Oleh: Liven R
AKHIR-akhir ini, fenomena berobat ke luar negeri semakin sering kita dengar.
Hal ini terjadi tentu bukan dikarenakan kurangnya tenaga medis di negara kita.
Banyaknya lulusan kedokteran dan semakin menjamurnya rumah sakit di kota-kota
besar dewasa ini, justru memunculkan pertanyaan: mengapa dan apa sebab sebagian
besar masyarakat kita rela bepergian jauh ke negara tetangga untuk suatu
pengobatan daripada memercayai kedokteran di negara sendiri?
Membahas
hal tersebut, tulisan ini pun dibuat berdasarkan serangkaian fakta yang dialami
penulis terhadap dunia kedokteran Indonesia yang belakangan semakin
dipertanyakan kredibilitasnya.
Beberapa
tahun yang lalu, karena adanya masalah pada syaraf motoriknya, salah seorang
saudara penulis pun dibawa ke Jakarta untuk mendapatkan terapi medis secara
berkala. Saat itu, karena adanya suatu halangan, dokter tua yang biasanya menangani
saudara penulis pun berangkat ke luar kota dan mewakilkan kepada putrinya—yang
baru tamat kedokteran—untuk memberikan terapi dan suntikan seperti biasanya.
Karena
suatu kondisi yang tak kami ketahui, dokter muda tersebut memberikan suntikan dengan
dosis yang lain/berlebih di lengan kiri saudara penulis. Selang dua puluh
menit, saudara penulis pun mengalami sesak nafas, keringat dingin membanjiri
seluruh tubuh, dan tangan kirinya yang semula normal pun menjadi lemas dan tak
dapat diangkat. Dapat dipastikan telah terjadi malpraktik dalam hal ini. Kekeliruan
dan kecerobohan dokter tua yang mewakilkan tugasnya kepada putrinya dan
(mungkin) pendidikan kedokteran yang masih kurang dalam diri dokter muda
tersebut kemudian menyebabkan kelumpuhan seumur hidup pada tangan kiri saudara
penulis.
Sebuah
cerita lain terjadi dua tahun yang lalu. Karena merasakan kondisi fisik yang
sering lelah dan tangan mengalami kebas, Mama penulis memeriksakan kondisinya
kepada seorang dokter di Medan. Oleh sang dokter, Mama didiagnosis mengalami
pembekakan pada kelenjar gondok dan dianjurkan untuk mengonsumsi obat gondok
selama kurang lebih dua tahun.
Setelah
beberapa bulan belum adanya perubahan, Mama akhirnya berangkat dan berobat ke
Penang, Malaysia. Oleh dokter Penang, Mama didiagnosis hanya mengalami anemia (kurang
darah), dan dianjurkan untuk mengonsumsi obat penambah darah saja. Dan, hanya
berselang beberapa minggu gejala sakit yang dirasakan pun berkurang dan
kemudian hilang sama sekali.
Dalam
kasus ini, dokter di Medan tersebut telah memberikan diagnosis yang salah dan
diikuti pula dengan anjuran meminum obat yang tak seharusnya. Dapat dibayangkan
apa yang bakal terjadi jika anjuran tersebut dilakukan hingga dua tahun
lamanya. Tubuh yang sehat pun dapat menjadi berpenyakit baru!
Lain
pula kasus yang terjadi pada kakak penulis. Beberapa waktu yang lalu, kakak
penulis mengalami sakit yang luar biasa pada masa pra menstruasinya. Hal yang
sudah berlangsung selama dua tahun belakangan pun kerap dikonsultasikan kepada
salah seorang dokter ahli kandungan terkemuka di Kota Medan. Oleh sang dokter,
dikatakan tidak ada masalah pada rahim maupun saluran ovariumnya. Segalanya
sehat! Kakak penulis hanya diminta untuk mengonsumsi berbagai obat kesuburan
dan diminta kembali untuk pemeriksaan jika gejala sakit tidak berkurang.
Bolak-balik
ke dokter beberapa kali dalam sebulan selama hampir dua tahun boleh dikatakan
sama sekali tidak menunjukkan hasil. Biaya konsultasi dalam hal ini tentu sudah
habis tak sedikit.
Ketika
berkesempatan berkunjung ke Penang baru-baru ini, kakak penulis pun
menyempatkan untuk memeriksakan keluhannya selama ini. Dan, hasilnya sungguh
mencengangkan! Dokter Penang menunjukkan dan menjelaskan telah betapa parah
keadaan ovariumnya; di mana terdapat tumpukan ovum (lebih dari dua puluh buah)
yang telah menyumbat selama dua tahun ini. Apabila hal tersebut dibiarkan tanpa
penanganan, tentu akan berkembang menjadi keadaan yang tak diinginkan. Maka, operasi
pun dianjurkan untuk menghilangkan ovum yang menumpuk tersebut.
Tidak
diperlukan pertemuan berkelanjutan dengan dokter di Penang. Hanya butuh dua
hari dan dua kali pertemuan (pemeriksaan dan pengoperasian), masalah pun
terselesaikan. Bukan hanya itu, ketika menyadari adanya hal lain yang tak
lazim, seperti adanya perlengketan antar usus, dokter tersebut pun membantu
melakukan pemisahan sekaligus saat operasi itu juga, tanpa dipungut biaya
tambahan.
Lebih
dari itu, untuk menunjukkan kredibilitas dokter dan rumah sakitnya, segala
proses di meja operasi (yang memperlihatkan bagian-bagian dalam tubuh mana saja
yang dikenai tindakan medis) dari awal hingga akhir pun direkam dalam sebuah
DVD dan diberikan kepada pasien pasca operasi.
Yang
menjadi pertanyaan, mengapa keadaan yang telah demikian buruk dapat dikatakan
sebagai ‘sehat’ oleh dokter Medan? Dalam hal ini, kesalahan diagnosis terjadi
karena kurangnya keahlian dokter ataukah disebabkan tidak memadainya peralatan
kedokteran yang digunakan? Apa pun jawabannya, nyawa manusia adalah taruhannya!
Jika
dirunut dari segi waktu, dari kejadian pertama hingga yang terjadi belakangan,
menunjukkan bahwa dari masa ke masa, agaknya dunia kedokteran Indonesia belum
mengalami perkembangan yang berarti. Diagnosis yang salah dan pengobatan yang
keliru, sepertinya bukan hal yang langka lagi terjadi di negeri kita.
Ironinya,
masyarakat yang sakit umumnya percaya begitu saja dengan segala diagnosis
dokter dan memercayai segala pengobatan yang diberikan, sebab dalam perspektif
kita, selalu percaya bahwa mereka (para dokter) adalah orang-orang yang ahli
dalam bidang anatomi tubuh manusia dan segala penyakitnya. Namun, adakah para
dokter kita telah bersungguh-sungguh menjalankan amanahnya untuk menyembuhkan
daripada sekadar menumpuk harta memenuhi pundi-pundi uangnya? Pendapat ini
tentu tak mewakili semua dokter yang ada. Namun, pendapat ini juga bukan tanpa
dasar.
Jika
Anda pernah mengalami sakit dan harus menjalani opname dan rontgen di rumah
sakit, Anda pasti tahu berapa kali suster akan datang dan terus-terusan
menanyakan ‘sudah menyiapkan uang?’ tak peduli Anda pucat menahan sakit dan
sudah tak mampu bersuara. Ya, itulah wajah kedokteran dan rumah sakit di Indonesia
kebanyakan.
Beberapa
fakta di atas mungkin cukup sebagai jawaban dan alasan kuat mengapa masyarakat
Indonesia, Medan khususnya, berbondong-bondong berangkat ke Singapura dan
Malaysia ketika mendapatkan dirinya sakit. Ya, sebab kedokteran Indonesia lebih
sering hanya mendiagnosis tanpa menyembuhkan hingga ke akar penyakit, dan hal
itu pun kerap mengalami kekeliruan hingga berpotensi menimbulkan penyakit lain.
Untuk
masyarakat yang sakit, hendaklah jeli membaca kondisi fisik diri sendiri. Jika
pengobatan yang diberikan ternyata tak membawa kebaikan setelah sekian waktu,
jangan menunggu hingga kondisi semakin parah. Waspadai dan konsultasikanlah
segera kepada dokter lain.
Bercermin
pada kemajuan kedokteran luar negeri, agaknya dunia kedokteran Indonesia perlu
berbenah diri baik dalam hal keahlian, peralatan, hingga kode etik kedokteran.
Sebab, nyawa manusia bukanlah sebuah permainan maupun percobaan.
Diharapkan
ke depannya, dunia kedokteran Indonesia mampu memberi tak hanya solusi yang
memuaskan namun juga rasa aman dan nyaman bagi masyarakat yang sakit. Semoga!***
Penulis
adalah tenaga pendidik, berdomisili di Medan
Diterbitkan
Harian Analisa, 18 Juli 2012