Oleh: Liven R
DEWASA ini, dengan berbagai alasan sulitnya memenuhi kebutuhan hidup, telah
menimbulkan fenomena banyaknya gelandangan dan pengemis (gepeng) kita temui di
jalanan.
Bukan
pemandangan yang asing lagi, di bawah lampu lalu lintas, di trotoar, dan bahkan
di badan jalan, kita dengan mudah menemukan sosok gepeng yang kumal, yang
anggota tubuhnya dibalut bermeter-meter perban untuk menimbulkan kesan cacat,
serta sosok yang menengadahkan tangan kepada tiap kendaraan yang lewat.
Tak
hanya itu, selain mangkal di tepi jalan, tak sedikit pula gepeng yang beraksi
mendatangi rumah-rumah penduduk untuk meminta belas kasihan. Sungguh hati akan
terasa miris melihat penampilan gepeng dengan pakaian yang compang-camping, lusuh,
dan tak layak pakai lagi, apalagi ditambah cacat tubuh yang diderita.
Jika
sudah didatangi, tentu saja uang barang seribu atau dua ribu akan dengan rela
kita berikan dengan alasan kemanusiaan, atau sekadar untuk menumpuk pahala
akhirat. Namun, benarkah dengan memberi uang kepada para gepeng kita telah
berbuat suatu kebaikan? Jangan-jangan justru sebaliknya!
Penipu Berwajah Pengemis
Di
tempat kerja penulis, di bilangan Jalan Sutomo, bangunannya berhadapan dengan
sebuah rumah tua yang tak berpenghuni dan memiliki halaman yang ditumbuhi semak
belukar dan selalu terbuka pagarnya.
Setiap
pagi penulis tiba di sana dan bekerja dengan meja menghadap ke rumah kosong
tersebut. Setiap kira-kira pukul 09.00 WIB, akan terlihat seorang wanita
muda—berpakaian lumayan bagus—memasuki halaman rumah kosong tersebut. Berselang
tak lama, akan datang juga seorang pria muda yang sehat bugar dan masuk juga ke
halaman rumah tersebut. Setelah itu, bagaikan pertunjukan sulap atau film super
hero yang bisa berubah wujud, keduanya akan keluar dari halaman rumah dalam
keadaan telah berganti pakaian compang-camping, dan si pria pun dengan mata
terpejam (berpura-pura buta) mulai dituntun berjalan oleh si wanita muda.
Begitulah setiap hari mereka berjalan dan berakting dari pintu ke pintu untuk
menipu belas kasihan penduduk yang didatangi.
Selain
cerita di atas, penulis juga pernah didatangi seorang pemuda—berpakaian
hitam-putih—yang mengatakan ayahnya baru saja meninggal dan dia tak punya biaya
untuk mengubur ayahnya. Oleh sebab itu, dia terpaksa berjalan ke mana-mana
untuk meminta sumbangan.
Setelah
diberi dan pergi, tiga bulan kemudian, si pemuda kembali datang dan mengatakan
hal yang sama. Dan, sepanjang tahun hal ini dilakukan seolah dia mempunyai
begitu banyak ayah yang meninggal dan tak habis-habisnya dikubur.
Lain
lagi cerita tentang dua ibu-ibu yang selalu membawa seorang anak kecil dan
datang meminta sumbangan dengan alasan untuk biaya pembangunan panti asuhan.
Setiap bulan, menjadi kegiatan rutin mereka untuk datang dan mengutip uang
sumbangan. Hal ini pun sudah bagaikan iuran bulanan wajib bayar bagi penduduk
sekitar.
Suatu
ketika karena sibuk, kedatangan mereka pun tak dihiraukan. Apa yang terjadi?
Setelah lama memanggil, bagaikan preman, salah seorang ibu pun meludah dan memaki
dengan nama-nama binatang, barulah kemudian pergi.
Sikap
yang sangat bertolak belakang dengan tujuan mulia yang diucapkannya, bukan?
Meminta sumbangan untuk membantu anak yatim piatu, namun ketika tidak mendapat,
memaki dengan kata-kata kasar. Pantaskah?
Pendeknya,
rasa belas kasihan dan hal-hal dengan alasan kemanusiaan telah dimanfaatkan dan
disalahgunakan oleh sebagian masyarakat marginal kita untuk mendapatkan uang
secara gampang. Mengemis sudah dianggap sebagai suatu jenis pekerjaan juga.
Bekerja Keras untuk Hidup Sejahtera
Memberi
bantuan kepada yang benar-benar membutuhkan, pada dasarnya adalah sikap yang
mulia. Akan tetapi, sikap mulia dapat menjadi suatu kebodohan apabila dilakukan
tanpa disertai kebijaksanaan.
Beberapa
penyebab makin menjamurnya gelandangan dan pengemis di negara kita, salah
satunya adalah karena adanya rasa belas kasihan (tanpa kebijaksanaan) yang
dilakukan oleh masyarakat kita kebanyakan.
Adalah
kenyataan, seorang pemuda pengemis yang masih kuat dan sehat jasmani serta
rohaninya, pernah ditawarkan pekerjaan yang pantas dan mampu dilakukannya. Namun, justru dia menolak.
Penolakan
pemuda pengemis tersebut terhadap pekerjaan yang ditawarkan, tentunya dengan
pertimbangannya bahwa ‘lebih nyaman mengemis daripada bekerja’. Untuk itu dia
tentu saja menolak untuk keluar dari ‘zona nyaman’nya, yakni: mendapat uang
tanpa harus keluar tenaga.
Secara
etis dan logika, dengan tubuh yang kuat dan mampu berjalan ke mana-mana,
seharusnya para gepeng bisa bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa
menjadi pengemis. Jika pekerjaan yang mengandalkan otak tak mampu dikerjakan,
bukankah masih banyak pekerjaan yang mengandalkan otot dapat dikerjakan?
Dari
beberapa fakta yang terlihat, dapat disimpulkan bahwa memberi bantuan sebaiknya
tidak dalam bentuk materi yang dapat menanamkan sifat malas dan ketergantungan
dalam diri individu penerima bantuan.
Pemerintah
maupun yayasan sosial yang ada, diharapkan jika memberi bantuan kepada para
gepeng yang masih muda, sehat, dan kuat bekerja, adalah dengan memberi
pelatihan dan penawaran pekerjaan sesuai dengan keterampilan masing-masing.
Bagi yang sakit, bantuan yang diberikan dapat berupa obat-obatan dan
pemeriksaan oleh tenaga medis secara langsung. Dengan demikian, pemberi bantuan
akan terhindar dari praktek penipuan dengan modus berpura-pura sakit. Dan, bantuan
yang diberikan pun menjadi tepat sasaran dan optimal.
Sesungguhnya,
tak ada suatu kondisi hidup apa pun yang mengharuskan seseorang menjadi
pengemis, bahkan seorang cacat sekalipun. Sebab, Tuhan selalu menganugerahkan
talenta tersendiri bagi setiap makhluk-Nya untuk berkarya.
Yang
sering menyebabkan buruknya kualitas hidup seseorang adalah adanya sifat malas
dan tidak adanya kemauan untuk berusaha dan memperbaiki kesejahteraan hidup
serta status sosialnya.
Sebagai
sebuah keteladanan hidup, kita dapat belajar dari semangat hidup sekelompok
penyandang cacat fisik yang bernaung di bawah Yayasan AMFPA (Association of
Mouth Foot Painting Artists) yang bermarkas di Sidney, Australia, dan memiliki
cabang di dua puluh negara di dunia, termasuk Indonesia.
Mungkin
Anda pernah menerima penawaran satu set kartu Lebaran, kartu Natal, dan lainnya
melalui pos yang dikirimkan oleh para penyandang cacat dari Yayasan AMFPA. Ya,
dengan segala keterbatasan, mereka (para penyandang tuna daksa yang menjadi
anggota AMFPA) tak patah arang dan terus berkarya (melukis) dengan menggunakan
kaki maupun mulutnya.
Berbagai
karya lukis mereka pada kartu pos, perangko, dan lainnya kemudian dijual ke
seluruh dunia untuk ditukar dengan sesuap nasi.
Bercermin
pada mereka, kita akan menyadari bahwa cacat tubuh bukanlah alasan untuk hidup
bergantung pada belas kasihan orang lain, terlebih menjadi pengemis.
Jika
orang-orang cacat saja mampu mandiri, mengapa orang-orang yang masih/terlahir
sehat tak mau menghargai talenta dan menggunakan fisik kuatnya untuk berusaha? Tidakkah
kita malu pada mereka yang cacat namun tak henti berkarya?
Sesungguhnya,
hidup adalah pilihan. Pilihan untuk menjadi yang terbaik dengan usaha dan kerja
keras, atau terpuruk karena kemalasan!
***
Dimuat Harian Analisa, 3 Maret 2012