“Tuhan, jangan pacu kereta kencana ini terlalu cepat! Aku takut mereka tak sanggup menggapai langkahku. Jangan pula terlalu lambat! Aku takut mereka menyerah pada kebosanan karena menungguku,” aku mencoba untuk jatuh dalam lelap sesaat setelah kalimat itu terlantun dalam hati.
Namun, mata enggan mengatup. Keresahan masih asyik bermain di atas kutub kesah. Aku semakin gelisah.
Diriku hanya gadis biasa dengan segala kelabilan rasa, yang dihadiahi kelemahan dan dianugerahi kerapuhan. Menghadapi masalah ini, tiada tersirat kekuatan untuk menguras air mata yang telah membanjiri pekarangan asa. Kurasa, pupuslah harapku yang menanti dijemput kereta kencana berejakan kata bahagia.
Empat bulan yang lalu, warna-warni pelangi memudar dari hidupku, menyisakan guratan hitam putih tak bermakna. Guratan itulah yang melunturkan senyum dari bibirku, mengusangkan cerah dari bola mataku.
Aku divonis menderita AIDS. Terdengar sederhana, terkesan tiada istimewa, tetapi terasa sakit penuh lara untuk aku yang merupakan pemeran utama. Ketidakpercayaan kontan memenuhi relungan pikir. Aku tidak pernah melakukan hubungan intim, tidak pernah berbagi jarum suntik, dan bukan seorang pecandu narkotika. Jadi, bagaimana mungkin di dalam tubuhku bisa hidup segerombolan virus dari penyakit terkutuk yang dinamai AIDS?
Meski berupaya menyangkal, kenyataan itu kutelan beralaskan pahit. Jelas aku putus asa. Aku hanya remaja belia 17 tahun yang memiliki segudang cita-cita. Kata AIDS terdengar bak upas yang membinasakan segala yang ada di daratan jiwa. Bersamaan dengan itu, hancurlah impian untuk menggapai prestasi, leburlah semangat untuk meraih mimpi.
Aku sama sekali tidak habis pikir mengapa hal tersebut bisa terjadi. Awalnya, aku hanya sering demam dan terinfeksi, semakin lama semakin sering dan menjadi-jadi. Kukira daya tahan tubuhku melemah karena terlalu capek beraktivitas. Ternyata bukan demikian adanya.
Mama membawaku ke dokter. Sang dokter melakukan pemeriksaan darah lengkap dan aspirasi sumsum tulang karena aku dicurigai menderita leukemia. Nilai limfostit T yang rendah pada hasil pemeriksaan darah dan keadaan sumsum tulang yang normal, melangkahkan dokter untuk mengecek virus HIV.
Sehari ibarat sewindu saat menanti keluarnya hasil tes. Dengan terburu-buru dan menggebu, aku ke rumah sakit ditemani mama. Tampak gampang, sang dokter melafalkan HIV AIDS positif.
Aku terperanjat. Aku tidak bisa menerima. Aku tidak kuat. Aku tiada sanggup membendung air mata. Aku tiada mampu menahan robohnya pilar kekokohan asa yang selama ini kujaga bertahta di singgasana. Ditambah lagi, mama papa masih menyudutkanku dengan mempertanyakan perihal kesucian. Mereka mengira aku telah terjebak dalam pergaulan bebas. Aku semakin tertekan. Aku ingin menyerah, menyudahi semua kefanaan.
Beberapa hari kemudian, diketahuilah bahwa virus itu kudapatkan sebagai hasil dari transfusi darah. Saat terkena demam berdarah, aku memang mendapat transfusi trombosit. Dokter yang kini menanganiku menduga bahwa produk darah yang kudapatkan kala itu tidak steril. Mungkin karena tidak di-screening akibat dibutuhkan secara mendadak atau karena pendonor merupakan penderita AIDS tetapi tidak terdeteksi saat di-screening akibat hal tertentu.
Namun, aku tidak mau mengetahui terlalu banyak mengenai teori tersebut. Satu-satunya hal yang kuketahui adalah masa depanku telah hancur. Aku tidak perlu menjadi seorang dokter untuk menyadari kalau AIDS adalah penyakit yang tidak bisa disembuhkan.
Aku ingin marah pada dia yang mendonorkan darah untukku. Aku ingin marah pada dokter yang begitu mengecilkan nyawaku. Aku ingin marah pada bank darah yang begitu menganggap remeh arti kehidupan. Aku ingin marah pada diriku yang begitu rapuh. Aku ingin marah pada dunia yang kurasakan sedang menertawai.
Aku berhenti sekolah. Hari-hari berikutnya lebih banyak kuhabiskan di kamar dan rumah sakit. Membosankan! Menyedihkan! Tidak ada seorang pun yang tahu kalau aku mengidap AIDS. Pada pihak sekolah dan teman-teman, aku mengaku akan pindah sekolah. Alasan itu terdengar tidak logis di telinga beberapa orang teman dekat tetapi sedapat mungkin aku berusaha meyakinkan mereka.
Awalnya mereka tidak percaya dan sering menelepon atau mengecek sendiri ke rumah. Mereka telah mengenalku dengan baik sehingga dapat menyadari bahwa ada sesuatu yang disembunyikan oleh Kirana. Lama kelamaan mereka mulai lelah mengejar kabarku. Sesungguhnya aku membutuhkan mereka untuk menemani kaki melangkah melewati masa tersusah tapi aku tidak kuasa menyatakan yang nyata.
Di satu sisi, berbohong memang bukan jalan yang baik. Di sisi lain, aku malu mengatakan hal yang sebenarnya. Banyak yang menganggap bahwa AIDS adalah penyakit orang yang berlumur dosa sehingga orang tersebut harus dinistai, dijauhi dan dikucilkan. Sementara, aku belum siap diperlakukan seperti itu oleh masyarakat.
Aku tahu, cepat atau lambat kereta kencana yang kutumpangi ini akan merasa jenuh. Lantas ia akan menurunkanku, membiarkanku masuk ke dunia baru. Namun, cara seperti ini terlalu tragis! Hingga saat ini pun aku belum ikhlas menerimanya.
Tidak masalah jika kematian datang secara mendadak tanpa kusangka sebelumnya. Justru yang menjadi masalah jika kematian itu datang dengan sebuah prediksi, seperti saat ini. Hidupku ibarat sebuah bom yang akan meledak pada jam kesekian, menit kesekian, dan detik kesekian. Manusia mana yang kuat menghitung waktu menuju kematian?
* * * * *
Aku kembali dirawat di rumah sakit karena infeksi akut. Ini sudah kedua kalinya dalam sebulan. HIV benar-benar meminimalkan daya tahan tubuhku. Hidup seperti ini sungguh menjemukan. Aku merasa hanya menjadi beban bagi keluarga dan bukan menjadi harapan. Kalau tidak memikirkan air mata mama dan keringat papa yang telah tercurah, sudah lama aku menyerah.
”Saya ganti botol infus kamu, ya!”
Aku terbangun dari lamunan. Seorang pria muda tengah berdiri di sisi ranjangku sembari mengembangkan senyuman. Memoriku tergulung. Aku merasa pernah mengenalnya.
”Lain kali kalau sudah hampir habis, cepat panggil suster! Jangan biarkan botol infus sampai kosong, bisa berbahaya,” ujarnya seraya memasangkan botol infus yang baru ke tubuhku.
Ia adalah dokter muda yang sedang bertugas di rumah sakit tempatku dirawat. Namanya Irwandi, itu pun kutahu dari tanda pengenal yang tergantung di dada kiri. Tidak lama berselang, otakku berputar semakin kencang seakan ada sesuatu yang kutahu tapi tak kuingat.
Oh iya, aku memang pernah bertemu dengannya dua tahun yang lalu, di dalam pesawat Flying Air tujuan Jakarta-Medan. Kala itu aku dalam perjalanan pulang ke Medan setelah mengikuti olimpiade fisika tingkat nasional di Jakarta. Ia duduk di sebelahku dan cukup menyita perhatianku sebagai seorang wanita, mengingat wajahnya yang tampan dan penampilan yang menawan.
Tidak banyak yang kami obrolkan. Hanya basa-basi, saling pandang sejenak dan kemudian hanyut dalam pikiran masing-masing. Satu jam berselang, komunikasi di antara kami kembali terjalin. Pasalnya, tanpa ba bi bu ia menumpahkan isi perutnya ke bajuku.
”Maaf, aku tidak sempat mencari kantung plastik dan tidak sanggup menahan mual,” pintanya sambil berniat membantuku membersihkan diri.
Sejujurnya aku kesal tetapi aku tidak sanggup menyalahkannya. Tatapan teduh yang menyinggahi bola mataku menurunkan kembali adrenalin yang sempat meninggi.
”Tenang, aku tidak akan muntah lagi. Perutku memang sudah mual sedari di bandara, sekarang sudah jauh lebih baik. Maafkan aku ya!”
”Tidak masalah, hanya saja aku tidak tahu bagaimana harus pulang seandainya keluargaku tidak menjemput. Pasti tidak ada angkutan yang mau menerimaku,” ucapku setengah bercanda.
Ia tampak berpikir sejenak. ”Aku bisa mengantarmu,” ia tersenyum kecil, aku mengernyitkan dahi. ”Dengan kereta kencana,” sambungnya lagi.
”Aku bukan Cinderella. Lagipula aku berbohong, mama akan menjemput.”
Ia tertawa renyah.
”Memangnya anak kecil tahu apa soal kereta kencana.”
Aku memasang muka cemberut. Seenaknya saja ia mengataiku anak kecil!
Setiba di bandara Polonia, ia berniat membelikanku baju sebagai permintaan maaf. Namun, niat baik tersebut kutolak. Sejak saat itu aku tidak pernah lagi bertemu dengannya. Meski pada awalnya aku sempat bermimpi tentang sebuah pertemuan dan sebuah kelanjutan, waktu jugalah yang mengikis fatamorgana itu
Hari ini aku kembali bertemu dengannya, seperti apa yang sempat kuimpikan. Ia masih begitu elok dipandang mata, masih begitu gagah dan penuh wibawa. Sayang, aku sudah kehilangan aura untuk berkenalan dengan cinta. Aku sudah kehilangan rasa, kehilangan indera. Bisa bernapas saja sudah kusyukuri, mana sempat kupikirkan hal lain berbau duniawi.
”Kamu merasa lebih baik?” untuk kedua kalinya ia membuyarkan lamunanku.
Aku tersenyum simpul.
Sejurus kemudian, ia menatap wajahku dalam-dalam.
”Kereta kencanaku?” gumamnya seolah tertahan di tenggorakan.
Serat-serat kegusaran terpancar di wajah yang tadi tampak begitu tenang.
”Benarkah ini kamu? Di pesawat beberapa tahun yang lalu, kita pernah bertemu? Kirana, bukan?”
Aku mengangguk lemah.
Ia menghela napas berat.
”Mengapa bisa jadi seperti ini?” tanyanya getir tanpa menatap ke arahku.
Aku terdiam, tidak tersisa kekuatan untuk menjelaskan.
”Kau mengecewakanku.”
Ia segera beranjak sesaat setelah mengucapkan kalimat itu. Pasti dikiranya aku adalah gadis sembarangan, yang bisa menyerahkan kesakralan pada siapa pun yang kutemui di jalan. Andai saja ia tahu!
Air mata menumpahi pipi. Dia memang bukan siapa-siapa, bahkan aku tidak tahu namanya. Namun, entah mengapa hatiku teriris mendengar ia berkata seperti itu, seolah diri ini tidak ingin kehilangan dirinya. Padahal, ia bukan milikku.
* * * * *
Irwan menyuruh seorang suster mengantarkan setumpuk kertas ke kamarku. Aku bingung! Setelah kertas itu kucek satu persatu, aku baru mengerti kalau selama ini dia berusaha mencari informasi tentang diriku. Pantas saja kemarin dia bisa melafalkan namaku, padahal kami belum sempat berkenalan.
Dalam genggamanku, ada daftar nama penumpang Flying Air pada waktu itu, foto-foto dan profilku yang ia cetak dari friendster. Ada pula sepucuk pesan yang ia selipkan di antaranya.
Mungkin kamu tidak pernah menyadari bahwa aku begitu bodoh. Iya, aku memang bodoh dan kau boleh menertawakanku! Aku menaruh harap pada orang yang bahkan tidak kukenal. Aku tertipu oleh pandangan dan kesan pertama. Kini aku kecewa, aku menyesali segalanya setelah menyadari bahwa ia yang kusebut kereta kencana tidak lebih dari sampah.
Aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Cinta itu membutakanku. Cinta itu membuatku tampak gila. Aku hanya menunggu saat yang tepat untuk kembali muncul di hadapanmu. Tapi untunglah hal itu belum sempat terjadi!
”Kalau kamu tidak bisa menguatkanku, mengapa kamu harus merapuhkanku?”, gumamku seolah Irwan tengah mendengarkan di sisi.
* * * * *
Seminggu kemudian
Bendera putih telah berkibar setengah tiang sebagai isyarat kalau kesabaranku mulai terkikis. Pemeriksaan, terapi dan regimen pengobatan sungguh menjemukan. Ditambah lagi infeksi yang datang silih berganti. Kualitas hidupku benar-benar menurun drastis. Aku lebih menyukai hidup bahagia dalam sehari ketimbang menderita selama berhari-hari.
Mama dan papa juga tidak kalah menderita. Meski mengucap baik-baik saja, aku yakin mereka tersiksa, mungkin jauh lebih tersiksa daripada diriku. Mereka harus menahan sendu karena putri sematawayang yang merupakan ujung tombak digerogoti penyakit mematikan. Mereka harus menahan malu karena dijadikan pergunjingan saat arisan sampai di pasar. Mereka harus membanting tulang hanya agar aku bisa memperpanjang kontrak kehidupan.
Namun, tiada yang mampu kubuat selain mengadu pada Tuhan. Aku tidak ingin lagi usia yang panjang, sudah terlupakan pula cita yang gemilang. Aku hanya ingin bisa bermanfaat bagi orang-orang di sisa waktu yang ada dan bukan menyusahkan seperti sekarang.
Lagipula, saat ini aku sudah memiliki paradigma baru tentang usia. Manusia harus puas dengan usia yang dianugerahkan Tuhan kepadanya, harus bersyukur karena hingga detik ini masih diberikan waktu untuk bernapas dan tidak seharusnya meminta tambahan usia pada Yang Esa. Menambah usia artinya menambah dosa. Namun, anggap saja aku hanya menghibur diri dengan utasan kalimat itu!
”Kiran, ada tamu untukmu,” mama muncul dari balik pintu kamarku.
”Mama sudah tahu apa yang akan Kiran katakan,” jawabku tanpa bergeming. Semenjak jatuh sakit aku tidak pernah mau menemui siapa pun.
”Tapi Kiran, dia...”
”Ma, Mama yang paling mengerti Kiran,” aku memotong sebelum mama selesai dengan alasannya.
Mama hanya mengangguk, tersenyum samar, kemudian beranjak.
Kurasa saat ini aku sudah lebih berlapang dada. Tidak lagi menyalahkan keadaan atas apa yang menimpaku. Ini adalah takdir yang disuratkan Tuhan untuk mendewasakanku. Ini adalah peringatan Tuhan agar aku sadar ada Dia di atas segalanya. Hanya saja, aku belum sanggup menantang dunia.
Pintu kamarku diketuk dua kali.
”Ma, Kiran ’kan sudah bilang, Kiran tidak mau bertemu siapa pun.”
”Kirana, ini aku, Irwandi. Tolong buka pintunya sebentar!”
Aku terpaku, membisu. Entah mau apa dia bertandang. Pastinya, aku tidak mau dicaci untuk kesekian kali, telingaku yang mendengar sudah kelu.
”Kiran, lima menit saja, kumohon!” pintanya setengah memelas.
Agak ragu kuputar gagang pintu dan kutarik perlahan.
Lelaki itu berdiri gagah dan tersenyum indah. Ia seakan menyajikan secangkir ketegaran untuk menawarkan dahaga.
Ia meraih tanganku tapi segera kutepis. ”Jangan sentuh aku, aku hanya sampah yang penuh dosa.”
”Kiran,..”
”Jangan sebut nama itu! Seorang calon dokter tidak pantas mengucapkan nama dari wanita yang berlumur nista,” aku beranjak dan duduk di sisi ranjang selepas kalimat itu meluncur.
Ia mendekat dan duduk di sampingku. Sedikit pun aku tidak mau memandangnya.
”Kiran, maafkan aku! Aku tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi. Dua hari yang lalu, dokter Pras, supervisor-ku sekaligus dokter yang menangani kamu baru menjelaskan keadaan yang sesungguhnya. Maafkan aku karena telah menuduh dan menyalahkanmu!”
”Pulanglah! Aku tidak pernah marah padamu, untuk apa kamu minta maaf.”
”Kiran,..”
”Tidak ada yang bisa kamu lakukan di sini.”
Detik-detik berikutnya hanya tertinggal garis-garis kaku.
Beku.
Bisu.
Syahdu.
”Aku mencintaimu, Kiran,” bisiknya pelan, hampir tak terdengar.
”Apa yang kau rasakan bukanlah cinta. Kita tidak saling mengenal. Jangan melawak di sini!”
Air mataku hampir tumpah.
”Mengapa kamu jadi begitu galak? Kamu adalah gadisku yang ceria, yang menjajah tanah hatiku selama dua tahun ini. Aku mengerti benar apa yang kurasakan. Kalau aku tidak mencintaimu, aku tidak akan ada di sini.”
”Tidak ada cinta yang seperti itu. Pergilah!”
”Kiran, cinta tidak sesederhana yang kamu bayangkan. Ayo tatap mataku! Katakan kau tidak mencintaiku!”
”Aku tidak mungkin mencintaimu, aku tidak mengenalmu,” akuku dengan sisa ketegaran yang masih kusimpan tanpa melihat ke arahnya.
”Padahal aku membawa kereta kencana yang kuhiasi dengan kasih dan harapan untuk menjemputmu. Padahal aku ingin menjadikanmu kereta kencana dalam hidupku. Kau sudah tahu apa makna dari kereta kencana untuk hidupku?”
”Aku tidak mau tahu,” jawabku ketus.
”Tapi aku akan memberitahukannya padamu. Kereta kencana simbol dari kemegahan cinta. Kereta kencana akan membawa pergi hatiku, membawa pergi cinta dan segala rasa yang kukemas indah dalam koper jiwa ke dalam istana yang kusebut sebagai rumah tangga. Kamulah kereta kencana yang kupilih.”
”Aku tidak peduli. Aku tidak mengerti. Pergilah!”
”Kiran, kalau kamu tidak mengizinkan, aku tidak akan memaksa. Namun, biarkanlah aku menemanimu di saat sulit seperti ini, biarkan aku melindungi sejenak sebelum pangeranmu menjemput dengan kereta kencana yang kau impikan!”
”Aku yakin kau tahu di mana pintu keluarnya.”
Ia terdiam. Begitu pula aku.
Ia meraih tanganku, meletakkan sesuatu dalam genggamanku, dan pergi tanpa pamit.
Aku menghela napas berat.
Kupandangi liontin kecil berbentuk kereta kencana yang ada di atas telapak tanganku. Pikiranku kosong untuk sesaat.
Aku tidak tahu apakah ia benar-benar mencintaiku atau hanya mengasihaniku, yang aku tahu ia tulus. Aku juga tidak ingin menyakitinya dengan bersikap tidak ramah seperti tadi. Namun, apalah yang ia harapkan dariku, aku tidak bisa memberinya kebahagiaan. Aku hanya akan menyeretnya ke jurang penderitaan, sama seperti yang kulakukan terhadap kedua orang tuaku.
Aku tidak mengenalnya dengan baik. Aku tidak pantas merampas kehidupan indahnya. Kurasa aku telah melakukan sesuatu yang benar.
Andai ia tahu hatiku juga tersayat berbuat seperti itu! Aku memang tidak merasa mencintainya, tetapi aku rindang di dekatnya, tidak hanya hari ini melainkan juga dua tahun yang lalu. Aku memang tidak seberani dia dalam mengambil sikap terhadap orang yang belum dikenal dengan baik, tetapi aku menyisakan celah agar ia bisa hidup di rongga hati.
Untuk alasan itu, aku tidak boleh egois! Setidaknya aku tahu bahwa ada seseorang yang masih tulus mencintaiku apa adanya. Itu sudah lebih dari cukup untuk menerbitkan mentari di langit subuh sanubari.
Aku mempererat genggamanku pada liontin kereta kencana yang menyiratkan berjuta makna.
* * * * *
Aku menarik napas dalam-dalam dan melepaskannya perlahan. Bercak-bercak kelegaan menyusupi relungan kalbu setelah berbuat demikian. Ini adalah kali pertama aku keluar rumah setelah hampir lima bulan menyekap diri di kamar derita.
Aku pamit pada mama untuk berjalan-jalan sebentar ke taman. Mama sempat melarang karena takut aku terinfeksi tetapi aku memaksa dan akhirnya diizinkan.
Kurasa sisa usia ini memang harus kumanfaatkan dengan lebih kritis dan cermat. Namun, mengapa pada saat seperti ini baru kusadari, mengapa harus pada saat aku akan kehabisan waktu? Mengapa tidak sedari lima tahun yang lalu?
”Tidak ada kata terlamat. Sebulan, seminggu, sehari, bahkan sejam pun bisa dibuat menjadi lebih berarti. Semangat Kirana!” repetku pada diriku sendiri.
Matahari semakin dekat ke barat. Aku pun memustukan untuk pulang. Kulangkahkan kaki ini dengan ringan, seringan beban yang kupikul.
Kucium liontin yang tergantung di leherku.
”Terima kasih, Irwan, kau telah menjadi inspirasi untukku. Mungkin di cerita yang berbeda aku bisa menjadi kereta kencanamu.”
Senyum mekar dari bibir yang selama ini haus bahagia. Kulanjutkan perjalananku untuk pulang.
Jantungku berdetak dua kali lebih kencang saat melihat segerombolan anak kecil sedang bercanda seraya menyeberangi jalan raya dan sebuah mobil melaju kencang mendekati mereka. Tanpa pikir panjang, kudorong tubuh mungil mereka ke arah trotoar. Sebagai gantinya, mobil itu menabrak tubuhku karena telat menginjak rem dan aku pun terpental.
”Terima kasih, Kereta Kencana! Kau menjemputku di saat yang tepat.”
Mataku mengatup dan aku tidak tahu lagi apa yang terjadi.
No comments:
Post a Comment
Silakan centang "Notify me" agar Anda memeroleh pemberitahuan.