Oleh: Liven R
TERIK matahari terasa menyengat kulit tatkala kami turun dari mobil yang diparkir di areal pekuburan yang luas ini. Sejauh mata memandang, terlihat hamparan gundukan tanah merah di sana-sini dengan batu nisan yang beraneka bentuk dan ukuran yang berbeda-beda pula.
“Ryan, cepat bantu Mama turunkan ini!”
Mama terlihat sibuk mengangsur peti-peti karton dari dalam mobil. Papa dan Reny menerimanya untuk kemudian dibawa ke makam kakek dan nenek yang berada tak jauh dari tempat mobil kami diparkir.
Selain peti-peti karton yang di dalamnya telah diisi pakaian, peralatan mandi, dan berbagai aksesoris dari kertas—yang konon akan berubah menjadi benda-benda yang bermanfaat untuk yang telah meninggal di alam baka sana, tentunya masih ada belasan kantong plastik besar yang berisi uang-uangan yang akan kami bakar untuk almarhum kakek dan nenek nantinya.
Bertahun-tahun, dua bulan menjelang Hari Qing Ming—Cheng Beng, biasanya Mama dan Reny akan terlihat sibuk melipat semua kertas-kertas sembahyang ini. Terkadang, aku juga ikut melipat meski aku tak begitu mafhum dan percaya bagaimana proses kertas-kertas ini nantinya akan berubah menjadi uang di alam baka sana.
Sesampai di makam kakek dan nenek, aku dan Papa segera membersihkan rumput-rumput liar yang tumbuh di sekitar makam. Setelah itu, kue-kue ditata di hadapan makam dan Papa pun menyalakan dua belas batang dupa untuk kami masing-masing tiga batang.
“Ayo, berlutut dan memohon! Minta kakek dan nenek melindungi kita sekeluarga supaya sehat selalu, panjang umur, murah rejeki, bisnis lancar…,” ucap Papa.
Kami menurut.
Sesaat berselang, Mama pun menyalakan korek api dan mulai membakar satu persatu kertas sembahyang yang kami bawa.
“Ah, ada yang lupa! Mana sepeda dan mobil sedan kertas yang hendak Papa bakar untuk kakek?” Reny mendadak bersuara.
“Ya…, ya, benar! Hampir saja lupa. Cepat ambil di belakang mobil, Ryan!” perintah Papa lagi.
Aku bergegas.
Api mulai membesar ketika sebuah sepeda dan mobil sedan kertas diletakkan di atas bara api. Gumpalan-gumpalan asap semakin pekat tatkala belasan peti karton mulai dilahap api. Asap hitam membubung tinggi ke angkasa dan membawa pikiranku kembali ke kejadian di masa itu.
Sepuluh tahun silam.
“Boy, Papamu sudah tua. Kalau kamu sanggup, belikanlah sebuah motor untuk Papamu, agar dia tak perlu mengayuh sepeda begitu jauh untuk ke rumahmu jika hendak melihat cucu-cucunya ini,” ucap nenek sambil mengelus kepalaku yang tengah duduk di pangkuannya.
Papa diam seolah tak mendengar ucapan nenek.
“Boy….” Nenek kembali memanggil Papa dengan nama kecilnya. Ya, Papa adalah putra satu-satunya yang lahir dari rahim nenek setelah pernikahan kakek dan nenek menjelang sekian tahun lamanya belum juga dikaruniai anak.
Karena rasa gembira dan sayang yang teramat terhadap Papa, kakek, nenek, dan buyut pun memanggil Papa dengan sebutan ‘Boy’ selain nama asli Papa, begitu yang diceritakan oleh nenek kepadaku kala itu.
“Ma, aku bukan tak sanggup membelikan Papa sebuah sepeda motor, akan tetapi, untuk apa? Kalau Papa ingin melihat anak-anak, usah ke rumahku, tunggu saja aku datang…,” ucap Papa.
“Tapi, Boy, berapa lama sekali kamu baru sempat datang kemari? Selalu saja katamu sibuk. Padahal, Papamu juga sangat ingin mengobrol banyak denganmu…,” imbuh nenek lagi.
“Aku memang sibuk.” Papa menghela nafas, “…aku tahu, dulu Papa menjual motornya demi mendaftarkanku kuliah. Akan kuganti semua itu nanti kalau bisnis baruku bisa berjalan lancar. Uang yang ada saat ini, akan kugunakan sebagai modal untuk memperbesar bisnisku dulu, Ma.”
“Aku hanya tak tega melihat Papamu mengayuh sepeda ke mana-mana…,” ucap nenek pelan.
“Kalau bisnis baruku ini lancar, aku akan membeli rumah yang lebih besar. Sampai saat itu, Papa dan Mama tinggal saja bersamaku, dengan begitu Papa bisa melihat anak-anak setiap saat….”
Berbulan-bulan berlalu. Aku selalu gembira setiap kali pulang sekolah dan melihat sepeda kakek terparkir di depan rumah kami. Itu artinya akan ada sekantong permen untuk aku dan Reny. Terkadang, kakek juga menjemputku dari sekolah dan memboncengku pulang sambil menceritakan kebanggaannya terhadap Papa, putra satu-satunya.
Kala itu, bisnis Papa memang sedang di masa jayanya. Terbukti, apa yang kuinginkan selalu ada. Tak peduli berapa juta harga sebuah mobil-mobilan, Papa pasti akan membayarnya asal kukatakan aku menyukainya. Namun, karena bisnisnya juga, Papa menjadi teramat sibuk dan jarang mempunyai waktu untuk berkumpul bersama kami lagi, terlebih untuk mengunjungi kakek dan nenek.
Hingga suatu hari, sepulang sekolah Mama mengabariku bahwa kakek mengalami kecelakaan lalu lintas. Sepeda kakek ditabrak metromini dalam perjalanannya menuju ke rumah kami.
Aku amat sedih. Kakek mengalami kritis selama seminggu di rumah sakit sebelum kemudian menghembuskan nafas terakhirnya. Nenek yang selalu berteman kakek pun mengalami shock sepeninggalan kakek dan menjadi sakit-sakitan.
Hanya berselang setahun kepergian kakek, nenek pun meninggalkan kami untuk selamanya.
Suara batuk Mama menyadarkanku dari lamunanku.
“Ma, mari gantian….” Aku mengambil alih tumpukan kertas sembahyang dari tangan Mama. “Duduk saja di sana, Ma. Asap di sini tak baik untuk pernafasan,” ujarku lagi.
Papa tersenyum memandangku.
“Pa, lihat asap tebal ini…. Bukankah ini salah satu pemicu pemanasan global? Bolehkah tahun depan kita tak lagi membakar kertas sembahyang?”
“Hus! Jangan bicara sembarangan, Ryan! Pantang bicara begitu….” Mama mendelik.
“Iya. Tak boleh bicara begitu! Itu namanya tak berbakti kepada nenek moyang!” Papa menimpali.
“Ah, inikah yang dimaksud berbakti? Bukankah bakti yang sesungguhnya lebih bernilai ketika orangtua masih hidup?” ujarku, dalam hati.
***
Medan, medio Maret 2012
(Harian Analisa, Cerpen dan Puisi--4/4 '2012)