Monday, March 12, 2012

Cokelat yang Terabaikan


Cokelat yang Terabaikan
Oleh: Lea Willsen
Siapa kau bilang?!” suaraku menggelegar.
Sore itu, rasa kaget dan frustrasiku mengalahkan rasa maluku berteriak-teriak di depan umum. Untunglah, saat itu pengunjung tempat aku bekerja pas tidak begitu ramai. Namun, tetap saja beberapa pandangan menempel pada diriku. Mungkin mereka pikir, aku sudah gila, atau aku akan segera gila. Kenyataannya, aku memang hampir gila mendengar sebuah nama yang disebutkan oleh sahabatku barusan.
“Co...coba ulangi nama itu...,” pintaku sembari berusaha menekan volume suaraku agar tak sekeras tadi.
Mata Carota berkejap-kejap di balik kacamata bulatnya. Kedua pipi tembemnya seakan hendak menenggelamkan hidung peseknya. Lehernya memendek, diikuti dengan kedua bahu yang menciut, seperti kura-kura yang hendak menyembunyikan diri di dalam cangkang. Tunggu, tidakkah aku terlalu kejam mengumpamakan sahabatku sendiri sebagai kura-kura?! Ah, peduli amat! Aku lagi emosi! Huh!
“E...Evan...,” jawab Carota setelah sekian detik. Sikapnya teramat hati-hati.
“Celaka...!” aku menepuk keningku. Seketika tubuhku menjadi lemas, bukan karena kelelahan bekerja, tetapi karena mendengar nama si collector hitam berbibir dower yang baru bekerja tiga bulan bersama bos kami itu.
Buk! Buk! Buk! Buk! Buk! Berkali-kali kedua tanganku memukul meja kami penuh emosi. Barang-barang di atas meja itu sampai melompat-lompat tak berdaya dibuat olehku. Ah bukan, lebih tepatnya oleh Carota, karena ialah yang telah memancing emosiku.
“Carota!” panggilku setengah berteriak. “Pria yang kumaksud bukan Evan, tapi Ethan, Ethan, Ethan..., si anak bos kita yang kaya raya itu tahu tidak sih...?!”
“Su...sudah terlanjur kuserahkan kepadanya.... Begini saja, biar kutebus kesalahanku.... Berapa harga sebatang cokelatmu? Biar kubayar...,” ungkap Carota dengan sikap polosnya yang selalu mengesalkan itu.
“Bukan masalah harga, Carota...!”
“Loh, bukannya biasa kau menilai segalanya dari harta, uang, dan harga?” lagi-lagi Carota ‘membunuhku’ dengan sikap polosnya itu. Tetapi kata-katanya cukup tepat.
“Kali ini beda, Carota...! Valentine lalu kedua pria itu sama-sama memberiku cokelat dan surat cinta. Dalam cokelat White Day-ku kali ini aku juga menyelipkan surat cinta untuk Ethan. Dan sekarang nyasar ke Evan, aku harus bagaimana? Aku tak mau bersama Evan! Ethan itu baik, tampan, dan yang pasti makmur! Kau telah membuatku kehilangan kesempatan emas! Sudah cukup mamaku menyesal selama dua dekade karena memilih menikah dengan papaku yang seorang pengangguran banyak acara! Mamaku berpesan agar aku tak boleh mengikuti jejaknya! Aku harus buka mata lebar-lebar, melirik yang punya Toyota, Mazda, atau BMW, bukan yang beroda dua atau yang bermodalkan sepasang kaki! Aku tak ingin mengecewakan Mama! Aku... aku... aku...” Tiba-tiba nafasku terasa sesak, tenggorokan menjadi kering dan kehilangan suara. Ah, ternyata omelan panjangku cukup menguras tenaga.
“Tenang, tenang, Tessy....”
“Bagaimana harus tenang?!” teriakku. Hmm..., ternyata tenaga dan suaraku lumayan cepat pulih. “Dalam cokelat White Day-ku kali ini aku juga menyelipkan surat cin...”
“Kau sudah pernah mengatakannya...,” potong Carota.
“Ah... Kau telah membuatku kehilangan kesempa....”
“Itu juga sudah pernah....”
“Oh!” Mataku berputar-putar sesaat, mencoba mengingat-ingat apa yang ingin dan belum kukatakan. “Aku harus buka mata lebar-lebar, melirik yang punya....”
“Itu juga sudah pernah, Tessy... Bukan hanya hari ini, setahun lalu, sebulan lalu, kau juga sudah pernah mengungkapkan bahwa kau ingin menikah dengan pria yang punya Toyota, Mazda, atau BMW....”
“Ohya... Sebenarnya Ethan punya Toyota... Tapi... tapi... Ah, gara-gara kau...,” suaraku terdengar kecewa.
“Evan juga baik, ‘kan? Coba saja kalian pacaran dulu....”
“Tidak, tidak, tidak...! Sekarang kau harus katakan kepada Evan...”
“Tessy, apa yang ingin kau katakan kepadaku...?”
Wuiiih...! Makhluk bernama Evan ternyata sudah muncul di hadapanku, memamerkan senyum iklan pasta giginya yang semakin membuat bibirnya terlihat dower! Kulitnya hitam mengkilap memantulkan cahaya matahari yang menyilaukan! Kata orang tua zaman dulu, orang yang langsung muncul ketika dibicarakan adalah orang yang berumur panjang! Eh, apa hubungannya?
“Mengapa tak langsung mengatakannya saja kepadaku, Tessy?” Evan mendekat, kemudian meraih tanganku—meniru-niru gaya bintang Bollywood—seakan dia memang telah memilikiku.
“Eh... Aku...” Mataku berkejap-kejap. Ke mana hilangnya bakat omelku?! Begitu Evan muncul, langsung aku kehilangan kata-kata.
“Aku sudah membaca isi suratmu yang super romantis itu.”
“Sebenarnya...”
“Sebenarnya kau sudah lama menyukaiku. Wajahku tampan. Melihatku seakan melihat pangeran yang berjalan di atas pelangi seribu warna. Aku bulanmu. Aku bintangmu. Ah, kau tak perlu mengatakan isi suratmu lagi, Tessy. Aku masih menghafalnya dengan tepat,” Evan membuka aibku dengan wajah tanpa dosa!
Kuperhatikan, Carota sedang diam-diam ketawa geli di sebelahku. Huh! Bukannya ini salahnya?!
Honey....” Evan semakin menjadi-jadi. “Malam Minggu kita kencan, yuk?!”
Dhuaaar! Kepalaku serasa meledak menjadi tujuh puluh keping. Bubur yang dimakan semasa bayi pun serasa akan termuntahkan.
*
MALAM Minggu.
Dengan mengenakan pakaian terjelek yang kumiliki, berdua dengan Evan kami duduk di sebuah meja kecil di tepi jalan. Aku berandai, bila yang kini satu meja denganku adalah Ethan, mungkin kami sedang berada di restoran mewah, dan tentunya pakaian yang kupilih juga lain.
Jangan salah paham! Malam ini aku memenuhi ajakan Evan bukan karena aku telah ikhlas mengikuti jejak Mama. Butuh ketegasan! Aku sudah mengumpulkan keberanian sebesar mungkin, untuk menjelaskan kepada Evan bahwa aku bukan miliknya. Semoga saja ia tidak pingsan seketika dan beranjak dari tempat ini dengan menumpangi mobil ambulan.
“Evan...,” aku berusaha untuk mengeluarkan suara selembut mungkin, karena sebenarnya aku juga tak tega mengecewakan Evan.
“Ada apa, Say...?” balas Evan dengan suara yang tak kalah lembut. Panggilan manisnya untukku telah berubah lagi.
“Aku minta maaf. Sebenarnya... suratku itu bukan untukmu....”
Alis Evan terangkat. Bibir dowernya membentuk huruf O. Aku tidak menemukan tanda-tanda seseorang yang disambar petir pada ekspresi wajahnya. Dia terkejut, namun sepertinya tidak terlalu terkejut.
“Ini salah paham...,” tambahku.
“Oh....” Evan menggaruk-garuk kepalanya sesaat. “Tak masalah. Salah paham itu memang sering terjadi.”
“Kau tak marah, ‘kan?”
“Tentu tidak! Kita masih bisa berteman, ‘kan?” Evan tersenyum. Ternyata sikapnya cukup dewasa.
“Terima kasih....”
Kami diam untuk waktu yang cukup lama, sebelum kemudian Evan bertanya, ”Ohya, kau suka dengan cincin emasnya? Aku tak pintar memilih cincin perempuan sebenarnya...”
“Cincin?” Alisku terangkat. “Cincin apa?”
“Kau tak tahu?”
“Hah?” Aku semakin kebingungan.
“Kau tak menemukan cincin itu dalam cokelat?”
“Cokelat yang mana?”
“Itu..., cokelat yang kucetak sendiri, yang kuberikan kepadamu di Hari Valentine.”
“Apa?!” Aku bangkit dari duduk. “Ada cincin emas di dalamnya?! Se...serius?!”
Evan mengangguk.
Kepalaku tiba-tiba berdenyut-denyut. Teringat olehku, sore itu, begitu pulang kerja aku bertemu dengan anak bibiku yang datang dari Amerika, dan tanpa rasa bersalah kepada Evan, langsung saja cokelat jelek itu kuberikan kepada anak bibiku. Anak kecil itu menggigitnya dua kali—mungkin rasa cokelat jelek itu tak sebanding dengan cokelat-cokelat Amerika—kemudian ia membuangnya ke tong sampah!
Oh, mengapa pandanganku menjadi buram?!
Samar-samar aku mendengar suara Evan memanggil-manggil namaku dengan panik, kemudian berseru, “Cepat panggil ambulan!”
Segalanya menjadi gelap dan senyap...
*
Awal Pebruari, 2012
http://myartdimension.blogspot.com
lea.willsen@gmail.com

3 comments:

  1. Posting terus Bang, cerpen2 yang baru.
    Terima kasih

    ReplyDelete
  2. Saya mohon izin untuk membuat link dari Art Dimension ke blog saya. Terimakasih

    ReplyDelete
  3. Terima kasih kembali. Oh, silakan...

    ReplyDelete

Silakan centang "Notify me" agar Anda memeroleh pemberitahuan.