Thursday, August 16, 2012

Bersatu untuk Satu Tujuan


Enam puluh tujuh tahun kita terlepas dari penjajahan. Itulah yang disebut sebagai kemerdekaan oleh kita semua. Ya, tak perlu diragukan, kita memang telah merdeka di bawah kibaran bendera merah putih.
Negara kita adalah negara yang besar, memiliki budaya, agama, serta suku yang variatif. Indonesia juga sempat menjadi salah satu pemegang kekuatan perekonomian Asia yang membanggakan pada tahun 80-an hingga 90-an. Namun--sayang--itu adalah masa lalu yang entah masih akan terulang kembali atau tidak.
Kini, dibanding negara Asia lainnya, kita boleh dikatakan sudah tertinggal. Sebut saja Cina, dulu negara itu merupakan potret kemiskinan Asia. Kala itu, ketika anak-anak dari suku Tionghoa Indonesia berperilaku bandel, orangtua biasanya akan berbohong dan menakuti si anak bahwa mereka akan dikirim kembali ke Tiongkok untuk hidup menderita di sana. Namun, cukup dua dekade, kini Tirai Bambu berkembang pesat, jauh di atas Indonesia. Hal itu dapat terlihat dari acara Olimpiade 2008--4 tahun lalu--di negara tersebut yang berlangsung sangat spektakuler.
Dari informasi BPS (Badan Pusat Statistik), angka kemiskinan Indonesia hingga Maret 2011 masih sebesar 30,02 juta jiwa (12,49%) atau pada Maret 2012 tersurvei 29,13 juta jiwa (11,96%). Oleh Seknas Fitra (Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran), Uchok Sky Khadafi, utang luar negeri Indonesia pada 2010 sebesar Rp 1.677 triliun, tahun anggaran 2011 menjadi Rp 1.803 triliun, dan lebih-lebih pada 2012 membengkak hingga Rp 1.937 triliun! Hmm...
Bila harus jujur, mungkin kita sulit menerima pernyataan itu. Indonesia ternyata masih memiliki banyak rakyat yang hidup menderita di bawah angka kemiskinan, sementara utang negara kian mencekik. Untuk masa mendatang pun, mungkin utang tersebut masih akan terus bertambah dan membebani generasi baru.
Cobalah perhatikan--terlebih ketika acara-acara pembagian zakat jelang Lebaran--banyak kaum kurang mampu yang mati atau luka-luka terinjak demi memperebutkan sumbangan, ibu-ibu yang mengantri seharian hanya demi membeli beberapa liter minyak tanah, serta copet atau jambret yang tak lagi segan-segan mengincar lansia di tengah keramaian, semua itu adalah dampak dari kemiskinan. Kaum miskin, kian sulit untuk bertahan hidup secara normal. Demi sesuap nasi, mereka harus beradu 'taring' dan membuang rasa kemanusiaan. Lalu, apa sesungguhnya 'momok' di balik semua ini? Siapa yang harus disalahkan?
Bila pertanyaan di atas dijawab oleh rakyat, mungkin banyak yang senada menyalahkan kinerja pemerintah. Namun dari hemat penulis, sesungguhnya kita tak dapat sepenuhnya menuding pemerintah. Mungkin kita semua 'cerdas' menilai atau mengkritik, namun bagaimana bila hari ini kita yang berada di posisi pemerintah? Mungkin saja situasi tak semudah yang diperkirakan, sementara berbagai kritik dan tudingan tak henti-hentinya berdatangan dari berbagai kalangan.
Sesungguhnya negara kita kaya akan potensi! Kita mampu menjadi lebih baik! Alangkah baiknya bila bangsa kita bersedia untuk menghentikan aksi saling menuding atau mengkritik, dan mencoba untuk meningkatkan rasa nasionalisme dalam diri masing-masing. Andai kita semua yang ber-KTP Indonesia--baik para pejabat hingga rakyat kecil--memiliki rasa nasionalisme tinggi, tentu tak akan ada kasus korupsi/pencucian uang negara, dan juga sikap yang saling menyalahkan setelah semuanya terlanjur terseret terlalu dalam menuju arah negatif.
Tak ada manfaatnya dari saling mencari-cari kesalahan pihak lain, ibarat lubang parit yang semakin dikorek semakin menimbulkan bau di tangan. Perubahan besar menuju arah positif hanya akan terjadi bila kita semua bekerja sama untuk mewujudkanya, dimulai dari diri sendiri--rasa cinta terhadap negara sendiri.
Ambil saja contoh, pengemis yang dapat dengan mudah ditemukan di jalanan. Usianya masih muda. Terlihat sehat secara fisik. Namun pengemis itu beralasan ia mengemis karena miskin, tidak mendapatkan pendidikan yang layak, dan ditelantarkan pemerintah. Kenyataannya, ia merasa lebih nyaman menjadi pengemis daripada lelah-lelah bekerja. Mengemis dapat tidur sepuluh jam sehari, sementara bekerja hanya dapat tidur enam jam sehari, maka jadilah ia pengemis seumur hidup. Apakah kita boleh menyalahkan pemerintah atas sikap cacat mental pengemis tersebut? Tentu tidak, bukan?!
Memang betul, tidak semua kasus sama seperti kasus pengemis di atas. Banyak di antara kita yang mungkin telah bekerja keras, namun ternyata tetap miskin. Tetapi, sesungguhnya orang-orang demikianlah yang pantas berbangga diri. Mereka tidak takut bekerja, selagi halal. Mereka teladan. Untuk maju, Indonesia memang butuh lebih banyak orang-orang demikian!
Negara lain bukan tak pernah memiliki warga miskin. Namun mereka tidak terperangkap dalam situasi tersebut. Daripada menyalahkan pemerintah, mereka lebih memilih terus berusaha untuk bangkit dengan kedua tangan pemberian Tuhan. Dan mereka berhasil bangkit. Di sisi lain, pejabat mereka juga memiliki kesadaran untuk tidak menggelapkan uang negara. Secara tak langsung dua sikap positif itu pun turut membantu menurunkan statistik kemiskinan di negara mereka.
Sementara di Indonesia, ketika diwawancarai wartawan, sembilan dari sepuluh masyarakat kurang mampu akan berujar, "pemerintah tidak membantu kami". Inilah ciri-ciri individu yang sulit untuk maju.
Harapan, semoga kelak Indonesia akan menuju arah yang lebih baik, kendati perlahan-lahan. Sebuah negara tentu tidak bisa disamakan dengan sebuah kereta api yang begitu lokomotif bergerak maka gerbong-gerbong di belakang langsung turut terderet dan melejit cepat mengikuti jalur hingga tiba pada satu tujuan. Kita semua memiliki jiwa dan kekuatan masing-masing. Jangan hanya mau menggerutu dan bergantung kepada 'lokomotif'. Satukanlah jiwa dan kekuatan kita untuk tiba pada satu tujuan!
Merdeka, Indonesia tercinta!
*
Lea Willsen
04 Agustus 2012

No comments:

Post a Comment

Silakan centang "Notify me" agar Anda memeroleh pemberitahuan.