Setiap pukul
07.45 pagi, pemuda itu memulai perjalanannya dari rumah menuju tempat kerjanya
yang lumayan jauh, dengan mengayuh sebuah sepeda tua peninggalan almarhum
ayahnya. Sering, ketika tengah mengeluarkan sepedanya dari rumah, ia melihat
sesosok kakek tua yang tinggal berseberangan dengannya juga tengah bersiap-siap
mengepak barang-barangnya pada sebuah sepeda yang juga tak jauh berbeda dari kondisi sepedanya. Tangan kakek itu terlihat kurus, keriput, dan gemetar. Dan lagi,
barangnya yang cukup banyak itu sepertinya tidak mudah dibawa.
Pada satu kesempatan, pemuda itu coba
menghampiri si kakek dan bertanya, "Barang apa itu, Kek?"
"Pot bunga...," jawab si kakek.
"Pot bunga?" Si pemuda mencoba
melirik ke dalam dua peti kayu yang diikat pada sepeda si kakek.
"Juga berbagai kerajinan tanah liat.
Setiap hari barang-barang ini harus dibawa ke pasar untuk dijual."
Si pemuda hanya manggut-manggut, kemudian
berlalu.
Keesokan harinya, si pemuda dikagetkan oleh apa
yang dilihatnya. Sebelah tangan si kakek diperban, dan kedua kakinya terdapat
sejumlah luka-luka lecet yang lumayan parah. Ah, ternyata si kakek kemarin
mengalami kecelakaan!
Merasa prihatin dengan kondisi si kakek yang
tengah terluka namun tetap ingin pergi berjualan ke pasar, si pemuda pun
menawarkan diri untuk mengantarkan barang-barang dagangan si kakek ke pasar.
Mumpung sejalan. Si kakek menyambut tawaran itu dengan gembira.
Untuk hari-hari berikutnya, pemuda itu pun
selalu mewakili si kakek mengerjakan pekerjaan yang ternyata tidak mudah itu.
Begitu dua peti kayu berisi kerajinan tanah liat itu dibebankan di belakang
sepedanya, sepeda menjadi sulit mendapatkan keseimbangan. Terutama ketika
hendak berbelok. Ah, biarlah, pemuda itu berpikir. Yang muda harus memberi
perhatian kepada yang tua. Ia sendiri yang telah menawarkan diri, maka harus
dikerjakan dengan tulus. Setidaknya, sampai luka si kakek sembuh.
Seminggu kemudian, si kakek tiba-tiba
menjelaskan kepada pemuda itu, bahwa ia ingin menggaji pemuda itu untuk
melakukan pekerjaan itu untuk seterusnya. Si kakek mengaku, dirinya telah tua
dan tidak pantas lagi mengerjakan pekerjaan itu. Ia butuh seseorang yang dapat
dipercaya untuk membantunya.
Mata pria itu berkejap-kejap. Muncul dua
bisikan yang saling bertentangan di batinnya, antara menerima tawaran si kakek,
atau menolaknya. Sebenarnya selama seminggu ini pekerjaan itu amat
menyusahkannya. Ia menjadi harus bangun dan berangkat lebih awal, karena harus
berhati-hati dan memperlambat laju sepedanya ketika sedang berada dalam
perjalanan. Tak jarang juga ia telat beberapa menit tiba di tempat kerjanya. Tetapi,
ia telah melakukan hal itu selama tujuh hari, dan kali ini si kakek
menawarkannya gaji! Hmm..., mengapa tidak?!
Pemuda itu mengangguk.
Beberapa bulan pun berlalu. Selama itu,
segalanya berjalan dengan lancar. Tetapi, alangkah sialnya hari itu, baru si
pemuda mengayuh sepedanya tak jauh, sebuah mobil melaju kencang dan
menabraknya! Mobil itu kabur bagai dikejar setan. Pemuda itu menyadari dirinya
selamat, meskipun sebelah kakinya sepertinya terkilir dan mengalami luka lecet
di mana-mana. Namun, ketika ia segera melirik ke dua peti kayu yang menjadi
tanggung jawabnya, peti itu telah hancur! Demikian juga isinya...
Dengan cemasnya, pemuda itu kembali kepada si
kakek, dan mengabarkan kejadian naas itu. Si kakek tersentak kaget, dan
memarahinya panjang lebar. Bahkan juga menghubung-hubungkan jumlah gajinya
dengan harga jual barang-barang yang telah dirusaknya.
Pemuda itu mengerutkan kening, berusaha
menerima seluruh ledakan emosi dari si kakek dengan tabah. Ia sungguh kecewa
dengan sikap si kakek terhadap dirinya. Si kakek bukan tidak tahu, pekerjaan
mengantarkan kerajinan tanah liat itu pekerjaan yang berat. Apalagi ia bukan
sengaja merusak barang-barang itu, tetapi ia ditabrak mobil. Si kakek sama
sekali tidak prihatin kepadanya, justru menyalahkannya. Sungguh tidak setimpal
dengan perhatian yang pernah ia berikan kepada si kakek, ketika si kakek yang
mengalami kecelakaan beberapa bulan lalu. Mengapa? Karena sekarang ia digaji
dengan uang?! Ya, bila hari ini statusnya adalah membantu si kakek tanpa
digaji, tentu si kakek akan balik memunta maaf kepadanya, dan menawarkannya
berbagai jenis obat untuk mengobati lukanya.
Ah, salah siapa? Pemuda itu menyesal. Ia telah
mempertaruhkan nyawanya dengan menerima pekerjaan yang di luar batas
kemampuannya. Ia mewakili si kakek untuk ditabrak mobil. Padahal, dia bukan tak
memiliki pekerjaan lain yang lebih menjanjikan. Segalanya gara-gara ‘si uang’...
*
Kita sering mendengar, manusia tidak seperti
mesin yang tidak merasakan lelah. Kenyataannya, mesin juga adalah barang yang
perlu diistirahatkan agar tidak rusak, apalagi manusia. Bekerja itu baik.
Tetapi, manusia memiliki batas kemampuan untuk bekerja.
*
Lea Willsen
Awal
Maret, 2012
Harian Analisa, TRP, 20 Januari 2013
Foto: Int
No comments:
Post a Comment
Silakan centang "Notify me" agar Anda memeroleh pemberitahuan.