Sunday, May 27, 2012

108 Kisah Inspiratif Menuju Kebahagiaan



Judul: Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya 3!
Penulis: Ajahn Brahm
Tebal: 308 halaman
Penerbit: Awarness Publication

SEBUAH eksperimen di Harvard beberapa tahun yang lalu pernah diadakan untuk menguji bagaimana orang-orang sering memiliki persepsi yang melenceng dan mempertahankan persepsi tersebut.
Dalam eksperimen tersebut, beberapa mahasiswa diminta duduk dan menyaksikan kilasan gambar di sebuah layar televisi. Pertama-tama, gambar diperlihatkan dengan sangat cepat dan hanya sekedipan saja. Mahasiswa diminta untuk menuliskan apa yang berhasil mereka lihat. Dan, semua mahasiswa hanya mampu melihatnya sebagai cahaya saja.
Oleh penguji, waktu paparan gambar pun ditingkatkan sedikit demi sedikit. Dari seperseratus detik, dua per seratus detik lamanya, dan seterusnya.
Ketika paparan gambar—yang menunjukkan sebuah sepeda sedang diparkir di sebuah universitas—semakin lama semakin jelas, ada mahasiswa yang mempersepsikan apa yang dilihatnya sebagai sebuah kapal.
Hal yang menarik adalah, mahasiswa tersebut terus-menerus menuliskan apa yang dilihatnya sebagai kapal, meski waktu paparan gambar telah demikian lama dan gambar semakin jelas terlihat bahwa itu bukanlah sebuah kapal. Dan, dibutuhkan waktu yang amat lama untuk membuatnya menuliskan apa yang dilihatnya menjadi sesuai dengan yang  diperlihatkan.
Dalam Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya 3, melalui kiasan dan fakta sederhana, Ajahn Brahm mengajak kita untuk menyadari bagaimana persepsi lama selalu bekerja dan terpatri dalam benak kita, sehingga membuat kita melihat seluruh dunia ini sesuai dengan pandangan kita, meskipun pandangan tersebut keliru adanya. Sering karena mempertahankan persepsi yang diyakini, pertengkaran antar manusia pun timbul. Dan, sering dibutuhkan waktu yang lama untuk mampu meluruskan ataupun menerima gambaran yang benar sejatinya.
Lahir di London, 7 Agustus 1951, Peter Betts adalah seorang Sarjana Fisika Teori lulusan Universitas Cambridge akhir tahun 1960. Pada usianya yang ke-23 tahun, Peter muda memutuskan untuk menjadi seorang petapa dalam tradisi hutan kuno di Thailand Timur Laut dan kemudian ditahbiskan dengan nama Ajahn (guru) Brahm (Brahmavamso= silsilah luhur).
Suka dan duka Ajahn Brahm dalam pelatihannya selama 9 tahun di belantara Thai, di kemudian hari selalu dikisahkannya dengan mega cinta kepada orang-orang sebagai pembelajaran dan penghiburan untuk mencapai keharmonisan, pembebasan, pemaafan, kedamaian, kebijaksanaan dan kebahagiaan hidup.
Di antara 108 kisah inspiratif yang termaktub, terdapat kisah Retakan pada Gelas (hlm. 294) yang memberi kiasan kepada kita bahwa pada setiap gelas sesungguhnya memiliki retakan yang tak kasat mata. Suatu hari, jika seseorang menendangnya atau menjatuhkannya, gelas tersebut akan pecah dan retakannya akan terbuka.
Gelas dalam perumpamaan tersebut adalah manusia dan hubungannya dengan pasangan, anak-anak, dan sahabat maupun dengan binatang peliharaannya.
Segala sesuatu yang ada dan berada dalam kebersamaan, adalah tidak kekal dan akan ada hari di mana perpisahan pasti terjadi. Karena gelas (hubungan yang ada) bersifat rapuh dan mudah pecah, maka kita perlu merawatnya dengan baik melalui kebiasaan dan perilaku kita terhadapnya. Sebab dalam realitanya, mungkin kita tak lagi berkesempatan mengucapkan kata maaf ketika orang/benda tersebut telah tiada.
Dalam sebuah konseling, seorang gadis datang menemui Ajahn Brahm dan terus menundukkan kepalanya menatap lantai. Apa masalahnya? Ternyata, dia merasa ada yang salah dengan hidungnya. Hidungnya terlalu besar, begitu pikirnya!
Setelah memintanya mengangkat kepalanya, Ajahn Brahm mengatakan tak ada yang salah. Hidung gadis tersebut adalah ukuran rata-rata dan sama sekali tidak jelek.
Manusia, demikianlah adanya. Selalu ada yang salah dengan diri maupun lingkungannya. Jika bukan hidung yang terlalu besar, maka pasti dirasakan ada gigi yang bengkok atau rambut yang jelek. Dengan batin yang selalu mencari-cari kesalahan, itulah sumber penderitaan.
Banyaknya masalah yang ada, sering timbul disebabkan orang-orang hanya melihat dan mencari kesalahan dalam diri sendiri maupun pasangannya dan juga orang lain. Itulah mengapa untuk meraih kebahagiaan, kita harus berhenti mengeluh dan memiliki kewelasan terhadap diri dan orang-orang yang hidup bersama kita. Sebab, mereka sesungguhnya telah berusaha yang terbaik yang mereka sanggup lakukan, seperti tertulis dalam kisah Kasihanilah Diri Sendiri (hlm. 207).
Menyusul seri terdahulunya (Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya 1 & 2) yang berhasil menduduki rak buku best seller, Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya 3 pun merupakan buku yang mampu demikian mencerahkan, menghibur, menginspirasi dan memotivasi pembacanya yang berasal dari berbagai kalangan dan lintas agama.
Alih-alih mengeluh, menyalahkan diri sendiri dan orang lain maupun takdir, kita sesungguhnya dapat belajar mengenai apa hidup itu sesungguhnya.
Peresensi: Liven R


No comments:

Post a Comment

Silakan centang "Notify me" agar Anda memeroleh pemberitahuan.