Oleh:
Liven R
PAHLAWAN/jasamu sungguh besar/dengan tombak dan bambu runcing/kau
korbankan jiwa dan ragamu/membebaskan kami dari penjajahan/mengangkat kami dari
lembah kebodohan/akan kami teruskan cita-citamu/dengan giat belajar/berbakti
kepada orangtua dan bangsa/terima kasih/pahlawan//
Andika memandang puisi bertema kepahlawanan di depannya. Mulutnya tak
henti berkomat-kamit menghafalnya. Tak jauh darinya, Retno, sang kakak, juga
sedang berkonsentrasi menyanyikan not-not
lagu nasional dengan suara pelan.
“Permisi!” Suara teriakan kuat disertai gedoran pintu menyentakkan
mereka berdua. Andika dan Retno serta-merta terdiam dan saling memandang.
Bu
Rahmat tergopoh-gopoh keluar dari dapur. “Siapa?” bisiknya.
Andika dan Retno mengangkat bahu.
“Permisi! Ada orang?!” Kembali terdengar teriakan dari luar. Kali ini
terdengar lebih keras lagi. Pintu kayu yang sudah tua terlihat bergetar digebuk
berkali-kali dari luar. Bu Rahmat memandang iba ke arah pintu tuanya. Jangan
sampai sendi engselnya copot, doanya dalam hati.
Ini
sudah tamu yang ketiga dalam sesorean ini. Aneh sekali! Entah mengapa seminggu
menjelang HUT RI, pemuda-pemuda pengangguran dan pemabukan di kampung ini
menjadi begitu rajin dan bersemangat mengunjungi rumah-rumah penduduk.
Biasanya, jangankan melihat sosok mereka seutuhnya di bawah sinar
matahari, batang hidungnya pun susah ditemukan. Hanya pada malam hari saja,
sering terdengar suara petikan gitar dan nyanyian sumbang mereka disertai tawa
cekikikan di pondok remang-remang tak jauh dari ladang penduduk.
“Ada apa, ya, Nak Panji?”Akhirnya Bu Rahmat menyerah dan membukakan
pintu.
“Ibu Rahmat, dalam rangka menyambut HUT RI minggu depan, kami akan
mengadakan serangkaian acara yang bertajuk Semangat Nasionalisme Kepemudaan di
kampung kita ini. Mohon kesediaan Ibu berpartisipasi, ya?!” Panji, pemuda
berambut gondrong dan berwajah karatan itu menyodorkan sebuah buku kepada Bu
Rahmat.
“Eh…, apa ini? Ibu tak tahu baca-tulis, Nak.” Bu Rahmat menolak dengan
lembut buku itu. “Apa tadi? Ber…, berparit bersih, ya? Maksudmu Hari Merdeka
nanti akan diadakan gotong-royong untuk membersihkan semua parit di kampung
ini, ya?”
Retno yang sejak tadi berdiri di samping ibunya memalingkan wajah
menahan tawa. Bu Rahmat memandangnya dengan kening berkerut.
“Bukan, Bu. Maksud saya, Hari Merdeka nanti kami akan mengadakan acara
kesenian, lomba tarik tambang, lomba lari karung dan panjat pinang. Mohon Ibu
mendukung dengan ikut serta ….”
“Oh, Gusti! Ibu disuruh ikut panjat pinang?
Oaalaaa, Nak Panji, Ibu mana kuat, toh?” potong Bu Rahmat cepat dengan wajah
kagetnya.
“Bukan. Bukan ikut panjat pinang, Bu….”
“Lha, jadi?”
Panji kembali menyodorkan bukunya. “Ini, Bu. Semua tetangga sudah ikut
mendukung dengan memberi ini…” Panji memberi isyarat dengan menggesekkan jempol
dengan jari telunjuknya. “… sukarela, Bu…!”
Bu
Rahmat manggut-manggut dengan mulut yang terbuka membentuk huruf O.
“Jadi, gimana, Bu?” Panji tersenyum memamerkan deretan giginya yang
membuktikan dia adalah salah satu pendukung berdirinya pabrik rokok di
Indonesia.
“Tapi tadi pagi Ibu sudah memberi untuk Nak Sadio dan Nak Mijar. Katanya
untuk Hari Merdeka juga….”
“Oh, tak sama, Bu. Itu untuk menghias panggung. Membeli bendera. Yang
ini lain lagi, Bu….” Sambil berucap, Panji mengedarkan pandangannya ke dalam
rumah Bu Rahmat. Hendak menyelidiki kekayaan Bu Rahmat barangkali.
“Baa…baiklah.” Bu Rahmat berpaling. “Dika, ambilkan dompet Ibu, Nak!”
Dari dompet hijau yang tak pernah gendut perutnya, Bu Rahmat
mengeluarkan sehelai uang lima ribu rupiah dan menyodorkannya kepada Panji.
“Yaaaa…, Ibu! Masa hanya segini? Mana cukup, Bu? Tambahlah sedikit
lagi….”
“Lho, katanya sukarela? Ibu hanya sanggup segini, Nak.”
“Tapi….” Panji tak melanjutkan kata-katanya demi melihat Pak Rahmat
pulang sambil menenteng peralatan kebersihannya dan sebuah sapu lidi panjang di
pundaknya.
“Baiklah. Permisi, Bu.” Akhirnya Panji berpamitan setelah memasukkan
uang pemberian Bu Rahmat ke saku celananya.
***
“BAGAIMANA persiapan untuk lomba membaca puisinya?” tanya Pak Rahmat
sambil menjatuhkan pantatnya di kursi kayu ruang tamu mereka sehabis makan
malam.
“Sudah hafal, Pak. Semoga besok Dika bisa mendeklamasikannya dengan
baik, ya, Pak.” Andika tersenyum.
Pak
Rahmat mengangguk dan mengelus kepala Andika, putra satu-satunya yang kini
duduk di kelas 6 SD.
“Doakan Dika, ya, Pak,” ujar Andika lagi.
“Ya. Bapak pasti akan mendoakan kalian…,” jawab Pak Rahmat sambil
memandang ke arah sebuah piala dan sebuah piagam yang digantung di dinding
papan rumah mereka, di samping tempat sapu lidi besarnya bersandar.
Teringat olehnya prestasi yang diraih putra dan putrinya saat mengikuti
lomba menyanyi dan pembacaan puisi pada HUT RI di sekolah mereka setahun yang
lalu.
“Di
mana kakakmu, Dika?”
“Di
kamar, Pak. Masih latihan untuk lomba menyanyi besok.”
Sebentuk senyum mengembang di wajah Pak Rahmat. “Bapak sungguh bangga
kepada kalian, Nak,” ucapnya.
“Dika juga bangga kepada Bapak,” ucap Andika cepat.
Pak
Rahmat tertawa. “Apa yang bisa kamu banggakan dari seorang tukang sampah dan
tukang sapu jalanan?”
“Banyak! Aku bangga punya bapak seorang pekerja keras. Meski hidup kita
susah, tapi Bapak tak pernah mengeluh ataupun meminta-minta. Lagipula, apa,
sih, salahnya menjadi tukang sampah? Tanpa tukang sampah, semua orang tak bisa
hidup bersih, sehat, dan nyaman, ‘kan? Bapak sungguh hebat!” Andika
mengacungkan jempolnya kepada Pak Rahmat.
“Kamu sungguh pandai menyenangkan hati orangtua!” Pak Rahmat mencubit
lembut pipi putranya.
“Semoga suatu hari nanti, Pak Presiden akan memberi Bapak piala juga…!”
imbuh Andika lagi dengan mata membulat.
***
17
AGUSTUS, acara Hari Kemerdekaan di alun-alun depan kantor Camat belum juga usai
kendati jam sudah menunjukkan pukul 23.45 WIB.
Suara musik yang berdebum dan nyanyian yang melengking terdengar hingga
ke rumah Pak Rahmat. Setiap selesai satu lagu dangdut dinyanyikan, akan
terdengar teriakan ‘MERDEKA!’ dan disambut oleh teriakan ‘MERDEKA!’ lainnya.
Bu
Rahmat duduk di ruang tamu sambil memandang piala dan piagam—satu-satunya
barang terindah yang ada di rumah sederhana mereka—yang baru dimenangkan oleh
Andika dan Retno tadi siang.
“Bu, kok, belum tidur?” sapa Retno tiba-tiba.
“Eh, iya. Begitu berisik bagaimana bisa tidur?”
“Huh! Sama, Bu. Retno juga tak bisa tidur. Mereka sungguh keterlaluan,
ya, Bu?! Masa merayakan Hari Kemerdekaan sampai mengganggu orang tidur?! Apa,
sih, manfaatnya begitu? Besok, kan, kami harus sekolah lagi…,” sungut Retno
dengan wajah masam.
Bu
Rahmat tersenyum simpul. “Yuk, kita pergi tidur,” ujarnya meredakan amarah
putrinya. “Mungkin sebentar lagi acaranya juga selesai,” lanjutnya lagi dengan
sabar.
***
PAGI hari yang cerah.
Andika dan Retno berangkat ke sekolah setelah menyalami Bapak dan
Ibunya. Tak lama, Bu Rahmat pun berangkat seperti biasa untuk menunaikan
tugasnya sebagai tukang cuci pakaian di rumah-rumah tetangganya.
Setelah memastikan pintu rumahnya terkunci dengan baik, Pak Rahmat
menenteng peralatan kebersihannya menuju ke kantor Camat untuk mengambil
gerobak sampahnya yang terparkir dengan manis di sana setiap hari.
“Oh, Gusti Allah…!” Pak Rahmat tercengang saat melewati alun-alun tempat
diadakannya acara HUT RI semalaman kemarin. Bangku-bangku terlihat berantakan.
Ada yang terbalik di tanah, dan sebagian lagi terbalik di atas meja. Sampah
kaleng bir dan plastik bekas makanan berserakan di atas rerumputan seluas mata
memandang.
Setelah menarik nafas panjang, Pak Rahmat menggeleng dan berjalan
mendekati sampah-sampah yang berserak itu. Satu-satu kaleng bekas dipungut dan
sampah plastik disapunya dengan sapu lidi panjang yang ditentengnya dari rumah
tadi. Tak jauh di sana seorang pemuda sedang tertidur menelungkup di atas meja.
Pak
Rahmat mendekatinya perlahan. Tersenyum saat mengenalinya.
“Nak Sadio…! Nakkk…,” diguncangnya bahu pemuda itu pelan. “Sudah pagi,
Nak,” panggilnya lagi.
“Ugh!” Sadio mengangkat wajahnya yang merah dan terlihat berantakan.
Memicingkan matanya menatap Pak Rahmat. “MERDEKAAA!” serunya mendadak.
“CILAKAK! Eh, Merr…merdeka…!” Pak Rahmat latah dan terkaget hingga
mundur selangkah.
Sadio bangkit dengan limbung. Belum sempat melangkah, badannya kembali
ambruk terduduk dan wajahnya kembali mencium permukaan meja. Entah berapa liter
bir telah memenuhi lambungnya semalam.
Gagal membangunkan Sadio, Pak Rahmat kembali kepada tugasnya menata
kursi-meja yang berserakan, memungut dan menyapu setiap inci alun-alun tersebut
hingga bersih.
“Nak. Merdeka, Nak…! Kita sudah merdeka. Jangan mau dijajah kemalasan
hingga menyebabkan kemiskinan dan keterbelakangan, Nak…,” bisik Pak Rahmat
sambil memandang sekali lagi ke arah Sadio—yang masih terlihat mendengkur dan
sesekali menghapus air liurnya—sebelum kemudian menarik gerobak sampahnya
sekuat tenaga menuju ke tugas mulianya.
***
Medan, awal
Agustus 2012
*E-mail:
lie.liven@gmail.com
*Blog: myartdimension.blogspot.com
(Diterbitkan Harian Analisa,
Taman Remaja Pelajar, 26 Agustus 2012)
Gambar: int
Gambar: int