Sunday, September 2, 2012

Diari dan Kenangan Bersama Papa


Oleh: Liven R

“VIN, lihat isi lemari ini! Apakah semua buku ini masih terpakai? Mama rasa ada baiknya kamu memilih buku mana yang masih mau dipakai dan yang tidak, supaya bukumu yang teronggok di atas mejamu dapat dimasukkan ke sini.” Sabtu pagi itu mama menegurku. “Lihat, bukumu di lapisan dalam penuh debu! Sudah berapa lama tak kamu sentuh?” tambah mama sambil memandang isi lemariku.
“Ya, Ma. Akan kubersihkan dan kubereskan nanti.”
“Sekarang saja. Tunggu apa lagi? Hari ini Mama lihat kamu cukup santai…”
“Oke, Ma!” Aku beranjak keluar dari kamar diikuti mama dari belakang. Kuambil ember kecil, kuisi sedikit air supaya tak terlalu berat dan kuambil sepotong kain, lalu aku kembali ke kamar.
Ups...! Benar kata mama, lapisan dalam lemari memang penuh debu. Perlahan kukeluarkan tumpukan buku itu dan kuletakkan di atas meja di samping lemari.
Braakk...! Sebuah buku berwarna biru terjatuh ke lantai. Kuambil dan kuperhatikan. Penuh debu. Dengan kain basah kulap permukaannya. Oh, ternyata buku harian lamaku! Kubuka lembarannya dan kubaca isinya. Ada pengalaman lucu di sana.
“Vin, sudah gila, ya? Kok, senyum-senyum sendiri?” Tiba-tiba mama sudah berdiri di belakangku.
“Ah, tidak, Ma…” Cepat-cepat kututup buku biru itu. Mama beranjak keluar setelah mengambil sesuatu. Iseng, kembali kubuka buku harian lamaku. Kali ini pada bagian tengahnya. Kucari tanggal yang menurutku bermakna
.
18 Oktober 1998.
Minggu, cerah.
Pukul: 20.15 WIB.
Jumpa lagi, Emon!
 Hari ini aku berulang tahun yang ke-15. Beri aku ucapan selamat, ya! Apakah kamu mau memberiku sesuatu dari kantong ajaibmu? He…he… Pasti tidak!
Mon, hari ini aku sudah menerima banyak kado dari Mama, Lyn, Wyn, dan Lei. Hanya Papa yang tak memberiku kado, karena beberapa hari ini keadaan Papa tak membaik. Sakit di dadanya kerap dia rasakan sepanjang hari. Tapi, Mon, Papa memberiku sejumlah uang sebagai ganti kado yang tak bisa dia berikan tahun ini. Aku menolak, tapi Papa mengatakan hadiah ulang tahun tak boleh ditolak. Papa mau aku memilih sendiri barang apa yang kuinginkan.
Oh ya, Papa juga berjanji acara makan bersama keluarga akan tetap diadakan setelah Papa pulang dari berobat. Tiga hari lagi Papa akan berangkat ke Penang, Malaysia, dan akan menjalani operasi untuk memperlancar pembuluh darah jantungnya yang tersumbat. Apakah itu berbahaya, Emon? Aku tak tahu. Yang pasti, aku bahagia dengan kasih sayang dari mereka.
Doaku di ulang tahunku ini adalah aku ingin Papa segera sembuh.
Met malam, Emon…

21 Oktober 1998.
Rabu, hujan.
Pukul: 21.05 WIB.
Apa kabar, Emon?
Hari ini rumah terasa sepi. Papa dan Mama sudah berangkat tadi pagi ke negeri tetangga. Mengapa hanya sebentar tak melihat mereka, aku sudah merasa rindu, ya? Ah, setelah selesai dioperasi, Papa pasti akan kembali sehat, ‘kan? Semoga!
Met malam, Emon. Bobok, ya…

22 Oktober 1998.
Kamis, hujan.
Pukul: 23.46 WIB.
Emon, katakan padaku ini semua hanya mimpi! Tadi pagi, jam belum menunjukkan pukul 06.00, Mama menelepon. Mama mengatakan Papa terjatuh saat mandi. Jantung Papa berhenti seketika itu juga. Dokter di sana tak berhasil menolong nyawa Papa. Papa telah pergi, Emon...! Pergi untuk selamanya! Bagaimana hidup kami selanjutnya tanpa Papa?
Tidak! Papa telah berjanji banyak hal kepadaku di hari ultahku. Ia pasti akan pulang untuk menepatinya. Papa tak pernah ingkar janji. Aku hanya perlu tidur sekarang, meskipun suara sanak keluarga di luar kamar ini begitu berisik membicarakan hal ini. Aku tak akan mempercayainya. Jika aku bangun esok hari, semua mimpi buruk ini pasti akan ikut hilang.
Nite, Emon.

23 Oktober 1998.
Jumat, gerimis.
Pukul: 05.12 WIB.
Selamat pagi, Emon.
Mon, kamu pasti heran hari ini aku menemuimu begitu pagi. Ya, aku hari ini memang sudah bangun pagi-pagi sekali. Lebih tepat sebenarnya bukan bangun, tetapi aku memang semalaman tak mampu memejamkan mata. Dan, ternyata semua ini bukan mimpi.
Emon, kini aku mengkhawatirkan Mama. Mengingat Mama pergi berdua dengan Papa, dan sekarang Mama tinggal seorang diri di negeri orang. Apakah Mama sanggup?
Emon, para tetua menginginkan jenazah Papa dibawa pulang secara utuh agar kami dapat melihat wajah Papa untuk terakhir kalinya. Namun, Mama berkehendak jenazah Papa diperabukan sesuai ritual keagamaan Buddhis di sana dan hanya membawa pulang abu jenazah Papa. Mama memiliki alasan kuat melakukan demikian untuk menghemat biaya dan menghindari proses keimigrasian yang rumit di bandara nantinya.
Sebagai anak, kami ingin melihat wajah terakhir Papa. Namun, kami juga harus mengerti kondisi Mama. Semoga tante dan abang ipar sepupu yang akan berangkat ke sana nanti dapat meringankan beban Mama.
Emon, jenazah Papa akan diperabukan hari ini pukul 09.00 waktu setempat. Aku saat ini hanya mampu memanjatkan doa bagi arwah Papa.

27 Oktober 1998.
Selasa, cerah.
Pukul: 22.23 WIB.
Hai, Emon! Bagaimana kabarmu? Maaf aku tak menyapamu beberapa hari ini.
Emon, prosesi mengantar Papa ke peristirahatannya yang terakhir telah selesai kemarin. Biar kuberitahukan secara singkat kepadamu. Pada tanggal 25 Oktober, aku, Lyn, Wyn, dan Lei ditemani beberapa sanak keluarga yang lain menjemput abu jenazah Papa di Pelud Polonia. Di antara sekian banyak orang yang hendak menjemput keluarga atau kerabat mereka, mungkin hanya kami—yang berpakaian hitam putih—yang menanti dengan duka. Di saat orang-orang di sana memeluk kerabat mereka dengan senyum, kami hanya bisa memandang Mama yang memeluk guci abu jenazah Papa di depan dadanya. Mon, bisakah kamu membayangkan, Papa yang berangkat dengan senyumnya, kini pulang hanya berupa abu di dalam sebuah guci kecil tertutup?
 Aneh sekali, Mon, di saat itu entah mengapa airmataku tak lagi mengalir. Yang ada hanya perasaan yang begitu letih. Mungkinkah airmataku telah habis mengalir selama menanti di sini?
Hanya sehari disemayamkan di rumah duka untuk memberi kesempatan sanak keluarga untuk menyampaikan simpati dan penghormatan terakhir, abu jenazah Papa pun diberangkatkan ke peristirahatannya yang terakhir pada tanggal 26 Oktober.
Met malam, Emon. Aku letih…

29 Oktober 1998.
Kamis, hujan.
Pukul: 20.18 WIB.
Emon yang baik, hari ini aku sangat merindukan Papa. Aku menangis dan menangis. Tak seorang pun mampu menghiburku. Aku terus memohon kepada Tuhan untuk memberiku kesempatan melihat Papa kembali walau hanya sebentar. Namun, airmataku ternyata tak mampu mengembalikan Papa. Setelah letih akhirnya aku menyadari setiap orang pasti akan berpisah pada akhirnya. Perbedaannya hanya terletak pada cepat atau lambatnya hal itu terjadi. Jadi, menangis pun sesungguhnya tak bisa mengubah keadaan.
Oh ya, Mon, Mama mengatakan alasan sesungguhnya dia memilih memperabukan Papa adalah agar kami tetap menyimpan memori indah wajah Papa di kala hidupnya. Mama benar-benar wanita yang hebat, ya? Di saat menghadapi masalah yang demikian berat, Mama masih sanggup memikirkan perasaan kami dan…
“Vin, ya, ampun..! Sudah berapa lama kamu terbengong di sana?” Belum selesai kubaca, teriakan Mama mengagetkanku. Buru-buru kututup buku harian biru bergambar tokoh kucing
 kasayanganku, Doraemon.
            “Sedang melihat apa? Kok, tidak siap-siap?” Mama berdiri di depan pintu.
            “Segera siap, Ma,” jawabku pelan sambil cepat-cepat mengusap airmataku dan kupalingkan wajah agar Mama tak melihat wajahku yang berantakan oleh airmata.
            “Cepat, ya! Hampir siang, lho,” ujar Mama sambil lalu.
            Kupercepat gerak tanganku mengelap dan memilih serta menyusun kembali buku-buku itu. Giliran buku Doraemon di tanganku. “Ah, Emon, waktu bergerak demikian cepat, ya? 12 tahun sudah aku tak bertemu Papa. Aku kini bukan lagi gadis yang cengeng. Aku selalu ingat pesan Papa semasa hidupnya agar aku tegar di kala aku menangis karena tak mampu melakukan sesuatu dulu. Papa pasti telah bahagia di alam sana. Aku bersyukur masih memiliki Mama. Kesempatan untuk berbakti masih ada. Emon, hanya kamu yang tahu segala rahasia hatiku.”
***
foto: int.
Dimuat Harian Analisa,
memperingati Hari Ayah (Minggu ketiga Juni)

No comments:

Post a Comment

Silakan centang "Notify me" agar Anda memeroleh pemberitahuan.