutuskan untuk menetap di Indonesia.
***
APAKAH di sini juga ada mereka?
Sudah sering,
Leysa mendapatkan pertanyaan demikian, baik dari keluarga, sahabat atau teman,
bahkan guru-guru di sekolah yang merasa penasaran dengan kemampuan aneh yang
dimiliki Leysa. Ya, sejak kecil, Leysa memiliki kemampuan untuk melihat makhluk
halus. Di zaman modern, mungkin orang-orang akan menyebut kemampuan aneh itu sebagai
indra keenam yang hanya dimiliki oleh anak indigo. Namun, saat berusia tujuh
tahun, Leysa pernah dibawa ke Jepang untuk dipertemukan dengan seorang peramal
sakti yang kemudian menjelaskan kepada Katada bahwa kemampuan aneh itu disebut
‘shinigami’s eye’ atau mata malaikat
pencabut nyawa.
Peramal sakti
tak menjelaskan sebab mengapa Laysa memiliki shinigami’s eye. Namun ia mengatakan bahwa seiring waktu dan usia
yang terus bertambah, akan semakin banyak hal-hal menyeramkan yang dapat
terlihat oleh Leysa. Bahkan, mungkin juga Leysa akan memiliki kemampuan untuk
mengetahui atau menyaksikan kematian seseorang, sebelum hari itu benar-benar
tiba.
Perlahan, apa
yang dikatakan oleh peramal sakti pun semakin nyata dirasakan oleh Leysa. Hal
itu disadari Leysa saat pertama kali menginjakkan kaki di kelas SMP. Ia merasa
di sekitarnya sangat ramai disesaki orang-orang yang sedang sibuk berbicara
dalam sebuah rapat. Padahal, saat itu masih pagi, dan di kelas hanya ada ia dan
ketiga temannya.
Memang, dapat
melihat makhluk halus bukan lagi sebuah hal baru bagi Laysa. Akan tetapi,
terkadang ia juga dapat merasakan takut...
***
Kembali ke Prolog untuk membaca bab lain
Telah dimuat di Harian Analisa
foto: Toni Burhan