Mengenal Puisi Haiku, Seni Sastra Jepang
Oleh: Lea Willsen
TULISAN yang baik adalah tulisan yang padat, tidak bertele-tele. Terutama dalam melahirkan sebuah karya puisi, seorang penyair biasanya dituntut untuk benar-benar cerdas dalam memilih kata yang efisien, membuang kata yang sekiranya tak perlu, agar kalimat maupun keseluruhan fisik dari puisi itu sendiri menjadi lebih ramping dan berkualitas. Berbicara soal pentingnya pemilihan kata dalam suatu proses penulisan puisi, hal tersebut seakan mengarahkan kita kepada suatu teknik penulisan puisi yang cukup terkenal, haiku.
Haiku adalah salah satu jenis puisi yang berasal dari Jepang. Meskipun demikian, kini haiku dikenal di seluruh dunia, dan bahkan dipraktikkan dalam berbagai bahasa, termasuk di Indomesia. Adalah Masaoka Shiki (1862-1902), seorang penyair yang telah memperkenalkan puisi jenis haiku, yang kemudian diminati oleh banyak penyair dari berbagai negara. Antusiasme tersebut terlihat jelas pada kontes haiku yang sempat diselenggarakan oleh Asosiasi Haiku Jepang. Peserta dari kontes tersebut berasal dari sekitar lima puluh negara, seperti Amerika, Inggris, Jerman, Perancis, dan juga berbagai negara lainnya.
Untuk membuat puisi jenis haiku, seorang penyair dibatasi oleh ketentuan hanya boleh menggunakan total tujuh belas suku kata, tersusun menjadi tiga baris, yakni; lima suku kata untuk baris pertama, tujuh untuk baris kedua, dan lima lagi untuk baris terakhir. Dalam setiap puisi haiku, selalu disertai oleh minimal satu kata yang merujuk kepada musim (kigo) atau alam, seperti; angin, pagi, batu, air, awan, gunung, rumput, dan lainnya. Karena begitu singkatnya haiku, maka tentu saja apa yang ditulis adalah sesuatu yang langsung mengarah kepada poin utama tentang apa yang hendak disampaikan oleh seorang penyair, boleh berupa apa yang terlihat/terdengar di sekitar, ataupun apa yang terasakan di dalam hati, seperti perasaan cinta, rindu, bahagia, atau sekadar imajinasi. Tidak ada yang namanya rayuan ataupun gombal yang panjang lebar.
Furuike ya—ke kolam tua
kawazu tobikomu—katak melompat
mizu no oto—suara air
Haiku di atas merupakan maha karya terkenal dari Matsuo Basho (1644-1694). Begitu sederhana, tetapi tetap menawarkan indah. Haiku yang diciptakan oleh Matsuo Basho secara tidak langsung seakan mengajak pikiran pembaca untuk turut membayangkan berada di dekat sebuah kolam tua nan sederhana, menemukan seekor kata yang melompat di sana, dan terdengar suara cipratan air pada waktu yang bersamaan. Matsuo Basho menceritakan semua itu secara singkat dan detil. Tak kalah unik karya seorang anak yang baru berusia delapan tahun (usia ketika karya tersebut diciptakan), Cedar Chan, asal Hongkong.
May the birds and me—biarlah burung-burung dan saya
fly together in the sky—terbang bersama di langit
to the rainbow slide—menuju lembaran pelangi
Tanka, Awal dari Haiku
Kehidupan di Jepang masa lampau, menguasai kemampuan merangkai puisi baik secara lisan maupun tertulis adalah sesuatu yang teramat berpengaruh terhadap image seseorang. Ketika seseorang dapat memahami puisi, maka orang itu pun akan dihargai dan diberikan posisi baik dalam kekaisaran. Sebaliknya ketika seseorang tidak memahami puisi, maka orang itu pun akan dipandang sebagai orang yang kasar dan kurang berpendidikan. Berdasarkan data yang terkumpul, awalnya haiku adalah sebuah seni merangkai puisi yang disebut sebagai tanka, dengan susunan lima baris dan suku kata 5-7-5-7-7 (go-shichi-go-shichi-shichi), serta tema seputar kehidupan istana atau keagamaan pada abad ke-9 dan ke-12. Tanka kemudian terus berkembang, menjadi sebuah seni merangkai puisi yang melibatkan dua penyair, dengan ketentuan penyair pertama menciptakan tiga baris awal dengan suku kata 5-7-5 (tiga baris awal disebut hokku), kemudian dilanjutkan dengan penyair kedua yang menciptakan dua baris terakhirnya dengan suku kata 7-7. Keseluruhan jenis puisi ini kemudian dikenal sebagai jenis haikai no renga (atau cukup dengan haikai, atau renga saja).
Pada perkembangan yang lebih lanjut, beberapa penyair kemudian sering hanya menuliskan hokku (tiga baris awal) tanpa melanjutkan dua baris terakhirnya oleh penyair lain. Dan oleh kebiasaan baru itulah, pada akhirnya hokku yang semula merupakan bagian dari haikai pun menjadi jenis puisi yang berdiri sendiri dan dikenal sebagai haiku pada tahun 1890-an (oleh Masaoka Shiki).
Senryu, Bentuk Lain Haiku
Senryu (dalam Bahasa Jepang ditulis: Senryuu), merupakan jenis puisi Jepang lain yang memiliki peraturan penulisan yang serupa dengan haiku, yakni disusun menjadi tiga baris, dengan jumlah suku kata yang juga 5-7-5 (go-shichi-go). Perhatikan senryu berikut:
Dorobou o—pencuri
toraete mireba—saat kutangkap
waga ko nari—anakku sendiri
Apa yang membedakan senryu dan haiku?! Sepintas kedua jenis puisi tersebut memang sama, namun kenyataannya berbeda. Haiku merupakan puisi yang lebih mengutamakan kualitas kata dan kedalaman makna, serta terikat dengan kigo (sebuah kata yang menunjukkan musim), sementara senryu adalah jenis puisi yang lebih ringan dan santai, bisa berupa humor atau sesuatu yang memberi kejutan unik.
Karai Senryuu, disebut sebagai penyair yang telah memperkenalkan puisi senryu.
Haiku Modern dan Haiku Klasik
Seperti yang diceritakan di atas, penulisan haiku telah dipraktikkan dalam berbagai bahasa. Namun, ketika budaya tersebut diperkenalkan kepada suatu negara, terkadang struktur bahasa dari negara tersebut tidak selalu memiliki kemiripan dengan struktur bahasa dari Jepang, sehingga terbagilah kini haiku menjadi versi modern dan klasik. Pada versi modern, sebuah haiku bisa saja diciptakan tanpa terikat lagi dengan ketentuan maksimal tujuh belas suku kata, tetapi bisa lebih longgar. Penyair juga boleh tidak memasukkan satu kata yang menunjukkan musim, apabila negara tersebut tidak mengalami pertukaran empat jenis musim seperti di Jepang. Meskipun demikian, haiku modern harus tetap ditulis secara singkat dan padat, pada pola tertentu yang telah ditetapkan.
Indonesia beruntung—meskipun tidak mengalami pergantian empat jenis musim—bila ditinjau dari segi struktur bahasa, Bahasa Indonesia masih memiliki kemiripan besar dengan Bahasa Jepang, sehingga penyair Indonesia tetap dapat menciptakan puisi haiku berdasarkan peraturan haiku klasik jika mau. Misalkan kata “kaze”—yang terdiri dari dua suku kata—di Indonesia disebut sebagai “angin”—juga dua suku kata—sementara bila di China menjadi “feng”—hanya satu suku kata—yang praktis menyebabkan peraturan penulisan haiku menjadi lebih longgar dari negara asalnya.
Penutup
Sebelum mengenal haiku, ketika menemukan seorang penyair menuliskan haiku, mungkin banyak yang akan berpendapat bahwa puisi tersebut terlalu pendek dan tidak bernilai, atau bahkan dicap ‘asal-asalan’ jadi. Tetapi setelah mengenal haiku, tentu siapa saja akan sadar, nilai unggul dari haiku justru terletak pada singkat/padatnya puisi tersebut.
Seorang teman yang biasanya sama sekali tidak tertarik dengan dunia sastra, justru begitu bersemangat menuliskan haiku dalam bahasa Jawa, ketika mendengar cerita tentang haiku. Pembaca, Anda tertarik menulis haiku? Mari, tarik pulpen dan kertas Anda, dan segeralah menuliskannya.
Meminjam keindahan dari haiku karya Masaoka Shiki untuk mengakhiri artikel ini:
Shima-jima ni—di seluruh pulau
hi wo tomoshikeri—pelita telah menyala
haru no umi—laut musim semi
*
Medio Maret, 2012
No comments:
Post a Comment
Silakan centang "Notify me" agar Anda memeroleh pemberitahuan.