Oleh: Liven R
SUDAH dua hari Ardi melihat penjual terompet Tahun Baru mangkal di depan
rumahnya. Terompet aneka ukuran dengan kertas warna-warni yang menarik itu
membuat Ardi ingin memilikinya. Siang ini, ketika penjual terompet itu datang
lagi, Ardi memberanikan diri keluar dan bertanya harga terompet itu.
“Hanya
15.000 rupiah, Nak,” ujar abang penjual terompet itu.
“Tunggu,
ya, Bang.”
Ardi
bergegas masuk ke rumah dan mengeluarkan kaleng susu bekas tempat dia menyimpan
sisa uang jajannya selama ini. Dihitungnya uang itu.
“Ah,
tidak cukup,” desahnya. Setelah dihitung ternyata Ardi hanya memiliki 12.000
rupiah saja. Masih kurang 3.000 rupiah.
Sesaat,
Ardi keluar menemui abang penjual terompet kembali.
“Bang,
uangku tak cukup. Kembali lagi besok, ya, Bang?”
Abang
penjual terompet tersenyum dan mengangguk.
Ardi
memandang terompet itu dan membayangkan memiliki salah satu terompet berwarna
biru yang tergantung itu. Oh, liburan sekolah beberapa hari ini membuatnya
tidak mendapatkan uang jajan dari Ayah. Bagaimana mengumpulkan uang 3.000
rupiah itu?
Malam
hari Ardi terus menunggu Ayah pulang. Dia ingin meminta tambahan uang kepada
Ayah. Tapi malam ini Ayah tidak pulang cepat. Kata Ibu, Ayah menelepon dan
mengatakan malam ini akan pulang larut karena akan mengantar penumpang ke
tempat yang sangat jauh. Ayah Ardi adalah seorang supir taksi.
Kelelahan
menunggu, akhirnya Ardi tertidur sebelum ayahnya pulang.
Esok
hari, Ardi baru bangun menjelang pukul 08.00 WIB, setelah dibangunkan Ibu.
Setengah tergesa, Ardi berlari keluar dari kamar menuju ruang keluarga.
“Selamat
pagi, Ibu. Di mana Ayah?”
“Ayah
sudah berangkat kerja sejak tadi, Ardi, “ ucap Ibu.
“Ada
apa, Ardi?” tanya Ibu penasaran.
Ardi
hanya menggeleng. “Tidak ada, Bu. Ardi akan mandi sekarang,” ucap Ardi.
“Baiklah.
Selesai mandi segera sarapan,” jawab Ibu.
Teeeetttttt….!
Teeeettttt…! Teeeettt…!
Menjelang
siang bunyi terompet kembali terdengar. Abang penjual terompet datang lagi.
Ardi memandang keluar dari balik jendela. Terompet warna-warni yang tergantung
itu membuatnya sedih karena dia tidak bisa membelinya.
Dari
jendela, Ardi juga melihat Bu Evi sedang kerepotan menenteng beberapa keranjang
dan kantong plastik berukuran besar. Beberapa kali keranjang itu hampir jatuh. Kantong-kantong
plastik diletakkan Bu Evi di bangku teras rumahnya. Bu Evi tampak kebingungan.
Ardi
segera keluar menghampiri Bu Evi. “Mari kubantu, Bu,” seru Ardi dengan gembira.
“Ah,
Ardi, terima kasih…. Kue-kue ini dipesan oleh tetangga di seberang jalan sana.
Ibu kesulitan membawanya sendirian,” ucap Bu Evi. “Untung ada Ardi.”
Sebuah
keranjang kecil dan sebuah kantong plastik berisi kue segera ditenteng Ardi.
Dia berjalan mengikuti Bu Evi menuju ke seberang jalan. Setelah menyerahkan
pesanan, mereka kembali.
“Ardi,
terima kasih sudah membantu Ibu. Ini untuk tambahan uang jajanmu,” ucap Bu Evi
sambil menyodorkan sehelai uang 5.000 rupiah kepada Ardi.
Ardi
memandang uang itu dan menggeleng. Dia ingat ayahnya selalu mengajarkan
membantu orang lain tak boleh pamrih atau mengharapkan imbalan.
Bu
Evi tersenyum dan mengelus kepala Ardi. “Tak mengapa, Ardi. Terimalah…,” ucap
Bu Evi lagi.
Akhirnya,
Ardi menerima uang itu setelah Bu Evi memaksanya. Sebelum memasuki rumah, Ardi
melihat abang penjual terompet masih mangkal di sisi jalan. Ardi teringat uang
pemberian Bu Evi. Segera dia berlari ke dalam rumah dan mengeluarkan uang
tabungannya. Kini, dengan uang tabungannya ditambah pemberian Bu Evi, dia bisa
membeli terompet biru itu.
Teeeeeetttttt…!
Selamat Tahun Baru!***
Diterbitkan Harian Analisa (Taman Riang), 5 Januari 2014