Tuesday, May 13, 2014

Shinigami’s Eye (Bab 3)


Oleh: Lea Willsen
Bab 3
“KAK Leysa, apa di sini ada?” tanya Randy berbisik-bisik sebelum memasuki rumah.
Leysa pun menepuk ringan kepala adiknya. “Jangan bertanya. Selalu setelah kukasih tahu keberadaan mereka, kau akan menangis ketakutan dan membuatku dimarahi Mama...”
“Tapi aku ingin tahu posisi pastinya di mana saja, biar bisa menghindari tempat itu...”
“Jangan bicara lagi. Anggap saja tak ada yang dapat memberitahukannya kepadamu.”
“Huh! Kakak jahat!” protes Randy yang kemudian berlari ke dalam rumah.
Leysa tersentak, baru saja adiknya berlari menerobos sesosok bayangan putih yang tak memiliki tangan. Ah, kalau saja Randy tahu, pasti akan kembali menangis ketakutan. Terkadang, Leysa berpikir akan lebih baik bila ia tak menceritakan apa yang terlihat olehnya kepada orang lain, agar tak membuat mereka ketakutan tanpa alasan. Sudah banyak sosok-sosok aneh yang tertangkap oleh matanya. Ada yang tak memiliki mata, kepala, kaki, dan juga tangan—seperti yang barusan diterobos Randy. Leysa tak akan sembarang bercerita kepada orang lain, kalau tak mau dianggap gila.
Leysa pun melangkah masuk ke dalam rumah dengan sebelah tangan yang menenteng sebuah koper. Tiba-tiba kepalanya terasa pusing. Kakinya lemas dan kesulitan menopang tubuhnya. Ia ambruk seketika. Isi koper berserakan keluar. Randy satu-satunya yang menyaksikan hal itu pun segera menghampiri Leysa dan menanyakan keadaannya.
“Tidak... Mungkin aku hanya kelelahan...,” jawab Leysa.
“Kukasih tahu Mama.”
“Jangan! Aku tak apa-apa...”
Leysa bangkit lagi dan menatap berkeliling. Ia hampir tak dapat percaya dengan apa yang terlihat olehnya. Rumah mereka sangat ramai disesaki sosok-sosok makhluk halus! Ada yang berpenampilan seperti bangsawan, ada musisi yang tak henti-hentinya memainkan alat musik di genggaman sembari menangis lara, dan banyak pula yang berdarah-darah tergeletak tak berdaya di sudut ruangan! Sungguh, baru kali ini Leysa melihat jumlah mereka demikian banyak!
Seperti biasanya, bila berada pada suatu tempat yang terlalu banyak makhluk halus, Leysa akan merasakan perasaan yang tak enak. Dan kini perasaan itu kembali muncul. Kepalanya terasa pusing, tubuhnya terasa lemas, dan jantungnya terasa lemah. Hal itu mungkin disebabkan rasa takut atau jijik akibat mampu melihat ‘mereka’.
 “Kak Leysa…” Randy terhihat masih cemas. “Kupanggil Mama…”
“Jangan, Randy! Mama masih harus mengurus adik...”
“Tapi, Kak...”
“Aku tak apa-apa...” Leysa memejamkan mata beberapa saat, kemudian membukanya kembali.
Sosok-sosok transparan di ruangan itu sudah hilang. Namun Leysa tahu secara pasti, sosok-sosok itu masih ada, hanya saja tak lagi terlihat. Dengan konsentrasi yang kuat, kadang Leysa dapat menghilangkan kemampuan mata malaikat pencabut nyawanya itu. Namun itu tak berlangsung lama. Biasanya setelah sekian menit, mata Leysa akan kembali dapat melihat makhluk halus. Leysa hanya akan menggunakan ‘kemampuan’-nya itu bila ia sudah benar-benar tak sanggup melihat makhluk-makhluk itu dalam jumlah yang banyak.
Kembali Leysa menatap berkeliling. Kendati masih berdebu, namun sesungguhnya rumah itu sangat mewah dan indah. Dari ruang utama yang sangat luas tanpa langit-langit—langsung menembus ke lantai dua—terdapat dua tangga lebar di sisi kiri dan kanan yang terhubung ke bagian tengah lantai dua. Pada sisi kiri dan kanan dinding di koridor lantai dua, berderet puluhan pintu yang entah akan tembus ke mana. Sementara di tengah-tengahnya, ada sebuah pintu besar yang juga entah akan tembus ke mana. Di atas pintu besar itu, terdapat sebuah lukisan yang memerlihatkan sosok Adam dan Hawa yang tengah berada di bawah pohon apel keramat.

***

Kembali ke Prolog untuk membaca bab lain

Telah dimuat di Harian Analisa
foto: Toni Burhan

No comments:

Post a Comment

Silakan centang "Notify me" agar Anda memeroleh pemberitahuan.