Oleh: Liven R
“VIN, lihat isi lemari ini! Apakah semua buku ini masih
terpakai? Mama rasa ada baiknya kamu memilih buku mana yang masih mau dipakai
dan yang tidak, supaya bukumu yang teronggok di atas mejamu dapat dimasukkan ke
sini.” Sabtu pagi itu mama menegurku. “Lihat, bukumu di lapisan dalam penuh
debu! Sudah berapa lama tak kamu sentuh?” tambah mama sambil memandang isi
lemariku.
“Ya, Ma. Akan kubersihkan dan
kubereskan nanti.”
“Sekarang saja. Tunggu apa
lagi? Hari ini Mama lihat kamu cukup santai…”
“Oke, Ma!” Aku beranjak keluar
dari kamar diikuti mama dari belakang. Kuambil ember kecil, kuisi sedikit air
supaya tak terlalu berat dan kuambil sepotong kain, lalu aku kembali ke kamar.
Ups...! Benar kata mama,
lapisan dalam lemari memang penuh debu. Perlahan kukeluarkan tumpukan buku itu
dan kuletakkan di atas meja di samping lemari.
Braakk...! Sebuah buku
berwarna biru terjatuh ke lantai. Kuambil dan kuperhatikan. Penuh debu. Dengan
kain basah kulap permukaannya. Oh, ternyata buku harian lamaku! Kubuka
lembarannya dan kubaca isinya. Ada pengalaman lucu di sana.
“Vin, sudah gila, ya? Kok, senyum-senyum
sendiri?” Tiba-tiba mama sudah berdiri di belakangku.
“Ah, tidak, Ma…” Cepat-cepat
kututup buku biru itu. Mama beranjak keluar setelah mengambil sesuatu. Iseng,
kembali kubuka buku harian lamaku. Kali ini pada bagian tengahnya. Kucari
tanggal yang menurutku bermakna
.
18 Oktober 1998.
Minggu, cerah.
Pukul: 20.15 WIB.
Jumpa lagi, Emon!
Hari ini aku berulang tahun yang ke-15. Beri
aku ucapan selamat, ya! Apakah kamu mau memberiku sesuatu dari kantong ajaibmu?
He…he… Pasti tidak!
Mon, hari ini aku sudah
menerima banyak kado dari Mama, Lyn, Wyn, dan Lei. Hanya Papa yang tak
memberiku kado, karena beberapa hari ini keadaan Papa tak membaik. Sakit di
dadanya kerap dia rasakan sepanjang hari. Tapi, Mon, Papa memberiku sejumlah
uang sebagai ganti kado yang tak bisa dia berikan tahun ini. Aku menolak, tapi
Papa mengatakan hadiah ulang tahun tak boleh ditolak. Papa mau aku memilih
sendiri barang apa yang kuinginkan.
Oh ya, Papa juga berjanji
acara makan bersama keluarga akan tetap diadakan setelah Papa pulang dari
berobat. Tiga hari lagi Papa akan berangkat ke Penang, Malaysia, dan akan
menjalani operasi untuk memperlancar pembuluh darah jantungnya yang tersumbat.
Apakah itu berbahaya, Emon? Aku tak tahu. Yang pasti, aku bahagia dengan kasih
sayang dari mereka.
Doaku di ulang tahunku ini
adalah aku ingin Papa segera sembuh.
Met malam, Emon…
21
Oktober 1998.
Rabu,
hujan.
Pukul:
21.05 WIB.
Apa kabar, Emon?
Hari ini rumah terasa sepi. Papa
dan Mama sudah berangkat tadi pagi ke negeri tetangga. Mengapa hanya sebentar
tak melihat mereka, aku sudah merasa rindu, ya? Ah, setelah selesai dioperasi,
Papa pasti akan kembali sehat, ‘kan? Semoga!
Met malam, Emon. Bobok, ya…
22 Oktober 1998.
Kamis, hujan.
Pukul: 23.46 WIB.
Emon, katakan padaku ini semua
hanya mimpi! Tadi pagi, jam belum menunjukkan pukul 06.00, Mama menelepon. Mama
mengatakan Papa terjatuh saat mandi. Jantung Papa berhenti seketika itu juga.
Dokter di sana tak berhasil menolong nyawa Papa. Papa telah pergi, Emon...!
Pergi untuk selamanya! Bagaimana hidup kami selanjutnya tanpa Papa?
Tidak! Papa telah berjanji
banyak hal kepadaku di hari ultahku. Ia pasti akan pulang untuk menepatinya. Papa
tak pernah ingkar janji. Aku hanya perlu tidur sekarang, meskipun suara sanak
keluarga di luar kamar ini begitu berisik membicarakan hal ini. Aku tak akan
mempercayainya. Jika aku bangun esok hari, semua mimpi buruk ini pasti akan ikut
hilang.
Nite, Emon.
23 Oktober 1998.
Jumat, gerimis.
Pukul: 05.12 WIB.
Selamat pagi, Emon.
Mon, kamu pasti heran hari ini
aku menemuimu begitu pagi. Ya, aku hari ini memang sudah bangun pagi-pagi
sekali. Lebih tepat sebenarnya bukan bangun, tetapi aku memang semalaman tak
mampu memejamkan mata. Dan, ternyata semua ini bukan mimpi.
Emon, kini aku mengkhawatirkan
Mama. Mengingat Mama pergi berdua dengan Papa, dan sekarang Mama tinggal
seorang diri di negeri orang. Apakah Mama sanggup?
Emon, para tetua menginginkan
jenazah Papa dibawa pulang secara utuh agar kami dapat melihat wajah Papa untuk
terakhir kalinya. Namun, Mama berkehendak jenazah Papa diperabukan sesuai
ritual keagamaan Buddhis di sana dan hanya membawa pulang abu jenazah Papa.
Mama memiliki alasan kuat melakukan demikian untuk menghemat biaya dan
menghindari proses keimigrasian yang rumit di bandara nantinya.
Sebagai anak, kami ingin
melihat wajah terakhir Papa. Namun, kami juga harus mengerti kondisi Mama.
Semoga tante dan abang ipar sepupu yang akan berangkat ke sana nanti dapat
meringankan beban Mama.
Emon, jenazah Papa akan
diperabukan hari ini pukul 09.00 waktu setempat. Aku saat ini hanya mampu
memanjatkan doa bagi arwah Papa.
27 Oktober 1998.
Selasa, cerah.
Pukul: 22.23 WIB.
Hai, Emon! Bagaimana kabarmu?
Maaf aku tak menyapamu beberapa hari ini.
Emon, prosesi mengantar Papa
ke peristirahatannya yang terakhir telah selesai kemarin. Biar kuberitahukan
secara singkat kepadamu. Pada tanggal 25 Oktober, aku, Lyn, Wyn, dan Lei
ditemani beberapa sanak keluarga yang lain menjemput abu jenazah Papa di Pelud
Polonia. Di antara sekian banyak orang yang hendak menjemput keluarga atau
kerabat mereka, mungkin hanya kami—yang berpakaian hitam putih—yang menanti
dengan duka. Di saat orang-orang di sana memeluk kerabat mereka dengan senyum,
kami hanya bisa memandang Mama yang memeluk guci abu jenazah Papa di depan
dadanya. Mon, bisakah kamu membayangkan, Papa yang berangkat dengan senyumnya,
kini pulang hanya berupa abu di dalam sebuah guci kecil tertutup?
Aneh sekali, Mon, di saat itu entah mengapa
airmataku tak lagi mengalir. Yang ada hanya perasaan yang begitu letih.
Mungkinkah airmataku telah habis mengalir selama menanti di sini?
Hanya sehari disemayamkan di
rumah duka untuk memberi kesempatan sanak keluarga untuk menyampaikan simpati
dan penghormatan terakhir, abu jenazah Papa pun diberangkatkan ke
peristirahatannya yang terakhir pada tanggal 26 Oktober.
Met malam, Emon. Aku letih…
29 Oktober 1998.
Kamis, hujan.
Pukul: 20.18 WIB.
Emon yang baik, hari ini aku
sangat merindukan Papa. Aku menangis dan menangis. Tak seorang pun mampu
menghiburku. Aku terus memohon kepada Tuhan untuk memberiku kesempatan melihat
Papa kembali walau hanya sebentar. Namun, airmataku ternyata tak mampu
mengembalikan Papa. Setelah letih akhirnya aku menyadari setiap orang pasti
akan berpisah pada akhirnya. Perbedaannya hanya terletak pada cepat atau
lambatnya hal itu terjadi. Jadi, menangis pun sesungguhnya tak bisa mengubah
keadaan.
Oh ya, Mon, Mama mengatakan
alasan sesungguhnya dia memilih memperabukan Papa adalah agar kami tetap
menyimpan memori indah wajah Papa di kala hidupnya. Mama benar-benar wanita
yang hebat, ya? Di saat menghadapi masalah yang demikian berat, Mama masih
sanggup memikirkan perasaan kami dan…
“Vin, ya, ampun..! Sudah berapa
lama kamu terbengong di sana?” Belum selesai kubaca, teriakan Mama
mengagetkanku. Buru-buru kututup buku harian biru bergambar tokoh kucing
kasayanganku,
Doraemon.
“Sedang
melihat apa? Kok, tidak siap-siap?” Mama berdiri di depan pintu.
“Segera
siap, Ma,” jawabku pelan sambil cepat-cepat mengusap airmataku dan kupalingkan
wajah agar Mama tak melihat wajahku yang berantakan oleh airmata.
“Cepat,
ya! Hampir siang, lho,” ujar Mama sambil lalu.
Kupercepat
gerak tanganku mengelap dan memilih serta menyusun kembali buku-buku itu.
Giliran buku Doraemon di tanganku. “Ah, Emon, waktu bergerak demikian cepat,
ya? 12 tahun sudah aku tak bertemu Papa. Aku kini bukan lagi gadis yang
cengeng. Aku selalu ingat pesan Papa semasa hidupnya agar aku tegar di kala aku
menangis karena tak mampu melakukan sesuatu dulu. Papa pasti telah bahagia di
alam sana. Aku bersyukur masih memiliki Mama. Kesempatan untuk berbakti masih
ada. Emon, hanya kamu yang tahu segala rahasia hatiku.”
***
foto: int.
Dimuat Harian Analisa,
memperingati Hari Ayah (Minggu ketiga Juni)
No comments:
Post a Comment
Silakan centang "Notify me" agar Anda memeroleh pemberitahuan.