Oleh: Liven R
LILY Rochil, gadis kecil bermata bulat dengan rambut panjang tergerai, hari ini tak masuk lagi. Sudah tiga hari terhitung semenjak libur Natal dan Tahun Baru usai, dia tak mengikuti kelas bimbinganku. Ada apa gerangan? Batinku sibuk menerka. Tak biasanya dia tak masuk tanpa pemberitahuan.
“Boleh saya berbicara dengan Melvin Rochil?” ucapku kepada Miss Lini, guru pembimbing di kelas sebelah.
“Wah, sudah tiga hari Melvin tak masuk,” balas Miss Lini.
“Oh, ya? Aneh sekali...,” ucapku setengah berbisik.
“Ada apa Miss Vania?” Miss Lini memandangku dengan kening berkerut.
“Ah, tidak! Aku hanya berniat bertanya kepada Melvin, mengapa sudah tiga hari adiknya, Lily, tak masuk kelas bimbinganku,” jelasku kepada Miss Lini.
“Oh, biasa, kan, Miss? Mungkin masih berlibur dan belum pulang. Banyak juga murid di kelasku yang belum masuk, tuh,” ucap Miss Lini sambil menunjuk dengan dagunya ke arah tempat duduk anak-anak.
Aku tersenyum, “Ya, mungkin juga. Baiklah, terima kasih, ya?!” Bergegas aku kembali ke ruanganku dan melanjutkan kegiatanku mengajar Bahasa Inggris untuk anak-anak usia 9-10 tahun.
***
‘PESAN terkirim’, kutatap sebaris teks pada layar ponselku. Sudah seminggu Lily tak masuk, begitu juga dengan Melvin.
Pagi ini aku tak dapat menahan diri untuk bertanya kepada Melvin melalui SMS perihal tak masuknya mereka selama seminggu ini.
Satu jam, dua jam, dan hingga siang menjelang, tak ada balasan. Aku tak pernah membiarkan anak didikku membolos tanpa alasan jelas. Mungkinkah mereka sudah tak berniat mengikuti kelas bimbingan di sini lagi? Ah, entah mengapa firasatku mengatakan mereka tak masuk bukan karena alasan itu.
Sudah tiga tahun mereka mengikuti bimbingan di sini. Ya, tiga tahun meskipun tak termasuk lama, juga tak dapat dikatakan singkat. Selama ini, Lily adalah anak yang penurut dan seorang gadis kecil yang periang. Di sela-sela waktu bubaran kelas, Lily kerap bercerita banyak hal kepadaku sambil menunggu mobil jemputannya. Sifatnya yang satu ini tentu saja bertentangan dengan sifat abangnya, Melvin, yang cenderung pendiam dan hanya menjawab bila ditanya.
Aku segera mengangkat telepon. Aku akan bertanya langsung kepada orangtua mereka, batinku.
“Bisa berbicara dengan mama Melvin dan Lily?” tanyaku pada suara di seberang telepon setelah mengucapkan salam.
“Ibu sedang ke bandara menjemput Bapak dan anak-anak,” jawab perempuan itu.
“Ke bandara?”
“Ya, hari ini Bapak dan anak-anak akan pulang dari Singapura.”
Aku ingin bertanya lebih lanjut, namun perempuan yang mengaku pembantu di keluarga Lily mengatakan dia tak banyak tahu. Aku hanya berpesan agar Lily dan Melvin segera masuk kelas bimbingan nanti agar tak ketinggalan pelajaran.
***
TOK tok tok!
Aku menoleh ke arah pintu dan kulihat Melvin berdiri di sana. Aku segera beranjak ke tempatnya.
“Miss, Miss Lini mengatakan Miss Vania mencariku?”
Aku mengangguk. “Lily mana?”
Melvin tak menjawab dan hanya menunduk.
“Melvin... Lily mana? Kok, tak masuk lagi?” kuulangi pertanyaanku. “Seminggu ini kalian ke mana saja?”
“Lily sakit.” Melvin akhirnya menjawab dengan suara pelan. “Kemarin aku menemani Papa membawa Lily ke Singapura berobat.” Kali ini Melvin memandangku.
“Apa? Lily sakit?”
Melvin mengangguk. Mendadak perasaanku tak enak. Jika bukan penyakit yang berat, tak mungkin harus berobat hingga ke Singapura, batinku.
“Sakit apa?”
“Aku kurang tahu, Miss. Kata Papa gagal ginjal...” Wajah Melvin berubah sendu. “...sebelum berangkat ke Singapura, Lily tak sadarkan diri,” lanjut Melvin lagi.
“Tapi sekarang keadaannya sudah membaik, ’kan?” Aku tak dapat menyembunyikan rasa cemas yang tiba-tiba menggerogoti pikiranku. “Apa sekarang dia sudah sadar?”
“Ya,” Melvin menjawab pelan. “Miss, Papa menyuruhku meminta izin kepada Miss Vania untuk Lily. Setelah Lily cukup sehat dan kuat, dia akan kembali belajar di sini,” lanjut Melvin lagi.
“Ya, katakan pada Papa, Miss paham. Biarkan Lily beristirahat dulu sampai benar-benar pulih...”
Melvin mengangguk. Setelah mengucapkan terima kasih, dia kembali ke kelas sebelah.
Pembicaraan tentang Lily tak henti mengusik pikiranku seharian itu. Aku tak habis pikir, bagaimana seorang gadis kecil yang baru berusia 9 tahun bisa mengalami gagal ginjal. Aku akan menjenguknya besok.
***
“LILY, sedang bermain apa?” sapaku ketika kulihat Lily duduk sendirian di atas sofa di sudut ruang tamunya sambil memeluk boneka Teddy Bear.
“Miss Vania...,” sapanya pelan. Aku segera mengambil duduk di sampingnya. Setelah menyuguhkan secangkir teh, mama Lily meminta izin untuk ke bawah meneruskan kesibukannya. Rumah mereka memang merangkap restoran yang hampir setiap hari ramai dikunjungi tamu yang hendak makan atau sekadar membeli untuk dibawa pulang.
Tinggallah kami bertiga di atas, aku, Lily, dan Melvin. Kupandangi wajah Lily yang kini terlihat pucat. Matanya tak tampak bersinar seperti biasanya. Kulihat wajahnya terlihat agak tembem, namun kusadari itu bukan karena Lily agak gemukan sekarang, tapi telah terjadi pembekakan pada beberapa bagian tubuhnya. Hatiku sedih melihat kondisi Lily.
“Lily, sudah makan?” tanyaku kemudian.
Lily mengangguk. Beberapa saat kemudian Lily bangkit dari duduknya dan mengatakan dia ingin tidur. Setelah mengantarnya ke kamar, aku pun pulang.
***
DUA bulan berlalu.
Setiap Sabtu aku selalu menyempatkan diri menjenguk Lily. Meskipun Lily kini berubah menjadi seorang anak yang pendiam, namun aku selalu mengajaknya berbicara pada setiap pertemuan kami agar dia dapat melupakan penyakitnya.
Tok tok tok! Terdengar suara pintu diketuk. Terlihat seorang satpam dan seorang pria berdiri di depan kelasku. Segera aku beranjak ke arah pintu dan mengenali pria itu sebagai papa Lily dan Melvin.
“Bu Vania, Bapak ini hendak mencari Melvin,” ucap Pak Satpam menjelaskan.
“Oh, Melvin bukan di kelasku, tapi di kelas sebelah,” ucapku sambil menunjuk ke arah kelas Miss Lini.
Dengan tergesa-gesa papa Lily pun berjalan ke ruang yang kutunjuk. Sesaat kemudian, dengan setengah berlari, Melvin dan papanya terlihat meninggalkan tempat bimbel.
Jam bubaran kelas masih satu jam lagi, akan tetapi Melvin sudah dijemput papanya dan pulang dengan tergesa-gesa. Ada apa ini? Mungkinkah Lily...? Ah, aku tak ingin berpikir yang tidak-tidak!
***
‘LILY koma, Miss. Sehabis menjalani proses pencucian darah, dia tak sadarkan diri. Sekarang ada di ruang ICU,’ demikian bunyi SMS pada layar ponselku, balasan dari Melvin yang kuterima setelah kutanyakan padanya apa yang telah terjadi.
Deg! Jantungku serasa berhenti ketika membaca SMS itu. Apa yang bisa kulakukan untuk membantu Lily? Aku terus berdoa dan berharap Tuhan mendengarkan doaku dan membantu Lily melewati masa kritisnya.
Malam itu entah mengapa aku tak dapat memejamkan mataku. Segala kebersamaan dengan Lily terus berkelebat dalam ingatanku. Tak terasa airmataku mengalir mengingat semua itu.
***
SIANG itu usai bubaran kelas, aku sengaja menemui Melvin untuk menanyakan kabar Lily. Darinya aku tahu Lily sudah sadar dan telah dipindahkan ke ruang perawatan biasa.
Pukul 7 malam, aku ke rumah sakit untuk menjenguk Lily.
“Miss, kebetulan sekali. Maukah Miss menemani Lily sebentar? Aku akan pulang untuk mandi,” ucap Mama Lily sesaat setelah aku tiba.
Setelah kusanggupi, mama Lily pun pulang.
“Miss, aku ingin jalan-jalan keluar. Maukah Miss membawaku dengan itu?” tanya Lily sambil menunjuk ke arah sebuah kursi roda berukuran kecil di sudut kamar.
“Tapi udara di luar sangat dingin. Dokter akan marah jika Lily masuk angin nanti,” ucapku berusaha membujuknya.
“Aku, kan, memakai dua lapis baju dan jaket ini...,” rengeknya lagi.
Kulihat binar penuh harap pada wajahnya. Sudah lama aku tak melihatnya begitu bersemangat. Aku sungguh tak tega menolak permintaannya.
“Hanya sebentar, ya?!” ucapku ketika membantunya duduk di atas kursi roda. Lily mengangguk dan tersenyum.
Perlahan aku mendorongnya menyusuri koridor rumah sakit dan tiba di taman belakang rumah sakit.
“Apakah besok Miss akan datang lagi?” tanya Lily.
Aku mengangguk. Setiap Sabtu aku memang selalu datang ke sini.
“Tadi aku berpesan agar Mama membawakan tas sekolah dan buku-buku pelajaranku. Maukah Miss mengajariku besok?”
“Ehmm... Boleh! Dengan syarat tak boleh terlalu lama, ya?!”
Lily mengangguk dan mengangkat jari kelingkingnya. “Deal!” ucapnya setelah kukaitkan jari kelingkingku tanda perjanjian disepakati.
Malam itu aku pulang dengan gembira. Kondisi Lily telah menunjukkan tanda-tanda kebaikan. Aku akan datang lagi besok pagi dengan membawakannya boneka Teddy Bear seperti yang sudah kujanjikan padanya tadi.
***
SABTU pagi.
Setelah membeli sebuah Teddy Bear berukuran sedang, aku pun meluncur ke rumah sakit.
Sesampainya di sana, aku segera menuju ruang perawatan Lily. B 23, itulah ruang perawatan Lily. Di ruangan itu kulihat dua perawat sedang mengganti sprei. Tak terlihat Lily di sana.
“Sus, Lily pindah kamar, ya?” tanyaku.
“Oh, Lily sudah dipindahkan ke rumah duka BD. Lily mengalami sesak nafas dan menghembuskan nafasnya yang terakhir pada pukul 2 dini hari tadi.”
Mendengar ucapan perawat, pikiranku mendadak kacau. Aku tak lagi mendengar apa yang diucapkan perawat itu selanjutnya. Segera kutinggalkan rumah sakit.
15 menit kemudian.
Memasuki blok tempat jenazah Lily disemayamkan, kulihat mama Lily menangis di samping peti jenazah Lily. Kulihat foto Lily yang sedang tersenyum terletak di atas peti jenazahnya. Nama ‘Lily Rochil’ tertulis di bawah foto itu dan terlihat tumpukan boneka di sampingnya. Aku teringat boneka Teddy Bear yang kubeli tadi. Aku segera kembali ke mobil dan mengeluarkan boneka itu.
Kuserahkan boneka itu ke tangan papa Melvin yang kemudian diletakkannya di atas peti jenazah Lily, berdampingan dengan boneka lainnya.
“Lily, Miss Vania datang menjengukmu. Lihat! Bonekanya sangat cantik... Bukankah hari ini Lily mau belajar dibimbing Miss Vania? Lalu mengapa pergi?” ucap mama Lily di antara isak tangisnya.
Aku sungguh tak kuat berada di sana. Setelah pamit, aku segera berlari dan kembali ke mobil. Kuhidupkan mesin mobil. Belum sempat mobil kujalankan, pertahananku runtuh. Airmata yang susah payah kutahan sejak tadi akhirnya pecah. Di atas stir mobil airmataku tumpah.
‘Tuhan, ini adalah kehendak-Mu. Betapa pun kami hanya menjalankan semua yang telah Engkau gariskan. Jika Engkau tak mengizinkan Lily bersama kami lebih lama lagi, kumohon bawalah dia di sisi-Mu. Jagalah dia...’
Kuedarkan pandanganku ke arah ruang persemayaman.
‘Lily, kehidupan ini sungguh kejam untukmu... kini kau telah bebas dari segala penderitaan yang menyiksa. Pergilah dengan tenang. Tuhan akan membawamu bersama-Nya. Kami akan hidup dengan kenangan terindah darimu...’
Perlahan kujalankan mobil meninggalkan rumah duka. Aku sudah bertekad besok tak akan menghadiri pemakaman Lily. Aku tak sanggup.
***
Mengenangmu di Suatu Masa, Akhir November 2010