Segmen awal dari konser itu amat meriah dan menyentuh emosi, diiringi alunan-alunan musik yang dimainkan dengan indah. Tidak hanya si penyanyi yang terlihat bersemangat untuk menghibur para fansnya, tetapi para pemain band juga terlihat bekerja sama dengan baik. Sepasang tangan mereka amat bertenaga dalam mengerjakan tugas mereka masing-masing. Dan, setiap sebuah lagu berakhir, para penonton pun bertepuk tangan dengan keras. Kalau saja saya juga di sana--duduk di bangku penonton--sudah pasti saya juga turut bertepuk tangan. Tetapi..., ternyata saya sekadar menonton konser itu dari situs sejenis Youtube. Gratis!
Kemudian, jelang segmen pertengahan hingga akhir dari konser itu, pertunjukan itu diwarnai dengan airmata. Untuk beberapa lagu yang disuguhkan, terdengar dengan jelas, beberapa kali si penyanyi kesulitan mengatur nafas untuk menghasilkan nada yang semestinya. Konsentrasinya sempat buyar, meskipun pada akhirnya--syukur--dapat teratasi dengan baik. Apa sebabnya?
Ternyata, konser itu sekaligus menjadi hari bagi penyanyi itu untuk mengumumkan bahwa selepas konser itu ia tak akan menetap di kota Tokyo lagi, dan akan pulang kembali ke negara asalnya, China. Padahal, Tokyo jelas adalah kota yang penuh kenangan selama kurun waktu tiga tahun terakhir, di mana sedari awal penyanyi itu merintis karirnya. Menjauh dari Tokyo, berhenti bekerja sama dengan rumah produksi, seolah 'bunuh diri'!
Ada sumber yang menyebutkan, dugaan kuat disebabkan angka penjualan album terakhir yang menurun drastis, tak sesuai dengan harapan.
Begitulah nasib artis pada umumnya. Nama mereka populer hingga ke mana-mana, tetapi terkadang tetap saja harus menghadapi situasi down. Mereka terkenal bukan karena banyaknya jumlah album yang terjual, tetapi banyaknya 'fans' yang mengenal mereka dari situs sejenis Youtube (seperti saya sendiri), dan juga disc bajakan (untuk yang satu ini saya tidak termasuk). Boleh dikatakan, para artis sebenarnya korban.
Di Indonesia, sebagai warga kitalah yang paling tahu, disc bajakan jauh lebih mudah dibeli di mana pun, dibandingkan dengan disc orisinal yang hanya dapat dibeli dari tempat-tempat tertentu. Harganya pun jelas beda jauh. Lebih ironisnya, setelah membayar lima atau enam ribu kepada penjual, kita pun sama sekali tak sadar kalau kita telah turut dalam suatu tindakan kejahatan yang merugikan pihak tertentu. Yang ada di pikiran kita pastilah hanya kita telah mengeluarkan uang, dan berhak memiliki barang yang kita inginkan. Ada lagi kalimat yang kita tambahkan biasanya ketika membeli barang itu; kalau pulang nanti disc-nya macet boleh tukar ya, Mas?!
Hayo, siapa di antara kita yang sering tak sadar telah melanggar hukum dengan membeli barang bajakan dan masih bersikap seolah kita adalah pelanggan yang wajib dilayani seperti raja? Pasti banyak yang pernah mengucapkan kalimat di atas kepada para penjual disc bajakan, 'kan?! Hmm...
Sama halnya juga dengan mengunduh video di internet dari sumber yang melanggar hak cipta. Kita sering berpikir bahwa aktivitas menyenangkan itu adalah bagian dari perkembangan teknologi yang selayaknya kita pelajari dan manfaatkan sebisa mungkin. Padahal--lagi-lagi--kita telah turut dalam suatu tindakan kejahatan yang merugikan pihak tertentu.
Kasus karya para artis yang dibajak sebenarnya juga tak jauh berbeda dari kasus merek-merek dagang yang ditiru pihak lain. Sakit hati yang dirasakan sama, bedanya artis lebih benar-benar tak dapat berkutik untuk menuntut hak mereka. Di mana-mana mereka menjadi korban tanpa mereka ketahui. Di sisi lain mereka adalah artis yang dituntut memiliki image yang baik.
Gara-gara image baik jugalah, kita menjadi kurang menyadari bahwa di balik senyum para artis, mereka sebenarnya juga manusia biasa yang berkarir, tidak semata ditakdirkan ada untuk menghibur kita secara gratis. Kita cenderung melihat gerak-gerik artis sebagai hiburan, tetapi untuk mereka itu adalah usaha keras. Salah-salah karir mereka bisa ambruk juga, seperti pedagang-pedagang yang gulung tikar.
Coba kita menggali fakta lebih dalam. Tidak sedikit artis yang sekadar 'gulung tikar', tetapi bahkan mengalami depresi dan memutuskan mengakhiri hidup. Sebut saja dara cantik, Han Chae Won yang melakukan aksi bunuh diri di rumahnya pada 25 Agustus 2011. Pesan terakhir tertulis, "Saya benar-benar tak ingin berkomentar. Saya hanya ingin menghentikan penderitaan dan berhenti menangis. Dan ini bisa diselesaikan jika saya meraih kesuksesan, tapi...". Selain Han Chae Won, terdapat juga sederet artis Korea lain; Choi Jin Sil (2 Oktober 2008), Jang Ja Yeon (7 Maret 2009), Song Ji Seon (23 Mei 2011), dan yang terakhir Jung Ah Yool (12 Juni 2012).
Kembali ke konser tadi. Di akhir video ditayangkan kilas balik sebelum konser diadakan. Untuk tampil maksimal, jauh-jauh hari sebelum hari H ternyata si penyanyi beserta krunya sudah harus berulang-ulang kali mengadakan 'konser' tertutup (latihan) lengkap dengan busana cantik, kamera, beserta sejumlah alat musik yang lengkap. Di balik hasil akhir sebuah konser, terdapat banyak sosok yang berperan penting, seperti; perencana, pemain band, kameramen, perancang, perias, juga si pengendali lighting, dan masih banyak lagi. Merekalah orang-orang yang menggantungkan harapan pada konser itu.
Dengan mengunduh, menjual, atau membeli produk kreativitas seorang artis secara ilegal, kita telah bersalah kepada si artis, dan juga ratusan kru yang berada di belakang layar. Kalau dari segi agama pun pastinya haram/dosa, hanya saja hal seperti ini kelihatannya jarang diulas, karena ketika kitab-kitab ditulis pada masa silam, masih belum ditemukan komputer, software sejenis Nero, internet, atau barang-barang seperti CD, VCD, DVD, flashdisk, dan lainnya.
Akhirnya, tulisan ini ditulis bukan dengan jutuan melarang ini itu atau memerangi kasus pembajakan. Sekadar mengulas sesuatu yang mungkin jarang kita sadari. Silakan menyimpulkannya sendiri!
Lea Willsen
dinihari, 1 Juli 2012