Sunday, January 6, 2013

Mempertanyakan Kredibilitas Kedokteran Indonesia



Oleh: Liven R
AKHIR-akhir ini, fenomena berobat ke luar negeri semakin sering kita dengar. Hal ini terjadi tentu bukan dikarenakan kurangnya tenaga medis di negara kita. Banyaknya lulusan kedokteran dan semakin menjamurnya rumah sakit di kota-kota besar dewasa ini, justru memunculkan pertanyaan: mengapa dan apa sebab sebagian besar masyarakat kita rela bepergian jauh ke negara tetangga untuk suatu pengobatan daripada memercayai kedokteran di negara sendiri?
Membahas hal tersebut, tulisan ini pun dibuat berdasarkan serangkaian fakta yang dialami penulis terhadap dunia kedokteran Indonesia yang belakangan semakin dipertanyakan kredibilitasnya.
Beberapa tahun yang lalu, karena adanya masalah pada syaraf motoriknya, salah seorang saudara penulis pun dibawa ke Jakarta untuk mendapatkan terapi medis secara berkala. Saat itu, karena adanya suatu halangan, dokter tua yang biasanya menangani saudara penulis pun berangkat ke luar kota dan mewakilkan kepada putrinya—yang baru tamat kedokteran—untuk memberikan terapi dan suntikan seperti biasanya.
Karena suatu kondisi yang tak kami ketahui, dokter muda tersebut memberikan suntikan dengan dosis yang lain/berlebih di lengan kiri saudara penulis. Selang dua puluh menit, saudara penulis pun mengalami sesak nafas, keringat dingin membanjiri seluruh tubuh, dan tangan kirinya yang semula normal pun menjadi lemas dan tak dapat diangkat. Dapat dipastikan telah terjadi malpraktik dalam hal ini. Kekeliruan dan kecerobohan dokter tua yang mewakilkan tugasnya kepada putrinya dan (mungkin) pendidikan kedokteran yang masih kurang dalam diri dokter muda tersebut kemudian menyebabkan kelumpuhan seumur hidup pada tangan kiri saudara penulis.
Sebuah cerita lain terjadi dua tahun yang lalu. Karena merasakan kondisi fisik yang sering lelah dan tangan mengalami kebas, Mama penulis memeriksakan kondisinya kepada seorang dokter di Medan. Oleh sang dokter, Mama didiagnosis mengalami pembekakan pada kelenjar gondok dan dianjurkan untuk mengonsumsi obat gondok selama kurang lebih dua tahun.
Setelah beberapa bulan belum adanya perubahan, Mama akhirnya berangkat dan berobat ke Penang, Malaysia. Oleh dokter Penang, Mama didiagnosis hanya mengalami anemia (kurang darah), dan dianjurkan untuk mengonsumsi obat penambah darah saja. Dan, hanya berselang beberapa minggu gejala sakit yang dirasakan pun berkurang dan kemudian hilang sama sekali.
Dalam kasus ini, dokter di Medan tersebut telah memberikan diagnosis yang salah dan diikuti pula dengan anjuran meminum obat yang tak seharusnya. Dapat dibayangkan apa yang bakal terjadi jika anjuran tersebut dilakukan hingga dua tahun lamanya. Tubuh yang sehat pun dapat menjadi berpenyakit baru!
Lain pula kasus yang terjadi pada kakak penulis. Beberapa waktu yang lalu, kakak penulis mengalami sakit yang luar biasa pada masa pra menstruasinya. Hal yang sudah berlangsung selama dua tahun belakangan pun kerap dikonsultasikan kepada salah seorang dokter ahli kandungan terkemuka di Kota Medan. Oleh sang dokter, dikatakan tidak ada masalah pada rahim maupun saluran ovariumnya. Segalanya sehat! Kakak penulis hanya diminta untuk mengonsumsi berbagai obat kesuburan dan diminta kembali untuk pemeriksaan jika gejala sakit tidak berkurang.
Bolak-balik ke dokter beberapa kali dalam sebulan selama hampir dua tahun boleh dikatakan sama sekali tidak menunjukkan hasil. Biaya konsultasi dalam hal ini tentu sudah habis tak sedikit.
Ketika berkesempatan berkunjung ke Penang baru-baru ini, kakak penulis pun menyempatkan untuk memeriksakan keluhannya selama ini. Dan, hasilnya sungguh mencengangkan! Dokter Penang menunjukkan dan menjelaskan telah betapa parah keadaan ovariumnya; di mana terdapat tumpukan ovum (lebih dari dua puluh buah) yang telah menyumbat selama dua tahun ini. Apabila hal tersebut dibiarkan tanpa penanganan, tentu akan berkembang menjadi keadaan yang tak diinginkan. Maka, operasi pun dianjurkan untuk menghilangkan ovum yang menumpuk tersebut.
Tidak diperlukan pertemuan berkelanjutan dengan dokter di Penang. Hanya butuh dua hari dan dua kali pertemuan (pemeriksaan dan pengoperasian), masalah pun terselesaikan. Bukan hanya itu, ketika menyadari adanya hal lain yang tak lazim, seperti adanya perlengketan antar usus, dokter tersebut pun membantu melakukan pemisahan sekaligus saat operasi itu juga, tanpa dipungut biaya tambahan.
Lebih dari itu, untuk menunjukkan kredibilitas dokter dan rumah sakitnya, segala proses di meja operasi (yang memperlihatkan bagian-bagian dalam tubuh mana saja yang dikenai tindakan medis) dari awal hingga akhir pun direkam dalam sebuah DVD dan diberikan kepada pasien pasca operasi.
Yang menjadi pertanyaan, mengapa keadaan yang telah demikian buruk dapat dikatakan sebagai ‘sehat’ oleh dokter Medan? Dalam hal ini, kesalahan diagnosis terjadi karena kurangnya keahlian dokter ataukah disebabkan tidak memadainya peralatan kedokteran yang digunakan? Apa pun jawabannya, nyawa manusia adalah taruhannya!
Jika dirunut dari segi waktu, dari kejadian pertama hingga yang terjadi belakangan, menunjukkan bahwa dari masa ke masa, agaknya dunia kedokteran Indonesia belum mengalami perkembangan yang berarti. Diagnosis yang salah dan pengobatan yang keliru, sepertinya bukan hal yang langka lagi terjadi di negeri kita.
Ironinya, masyarakat yang sakit umumnya percaya begitu saja dengan segala diagnosis dokter dan memercayai segala pengobatan yang diberikan, sebab dalam perspektif kita, selalu percaya bahwa mereka (para dokter) adalah orang-orang yang ahli dalam bidang anatomi tubuh manusia dan segala penyakitnya. Namun, adakah para dokter kita telah bersungguh-sungguh menjalankan amanahnya untuk menyembuhkan daripada sekadar menumpuk harta memenuhi pundi-pundi uangnya? Pendapat ini tentu tak mewakili semua dokter yang ada. Namun, pendapat ini juga bukan tanpa dasar.
Jika Anda pernah mengalami sakit dan harus menjalani opname dan rontgen di rumah sakit, Anda pasti tahu berapa kali suster akan datang dan terus-terusan menanyakan ‘sudah menyiapkan uang?’ tak peduli Anda pucat menahan sakit dan sudah tak mampu bersuara. Ya, itulah wajah kedokteran dan rumah sakit di Indonesia kebanyakan.
Beberapa fakta di atas mungkin cukup sebagai jawaban dan alasan kuat mengapa masyarakat Indonesia, Medan khususnya, berbondong-bondong berangkat ke Singapura dan Malaysia ketika mendapatkan dirinya sakit. Ya, sebab kedokteran Indonesia lebih sering hanya mendiagnosis tanpa menyembuhkan hingga ke akar penyakit, dan hal itu pun kerap mengalami kekeliruan hingga berpotensi menimbulkan penyakit lain.
Untuk masyarakat yang sakit, hendaklah jeli membaca kondisi fisik diri sendiri. Jika pengobatan yang diberikan ternyata tak membawa kebaikan setelah sekian waktu, jangan menunggu hingga kondisi semakin parah. Waspadai dan konsultasikanlah segera kepada dokter lain.
Bercermin pada kemajuan kedokteran luar negeri, agaknya dunia kedokteran Indonesia perlu berbenah diri baik dalam hal keahlian, peralatan, hingga kode etik kedokteran. Sebab, nyawa manusia bukanlah sebuah permainan maupun percobaan.
Diharapkan ke depannya, dunia kedokteran Indonesia mampu memberi tak hanya solusi yang memuaskan namun juga rasa aman dan nyaman bagi masyarakat yang sakit. Semoga!***
Penulis adalah tenaga pendidik, berdomisili di Medan
Diterbitkan Harian Analisa, 18 Juli 2012

No comments:

Post a Comment

Silakan centang "Notify me" agar Anda memeroleh pemberitahuan.