Wednesday, February 15, 2012

Dua Tangkai Mawar


Dua Tangkai Mawar
Oleh: Lea Willsen
Malam ini aku mengemudi pulang dari acara arisan dengan perasaan yang kalut. Betapa tidak? Hari ini ternyata adalah Hari Valentine, sebuah hari yang sama sekali tidak istimewa bagiku. Gara-gara momen itu, aku terpaksa mendengar cerita-cerita roman picisan dari teman-teman arisan tadi, sambil menanggapi mereka dengan senyum palsu. Sumi, suaminya romantis, memberikannya seikat bunga di pagi buta. Risanty, meskipun suaminya sedang di luar kota dan tidak membawakannya apa pun, tetapi tetap ada sebuah ucapan tulus untuknya melalui telepon. Apalagi Lorin yang selalu membangga-banggakan suami beserta kekayaan mereka, sore tadi suaminya menghadiahkannya sebuah cincin emas putih yang berhiaskan berlian. Perempuan itu seolah menjadi pemeran utama dalam acara malam ini. Mungkin ia tidak sadar, ia sudah terlalu banyak bicara. Setiap kata-katanya seperti pisau yang menyayat hatiku. Segala sesuatu yang dimilikinya, baik barang berharga ataupun kasih sayang dari suaminya, seolah membuat diriku menjadi kecil, malang, dan memalukan!
Ya, meskipun ada juga suami beberapa teman—seperti Tanti, Anisa, Nurul, dan Dina—yang tidak romantis dan sama sekali tidak mengenal Hari Valentine, tetapi setidaknya hubungan mereka harmonis, tak seperti aku dan Irwan yang akan segera bercerai. Pria itu bukan tidak mengenal Hari Valentine, tetapi di hatinya kini aku bukanlah siapa-siapa, selain perempuan yang selalu menjadi lawan tengkarnya. Bila tadi aku memaparkan aib rumah tanggaku, bisa jadi aku akan menggantikan Lorin untuk menjadi pusat perhatian. Namun, untuk apa kulakukan semua itu? Agar aku terlihat semakin malang? Agar teman-temanku menggeleng-gelengkan kepala dengan perasaan prihatin? Atau agar aku sendiri menangis terisak-isak di sana?
Benar saja, kadang aku merasa diri sendiri begitu bodoh, terlalu sering menitikkan airmata setiap mengingat sikap pria itu kepadaku. Di mana pun, setiap kali mengungkit tentang dirinya kepada orang lain, aku tak mampu menahan diri untuk tidak menitikkan airmata yang sia-sia. Aku selalu merasa tak ikhlas atas sikapnya terhadap diriku. Meskipun ia adalah suami yang kupilih sendiri melalui proses pacaran selama lima tahun, namun kini ia telah banyak berubah. Dia bukan Irwan yang kucintai, Irwan yang pernah membuatku jatuh hati kepadanya, dan menyerahkan hidupku kepadanya.
Kenangan indah lima belas tahun lalu masih sering terbayang olehku. Irwan pertama kali menyatakan cintanya kepadaku di Hari Valentine. Tangan kirinya menggenggam seikat besar mawar indah. Tangan kanannya memeluk seekor boneka beruang besar. Dan untuk memanggil pintu rumah orangtuaku, ia tak lagi memiliki tangan untuk memencet bel ataupun mengetuk pintu. Ceritanya di kemudian hari, ia sempat kebingungan saat itu. Ia ingin memanggil dengan mulut, tetapi merasa malu dan belum memiliki keberanian yang cukup. Ia terus mengintip dari luar, berharap aku kebetulan keluar. Dan ternyata orang yang keluar adalah papaku. Ia semakin merasa tegang dan panik. Namun syukurlah, papaku cukup ramah dan mengizinkannya masuk untuk menemuiku. Kadang aku bisa tersemyum sendiri bila mengingat kenangan itu. Tetapi, tak jarang juga berakhir dengan turunnya airmata.
Tiba-tiba jalanan menjadi terlihat buram. Lekas aku menarik selembar tissue dari dasbor untuk mengeringkan airmataku. Ah, ternyata kali ini airmataku juga turun, bahkan disertai perasaan yang jauh lebih hancur dari biasanya. Bercerai adalah keinginanku beberapa tahun terakhir, dan baru disetujui Irwan kemarin malam—meskipun belum sah secara hukum—lalu untuk apa sekarang aku menangis lagi? Bukankah seharusnya aku harus bahagia karena tak perlu bertengkar lagi dengan Irwan kelak?
Nasihat Mama, aku sudah menikah sepuluh tahun dengan Irwan, sudah berjuang mempertahankan rumah tangga kami demikian lama, maka semestinya harus tetap mampu dipertahankan lagi. Masa-masa sulit pasti akan terlewatkan. Kalau ada masalah, komunikasikan secara baik. Aku rasa, Mama terlalu percaya diri, karena kenyataannya masalah lebih buruk dari apa yang hanya sebagian kecil aku izinkan ia tahu, agar orang tua itu tak ikut-ikutan larut dalam penderitaanku.
Mama mungkin tak tahu, selain memeroleh status menikah dan menjadi seorang isteri dan ibu, sebenarnya keluarga Irwan sama sekali tak pernah menghargai dan mengakuiku sebagai bagian dari keluarga mereka. Mereka kerap menganggapku seperti orang luar. Padahal aku sama sekali tak tahu di mana letak kesalahanku. Semua sikap memusuhiku itu tiba-tiba saja mereka perlihatkan kepadaku tanpa alasan jelas.
Bulan pertama aku pindah dan tinggal dengan mereka, ibu mertuaku sudah mulai meluncurkan kalimat-kalimat sindiran dari mulutnya, hanya karena Irwan memberikanku sepotong baju yang sebenarnya tidak kuminta. Air mukanya gelap setiap melihatku. Untuk hari-hari berikutnya, ia—ibu mertuaku—pun mulai meracuni pikiran putranya agar membenciku. Mungkin ia tak senang bila Irwan bersikap baik kepadaku. Ia ingin Irwan selalu mengasihinya, daripada aku. Ia juga sering menghasut Irwan, agar jangan mau jujur mengakui jumlah gaji dari hasil kerjanya sebagai karyawan perkantoran. Aku kerap dibohongi dengan berbagai alasan yang tidak masuk akal. Mungkin mereka berpikir, aku akan tega menghamburkan seluruh kekayaan mereka yang sebenarnya tidak seberapa itu. Seburuk itukah aku di mata mereka?! Lantas mereka telah lupa atau pura-pura lupa, ketika Irwan mengalami kecelakaan lalu lintas delapan tahun lalu, papakulah yang bantu membiayai biaya berobatnya.
Bukan bermaksud hendak menilai segala sesuatu dari segi uang atau mengungkit-ungkit jasa papaku, tetapi aku hanya berharap, dapat membina rumah tangga yang harmonis bersama Irwan, tanpa harus mendapatkan masalah-masalah yang didatangkan oleh pihak eksternal—bukan dari kami berdua.
Semula Irwan masih terus bertahan di bawah tekanan mamanya. Namun, sesedikit apa pun tindakan baik yang ia berikan untukku, selalu saja mendatangkan sindiran-sindiran dari mamanya. Ujung-ujungnya hal itu sering berakhir menjadi pertengkaran. Irwan berada pada posisi yang serba salah. Ketika mamanya menuntut, ia akan bertengkar dengan mamanya untuk membelaku. Dan ketika aku yang menuntut, ia juga akan bertengkar denganku untuk membela mamanya. Keluarga kami menjadi tidak tenang.
Dua tahun terakhir, mungkin Irwan tak tahan lagi dengan suasana keluarga kami yang menurutku seperti neraka. Ia telah berhenti menjadi karyawan. Barengan bersama seorang sahabatnya, ia membuka sebuah usaha rumah makan. Di sanalah pelariannya untuk membunuh waktu hingga larut malam baru pulang. Aku juga sama, daripada berdiam diri di rumah menghadapi wajah gelap mertuaku, berbekal mobil bekas pemberian Papa, aku kerap bepergian di luar rumah—kadang pulang ke rumah orangtua, berkumpul bersama teman, atau pergi ke tempat-tempat lain yang lebih menjanjikan ketenangan batin—meninggalkan si kecil di rumah dijaga oleh Mbok Iyem.
Terakhir kali aku bertengkar dengan Irwan adalah kemarin malam. Aku memintanya untuk mengantarkanku ke tempat acara arisan hari ini, dengan harapan teman-temanku yang melihat hal itu dapat menduga bahwa hubungan kami masih harmonis. Dia menolak. Dia memang tak pernah memiliki waktu, bila berkaitan dengan kepentinganku. Aku sudah lama memendam rasa kesal atas sikapnya itu. Kemudian aku mengutarakan keinginan bercerai kepadanya untuk yang sekian kalinya. Ia membisu seperti biasa. Aku semakin geram dan memukulinya. Emosinya meledak, dan akhirnya menyetujui keinginanku.
Aku lelah menjalani semua ini. Bila bercerai memang solusi terbaik, maka aku mengikhaskan Irwan untuk selamanya menjadi milik mertuaku seutuhnya.
Tanpa sadar mobil tuaku telah tiba di depan pintu neraka—rumah keluarga Irwan—yang sebentar lagi akan kutinggalkan. Aku memasukkan mobil ke dalam bagasi tanpa dibantu siapa pun, kemudian berjalan masuk dan menemukan dua tangkai mawar di atas meja!
Jantungku berdegup kencang! Mawar dari Irwan-kah?! Tak dapat dipungkiri, sebenarnya hingga kapan pun aku masih mengharapkan Irwan yang dulu membawakan seikat mawar dan boneka beruang akan kembali hadir dalam kehidupanku. Segera aku menghampiri meja. Masing-masing mawar itu ditempeli secarik kertas.
Kertas pertama yang kubaca: I love you, Mom...
Kertas kedua: I love you, Dad...
Seketika airmataku tumpah membaca dua kalimat yang ditulis dengan tulisan tangan yang bergelombang dan keriting itu. Ketika orang dewasa telah melupakan makna cinta, tetapi anak kecil tidak! Ia mengungkapkan rasa cinta itu dengan polosnya kepada aku dan Irwan yang sebentar lagi akan bercerai, dan memisahkannya dari salah satu di antara kami!
Sepasang langkah kaki menghampiriku dari belakang. Aku menoleh. Ternyata Irwan juga pulang. Lekas aku menghapus airmata, kemudian menyerahkan setangkai mawar kepada Irwan. Pria itu membaca kalimat yang tertulis pada kertas yang ditempel pada mawar itu. Ia tak berkata apa pun. Matanya berkaca-kaca...
***
Akhir Januari, 2012
Ilustrasi: Biolen Fernando Sinaga

No comments:

Post a Comment

Silakan centang "Notify me" agar Anda memeroleh pemberitahuan.