Gravitasi ini menarikku begitu dalam hingga tak setitik pun noktah merah bersisa, putih tanpa sahaja. Bahkan hanya untuk tetap berdiri dengan perkasa tanpa gagah menantang congkak dunia, aku harus berpeluk pada lemah.
Sekelilingku memudar, persis bak coretan tanpa makna. Warna pelangi pun ada di sana, masih tetap manis dengan cerahnya, terarak dalam gulana tak tentu gundah. Tanpa merah, tanpa jingga, tanpa kuning, tanpa hijau, tanpa biru, tanpa nila, tanpa ungu. Gelisah pun hadir, ia mulai membunuh waktu, waktu nyaris mati. Aku lihat sendiri bagaimana waktu berusaha menahan nyawa agar tak tercabut penghuni neraka.
Di sinilah kini aku berada, tepat di persimpangan tanpa tanda. Tempat yang membuatku melupa realita. Nalar menyasar, terjepit di antara dua buritan tanpa tuan. Aku terkapar.
Maka di sinilah kini aku menanti, sebuah jawaban yang hingga senja berpendar tak kunjung mengakar. Benihnya saja tak tertangkap pandang. Hanya janji sumringah yang berkelakar di antara rindang dahan yang dikata dalam satu tarikan napas akan menyata. Sayup-sayup bisa kudengar dan hanya kudengar.
Ini sesulit ‘ku melepas bulan, seangkuh ‘ku menyapa mentari. Aku tak bisa memilih, kanan atau kiri, jiwa atau raga. Keduanya jalanku merenda nama. Tak mungkin membelah.
Satu hentakan lagi aku mati. Jiwa ini, hati ini, pikir ini jelas harus berjalan. Tapi ke mana? Aku langkah yang hilang arah. Aku ucap yang hilang kata. Aku nada yang hilang suara. Lantas aku siapa?
No comments:
Post a Comment
Silakan centang "Notify me" agar Anda memeroleh pemberitahuan.