Oleh:
Liven R
Harta yang paling berharga
adalah keluarga
Istana yang paling indah
adalah keluarga
Puisi yang paling bermakna
adalah keluarga
Mutiara tiada tara adalah
keluarga…
LIRIK lagu di atas pasti tak asing lagi bagi Anda yang pernah menggemari
sinetron Keluarga Cemara yang pernah populer di tahun ’90-an dan ditayangkan
oleh stasiun televisi RCTI.
Film yang
diangkat dari novel karya Arswendo Atmowiloto tersebut agaknya cukup membekas
di hati penggemarnya (bahkan hingga hari ini) karena telah mengusung tema
tentang kehidupan sebuah keluarga—keluarga Cemara—yang amat sederhana (dengan
Abah seorang penarik beca) namun selalu hidup sesuai norma, saling menyayangi,
rukun, dan bahagia.
Keluarga. Ya,
siapa yang tak mengenal arti kata ‘keluarga’? Sebuah komunitas kecil yang
terdiri dari orangtua dan anak-anak, itulah arti keluarga secara sederhana.
Namun sesungguhnya, sebuah perkumpulan kecil yang terdiri dari orang-orang yang
(seharusnya) saling menyayangi, mendukung dalam kebaikan, membimbing, menjaga,
dan menghormati satu sama lainnya, itulah arti keluarga sesungguhnya.
Menjadi hal yang
ironi ketika orang-orang bercerita mereka memiliki keluarga, namun dalam
ceritanya, mereka justru tak mengenal arti keluarga yang sesungguhnya. Terhadap
orang-orang yang mereka sebut keluarga, terdapat begitu banyak perselisihan,
pertengkaran, amarah, bahkan sebagian telah berakhir dengan ‘putus hubungan keluarga’.
Mengapa hal tersebut dapat terjadi? Apa saja
pemicu retaknya hubungan kekeluargaan hingga menimbulkan konflik
berkepanjangan? Dan, sulitkah mengupayakan kehidupan keluarga yang harmonis?
Kepedulian
Dalam hidup, tak
terelakkan masalah terkadang menghampiri kita, baik tentang pekerjaan,
kesehatan, keuangan, dan sebagainya. Ketika menemui masalah, apa pun itu, izinkanlah
keluarga sebagai pihak pertama yang mengetahuinya. Biasakanlah untuk berbagi
cerita apa saja kepada keluarga. Dengan demikian, kedekatan antar-anggota
keluarga akan selalu terbina.
Sejak dulu, bukan
cerita yang asing lagi jika kita mendengar seseorang mengakui bagaimana dia
begitu membenci saudaranya sendiri sebagai akibat dari perebutan harta warisan,
kekayaan, maupun jabatan.
Jika Anda
berkesempatan mengenal kedua belah pihak bersengketa, maka Anda akan mendengar
bahwa di antara mereka sama-sama merasa benar/berhak dan saling menyalahkan.
Masalahnya, tak seorang pun yang mau mengakui bahwa sesungguhnya mereka
sama-sama sudah merasa ‘payah’ menghadapi ‘perang’ tersebut. Menyedihkan bukan?
Profesional
muda, kebajikan dan kehangatan hubungan persaudaraan adalah hal-hal yang tak
ternilai dengan uang. Jika Anda diberi rejeki berlebih, bersyukurlah. Dalam
persaudaraan, yang berlebih membantu yang kekurangan adalah hal yang sudah
semestinya. Sebab, banyak fakta menunjukkan, memberi tidak akan memiskinkan.
Memberi akan memperkaya kegembiraan dan kehangatan batin. Dan, bukankah ketika
kita sama-sama meninggalkan dunia ini, harta dan kekuasaan tak ikut dibawa?
Lantas pantaskah harta dan kekuasaan menjadikan hubungan kekeluargaan renggang?
Kejujuran
dan kesetiaan
“Dia tak
pengertian!” Terlalu sering sudah kita mendengar keluhan seperti ini keluar
dari mulut pasangan suami-istri yang sedang bertengkar. Terlalu idealis memang
jika ada pasangan suami-istri yang tak pernah bertengkar, ya? Namun, alih-alih
selalu menuntut untuk dimengerti, sudahkah Anda menjadi seorang yang penuh
pengertian untuk pasangan Anda?
Sebuah riwayat
pernikahan seseorang pernah berkisah; ketika menikah, suami-istri tersebut
adalah pasangan yang belum memiliki apa-apa. Bersama, mereka berjuang membuka
usaha dari nol hingga mampu membeli rumah mewah dan memiliki segalanya. Namun,
masalah mulai muncul. Sang suami mulai merasa tak cukup hanya memiliki seorang
istri. Sementara sang istri mulai merasa tanpa suaminya, masih banyak lelaki
lain yang bisa membahagiakannya. Pertengkaran demi pertengkaran pun akhirnya
jatuh pada pilihan perceraian. Rumah dan anak-anak kemudian menjadi harta yang
harus dibagi secara hukum.
Mungkin kita tak
pernah mampu mengerti apa sesungguhnya pemicu retaknya hubungan pernikahan
seseorang. Namun, jika berpaling kembali pada usaha dan perjuangan yang pernah
diupayakan bersama, tidakkah sebuah keluarga yang utuh sudah sewajibnya
dipertahankan, apa pun alasannya?
Sekadar berbagi,
ketika penulis berkesempatan mengenal dan mendidik anak dengan latar keluarga
yang memiliki riwayat perceraian orangtuanya, mereka adalah anak-anak yang
‘tidak mudah’. Tekanan psikologi akibat perceraian orangtua, pengasuhan oleh
pihak lain selain orangtua (pasca perceraian orangtua) sering menyebabkan anak
tumbuh dalam karakteristik yang kasar, sulit diatur, pembangkang, krisis
kepercayaan, dan berpotensi menjadi ‘remaja nakal’. Sebuah fenomena yang amat
menyedihkan!
Agaknya gambaran
singkat dari dampak buruk akibat tidak utuhnya sebuah keluarga karena
perceraian, dapat menjadikan kita semua (yang telah menikah) untuk sebisa
mungkin bertanggung jawab terhadap keluarga, mengekang diri dari hal-hal yang
tak semestinya, selalu berpedoman pada rambu-rambu pernikahan, serta selalu jujur
dan setia kepada pasangan.
Jadi, kata
‘pengertian’ hendaklah bukan menjadi sebuah tuntutan yang selalu kita harapkan
dari pasangan, melainkan adalah sebuah usaha. Usaha dari diri kita untuk
pasangan dan keluarga kita.
Saling
membantu, menyayangi, dan menghormati
Profesional
muda, bagaimana cara Anda dan keluarga menyelesaikan pekerjaan di rumah Anda?
Percaya atau
tidak, di keluarga penulis, mencuci piring kerap menimbulkan masalah! Ya. Masalahnya,
kami (penulis bersama kakak dan Mama) selalu berebutan untuk mencuci piring-piring
kotor yang ada. Hehehe….
Siapa pun yang
lebih dahulu mencapai tempat cucian, akan merasa bagaikan pemenang. Tak jarang
banyak canda dan tawa yang mengalir tatkala kami berebutan dengan saling
mengaku sebagai pencuci terbersih untuk ‘merayu’ agar yang lain menyingkir
(baca: dapat beristirahat).
Ini tentunya
bukan tentang hak maupun kewajiban dalam membagi pekerjaan di rumah, namun
lebih kepada adanya sebentuk kasih dan kepedulian yang mampu menghangatkan jiwa
meski hanya sesederhana sebuah pekerjaan mencuci piring saja.
Mungkin
terdengar konyol, tapi jika Anda ingin merasakan betapa indahnya sensasi suatu
kebersamaan, tak ada salahnya Anda mencoba berebut cucian piring, tumpukan baju
untuk dilipat, atau bersama-sama membayar suatu barang yang dibeli (meski bukan
barang kebutuhan sendiri) di rumah Anda mulai hari ini.
Dapat membantu
meringankan beban saudara dan orangtua adalah suatu berkah. Masa-masa
kebersamaan dengan keluarga adalah sesuatu yang tak kekal. Ketika kita masih
diberi-Nya kesempatan bersama, hargailah selalu jodoh kekeluargaan yang ada.
Keegoisan
membarakan amarah dan menghancurkan hubungan kekeluargaan. Pengertian dan kasih
sayang mampu menumbuhkan semangat hidup untuk menghadapi berbagai cobaan dan
kesulitan hidup.
*E-mail: lie.liven@gmail.com
Harian Analisa—TRP, hlm. 20, edisi 30 September 2012