Wednesday, January 23, 2013

Menjadi Budak ‘Si Uang’




Setiap pukul 07.45 pagi, pemuda itu memulai perjalanannya dari rumah menuju tempat kerjanya yang lumayan jauh, dengan mengayuh sebuah sepeda tua peninggalan almarhum ayahnya. Sering, ketika tengah mengeluarkan sepedanya dari rumah, ia melihat sesosok kakek tua yang tinggal berseberangan dengannya juga tengah bersiap-siap mengepak barang-barangnya pada sebuah sepeda yang juga tak jauh berbeda dari kondisi sepedanya. Tangan kakek itu terlihat kurus, keriput, dan gemetar. Dan lagi, barangnya yang cukup banyak itu sepertinya tidak mudah dibawa.
Pada satu kesempatan, pemuda itu coba menghampiri si kakek dan bertanya, "Barang apa itu, Kek?"
"Pot bunga...," jawab si kakek.
"Pot bunga?" Si pemuda mencoba melirik ke dalam dua peti kayu yang diikat pada sepeda si kakek.
"Juga berbagai kerajinan tanah liat. Setiap hari barang-barang ini harus dibawa ke pasar untuk dijual."
Si pemuda hanya manggut-manggut, kemudian berlalu.
Keesokan harinya, si pemuda dikagetkan oleh apa yang dilihatnya. Sebelah tangan si kakek diperban, dan kedua kakinya terdapat sejumlah luka-luka lecet yang lumayan parah. Ah, ternyata si kakek kemarin mengalami kecelakaan!
Merasa prihatin dengan kondisi si kakek yang tengah terluka namun tetap ingin pergi berjualan ke pasar, si pemuda pun menawarkan diri untuk mengantarkan barang-barang dagangan si kakek ke pasar. Mumpung sejalan. Si kakek menyambut tawaran itu dengan gembira.
Untuk hari-hari berikutnya, pemuda itu pun selalu mewakili si kakek mengerjakan pekerjaan yang ternyata tidak mudah itu. Begitu dua peti kayu berisi kerajinan tanah liat itu dibebankan di belakang sepedanya, sepeda menjadi sulit mendapatkan keseimbangan. Terutama ketika hendak berbelok. Ah, biarlah, pemuda itu berpikir. Yang muda harus memberi perhatian kepada yang tua. Ia sendiri yang telah menawarkan diri, maka harus dikerjakan dengan tulus. Setidaknya, sampai luka si kakek sembuh.
Seminggu kemudian, si kakek tiba-tiba menjelaskan kepada pemuda itu, bahwa ia ingin menggaji pemuda itu untuk melakukan pekerjaan itu untuk seterusnya. Si kakek mengaku, dirinya telah tua dan tidak pantas lagi mengerjakan pekerjaan itu. Ia butuh seseorang yang dapat dipercaya untuk membantunya.
Mata pria itu berkejap-kejap. Muncul dua bisikan yang saling bertentangan di batinnya, antara menerima tawaran si kakek, atau menolaknya. Sebenarnya selama seminggu ini pekerjaan itu amat menyusahkannya. Ia menjadi harus bangun dan berangkat lebih awal, karena harus berhati-hati dan memperlambat laju sepedanya ketika sedang berada dalam perjalanan. Tak jarang juga ia telat beberapa menit tiba di tempat kerjanya. Tetapi, ia telah melakukan hal itu selama tujuh hari, dan kali ini si kakek menawarkannya gaji! Hmm..., mengapa tidak?!
Pemuda itu mengangguk.
Beberapa bulan pun berlalu. Selama itu, segalanya berjalan dengan lancar. Tetapi, alangkah sialnya hari itu, baru si pemuda mengayuh sepedanya tak jauh, sebuah mobil melaju kencang dan menabraknya! Mobil itu kabur bagai dikejar setan. Pemuda itu menyadari dirinya selamat, meskipun sebelah kakinya sepertinya terkilir dan mengalami luka lecet di mana-mana. Namun, ketika ia segera melirik ke dua peti kayu yang menjadi tanggung jawabnya, peti itu telah hancur! Demikian juga isinya...
Dengan cemasnya, pemuda itu kembali kepada si kakek, dan mengabarkan kejadian naas itu. Si kakek tersentak kaget, dan memarahinya panjang lebar. Bahkan juga menghubung-hubungkan jumlah gajinya dengan harga jual barang-barang yang telah dirusaknya.
Pemuda itu mengerutkan kening, berusaha menerima seluruh ledakan emosi dari si kakek dengan tabah. Ia sungguh kecewa dengan sikap si kakek terhadap dirinya. Si kakek bukan tidak tahu, pekerjaan mengantarkan kerajinan tanah liat itu pekerjaan yang berat. Apalagi ia bukan sengaja merusak barang-barang itu, tetapi ia ditabrak mobil. Si kakek sama sekali tidak prihatin kepadanya, justru menyalahkannya. Sungguh tidak setimpal dengan perhatian yang pernah ia berikan kepada si kakek, ketika si kakek yang mengalami kecelakaan beberapa bulan lalu. Mengapa? Karena sekarang ia digaji dengan uang?! Ya, bila hari ini statusnya adalah membantu si kakek tanpa digaji, tentu si kakek akan balik memunta maaf kepadanya, dan menawarkannya berbagai jenis obat untuk mengobati lukanya.
Ah, salah siapa? Pemuda itu menyesal. Ia telah mempertaruhkan nyawanya dengan menerima pekerjaan yang di luar batas kemampuannya. Ia mewakili si kakek untuk ditabrak mobil. Padahal, dia bukan tak memiliki pekerjaan lain yang lebih menjanjikan. Segalanya gara-gara ‘si uang’...
*
Kita sering mendengar, manusia tidak seperti mesin yang tidak merasakan lelah. Kenyataannya, mesin juga adalah barang yang perlu diistirahatkan agar tidak rusak, apalagi manusia. Bekerja itu baik. Tetapi, manusia memiliki batas kemampuan untuk bekerja.
*
Lea Willsen
Awal Maret, 2012
Harian Analisa, TRP, 20 Januari 2013
Foto: Int

No comments:

Post a Comment

Silakan centang "Notify me" agar Anda memeroleh pemberitahuan.