Sunday, September 30, 2012

Keluarga, Mutiara Tiada Tara




Oleh: Liven R
Harta yang paling berharga adalah keluarga
Istana yang paling indah adalah keluarga
Puisi yang paling bermakna adalah keluarga
Mutiara tiada tara adalah keluarga…

LIRIK lagu di atas pasti tak asing lagi bagi Anda yang pernah menggemari sinetron Keluarga Cemara yang pernah populer di tahun ’90-an dan ditayangkan oleh stasiun televisi RCTI.
Film yang diangkat dari novel karya Arswendo Atmowiloto tersebut agaknya cukup membekas di hati penggemarnya (bahkan hingga hari ini) karena telah mengusung tema tentang kehidupan sebuah keluarga—keluarga Cemara—yang amat sederhana (dengan Abah seorang penarik beca) namun selalu hidup sesuai norma, saling menyayangi, rukun, dan bahagia.
Keluarga. Ya, siapa yang tak mengenal arti kata ‘keluarga’? Sebuah komunitas kecil yang terdiri dari orangtua dan anak-anak, itulah arti keluarga secara sederhana. Namun sesungguhnya, sebuah perkumpulan kecil yang terdiri dari orang-orang yang (seharusnya) saling menyayangi, mendukung dalam kebaikan, membimbing, menjaga, dan menghormati satu sama lainnya, itulah arti keluarga sesungguhnya.
Menjadi hal yang ironi ketika orang-orang bercerita mereka memiliki keluarga, namun dalam ceritanya, mereka justru tak mengenal arti keluarga yang sesungguhnya. Terhadap orang-orang yang mereka sebut keluarga, terdapat begitu banyak perselisihan, pertengkaran, amarah, bahkan sebagian telah berakhir dengan ‘putus hubungan keluarga’.
 Mengapa hal tersebut dapat terjadi? Apa saja pemicu retaknya hubungan kekeluargaan hingga menimbulkan konflik berkepanjangan? Dan, sulitkah mengupayakan kehidupan keluarga yang harmonis?
Kepedulian
Dalam hidup, tak terelakkan masalah terkadang menghampiri kita, baik tentang pekerjaan, kesehatan, keuangan, dan sebagainya. Ketika menemui masalah, apa pun itu, izinkanlah keluarga sebagai pihak pertama yang mengetahuinya. Biasakanlah untuk berbagi cerita apa saja kepada keluarga. Dengan demikian, kedekatan antar-anggota keluarga akan selalu terbina.
Sejak dulu, bukan cerita yang asing lagi jika kita mendengar seseorang mengakui bagaimana dia begitu membenci saudaranya sendiri sebagai akibat dari perebutan harta warisan, kekayaan, maupun jabatan.
Jika Anda berkesempatan mengenal kedua belah pihak bersengketa, maka Anda akan mendengar bahwa di antara mereka sama-sama merasa benar/berhak dan saling menyalahkan. Masalahnya, tak seorang pun yang mau mengakui bahwa sesungguhnya mereka sama-sama sudah merasa ‘payah’ menghadapi ‘perang’ tersebut. Menyedihkan bukan?
Profesional muda, kebajikan dan kehangatan hubungan persaudaraan adalah hal-hal yang tak ternilai dengan uang. Jika Anda diberi rejeki berlebih, bersyukurlah. Dalam persaudaraan, yang berlebih membantu yang kekurangan adalah hal yang sudah semestinya. Sebab, banyak fakta menunjukkan, memberi tidak akan memiskinkan. Memberi akan memperkaya kegembiraan dan kehangatan batin. Dan, bukankah ketika kita sama-sama meninggalkan dunia ini, harta dan kekuasaan tak ikut dibawa? Lantas pantaskah harta dan kekuasaan menjadikan hubungan kekeluargaan renggang?
Kejujuran dan kesetiaan
“Dia tak pengertian!” Terlalu sering sudah kita mendengar keluhan seperti ini keluar dari mulut pasangan suami-istri yang sedang bertengkar. Terlalu idealis memang jika ada pasangan suami-istri yang tak pernah bertengkar, ya? Namun, alih-alih selalu menuntut untuk dimengerti, sudahkah Anda menjadi seorang yang penuh pengertian untuk pasangan Anda?
Sebuah riwayat pernikahan seseorang pernah berkisah; ketika menikah, suami-istri tersebut adalah pasangan yang belum memiliki apa-apa. Bersama, mereka berjuang membuka usaha dari nol hingga mampu membeli rumah mewah dan memiliki segalanya. Namun, masalah mulai muncul. Sang suami mulai merasa tak cukup hanya memiliki seorang istri. Sementara sang istri mulai merasa tanpa suaminya, masih banyak lelaki lain yang bisa membahagiakannya. Pertengkaran demi pertengkaran pun akhirnya jatuh pada pilihan perceraian. Rumah dan anak-anak kemudian menjadi harta yang harus dibagi secara hukum.
Mungkin kita tak pernah mampu mengerti apa sesungguhnya pemicu retaknya hubungan pernikahan seseorang. Namun, jika berpaling kembali pada usaha dan perjuangan yang pernah diupayakan bersama, tidakkah sebuah keluarga yang utuh sudah sewajibnya dipertahankan, apa pun alasannya?
Sekadar berbagi, ketika penulis berkesempatan mengenal dan mendidik anak dengan latar keluarga yang memiliki riwayat perceraian orangtuanya, mereka adalah anak-anak yang ‘tidak mudah’. Tekanan psikologi akibat perceraian orangtua, pengasuhan oleh pihak lain selain orangtua (pasca perceraian orangtua) sering menyebabkan anak tumbuh dalam karakteristik yang kasar, sulit diatur, pembangkang, krisis kepercayaan, dan berpotensi menjadi ‘remaja nakal’. Sebuah fenomena yang amat menyedihkan!
Agaknya gambaran singkat dari dampak buruk akibat tidak utuhnya sebuah keluarga karena perceraian, dapat menjadikan kita semua (yang telah menikah) untuk sebisa mungkin bertanggung jawab terhadap keluarga, mengekang diri dari hal-hal yang tak semestinya, selalu berpedoman pada rambu-rambu pernikahan, serta selalu jujur dan setia kepada pasangan.
Jadi, kata ‘pengertian’ hendaklah bukan menjadi sebuah tuntutan yang selalu kita harapkan dari pasangan, melainkan adalah sebuah usaha. Usaha dari diri kita untuk pasangan dan keluarga kita.
Saling membantu, menyayangi, dan menghormati
Profesional muda, bagaimana cara Anda dan keluarga menyelesaikan pekerjaan di rumah Anda?
Percaya atau tidak, di keluarga penulis, mencuci piring kerap menimbulkan masalah! Ya. Masalahnya, kami (penulis bersama kakak dan Mama) selalu berebutan untuk mencuci piring-piring kotor yang ada. Hehehe….
Siapa pun yang lebih dahulu mencapai tempat cucian, akan merasa bagaikan pemenang. Tak jarang banyak canda dan tawa yang mengalir tatkala kami berebutan dengan saling mengaku sebagai pencuci terbersih untuk ‘merayu’ agar yang lain menyingkir (baca: dapat beristirahat).
Ini tentunya bukan tentang hak maupun kewajiban dalam membagi pekerjaan di rumah, namun lebih kepada adanya sebentuk kasih dan kepedulian yang mampu menghangatkan jiwa meski hanya sesederhana sebuah pekerjaan mencuci piring saja.
Mungkin terdengar konyol, tapi jika Anda ingin merasakan betapa indahnya sensasi suatu kebersamaan, tak ada salahnya Anda mencoba berebut cucian piring, tumpukan baju untuk dilipat, atau bersama-sama membayar suatu barang yang dibeli (meski bukan barang kebutuhan sendiri) di rumah Anda mulai hari ini.
Dapat membantu meringankan beban saudara dan orangtua adalah suatu berkah. Masa-masa kebersamaan dengan keluarga adalah sesuatu yang tak kekal. Ketika kita masih diberi-Nya kesempatan bersama, hargailah selalu jodoh kekeluargaan yang ada.
Keegoisan membarakan amarah dan menghancurkan hubungan kekeluargaan. Pengertian dan kasih sayang mampu menumbuhkan semangat hidup untuk menghadapi berbagai cobaan dan kesulitan hidup.

*E-mail: lie.liven@gmail.com
Harian Analisa—TRP, hlm. 20, edisi 30 September 2012


No comments:

Post a Comment

Silakan centang "Notify me" agar Anda memeroleh pemberitahuan.