Monday, February 27, 2012

Jangan Tergesa-gesa Menerbitkan Buku


Oleh: Lea Willsen
Andai seorang penyanyi bercita-cita menyelenggarakan konser, dan seorang dokter bercita-cita membuka klinik, maka tak heran, ketika seorang penulis juga bercita-cita menerbitkan buku. Namun, tentu menerbitkan buku bukan sebuah proses yang mudah, bahkan sama sekali tak boleh tergesa-gesa bila tak ingin 'terkapar'.
Sehari sebelum artikel ini ditulis, sebulan sebelum artikel ini ditulis, bahkan sudah berkali-kali, penulis mendengar curhat atau ungkapan-ungkapan yang didasari sebuah harapan besar untuk menerbitkan buku, dari teman-teman yang juga sejalan; mereka yang tertarik pada dunia sastra.
Pada dasarnya, rata-rata proses kreativitas seorang penulis ada tingkatan-tingkatannya, dimulai dari membaca, mengamati, belajar, mencoba, mengirimkan karya-karya ke media cetak, terus berlatih, kemudian membangun image di mata pembaca, agar langkah demi langkah ke depan terasa lebih mulus. Tak ada satu pun keberhasilan yang tanpa didasari usaha, lantas tercapai secara instan.
Tergesa-gesa untuk menerbitkan buku, bisa diibaratkan hendak menggunakan pedang tanpa pegangan, atau menyusun puzzle seribu keping dalam lima menit. Itu sulit, kendati bukan berarti mustahil, bila yang bersangkutan memang luar biasa!
Tema yang diangkat oleh penulis pada kesempatan kali ini adalah fakta, bukan sekadar sok tahu ataupun sok menggurui. Seorang penulis wajib memahami sistem kerja dan proses untuk menerbitkan buku terlebih dulu, sebelum tergesa-gesa ‘menyerang’ penerbit.
Sistem Kerja Penerbit
Penerbit adalah sebuah perusahaan yang tak semata bergerak untuk mendukung kegiatan serta kreativitas dunia sastra secara cuma-cuma. Di balik segala lelah dan modal yang ditanamkan, tentu juga bertujuan mendatangkan keuntungan berupa materi. Diterima atau tidaknya sebuah naskah, tentu utamanya dinilai dari apakah akan mendatangkan untung kepada penerbit atau tidak. Dalam hal ini, seorang penulis wajib memaksimalkan kemampuan untuk menghasilkan karya yang benar-benar mutlak memiliki selling point. Tak ada yang namanya cukup mengandalkan editor, sementara penulis tinggal menuliskan apa yang hendak ditulis tanpa diolah menjadi indah terlebih dulu.
Di sisi lain, kerjasama antara penerbit dan penulis terikat dengan peraturan-peraturan pada SPP (Surat Perjanjian Penerbitan) yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Untuk buku yang diterbitkan, seorang penulis berhak memeroleh keuntungan, baik berupa sistem jual lepas dengan harga yang telah ditentukan, ataupun royalti 10%, 15%, atau 20% dari harga jual buku. Masing-masing penerbit menerapkan sistem pembayaran royalti yang berbeda. Umumnya royalti dibayar enam bulan sekali berdasarkan data penjualan. Namun beberapa penerbit akan membayar uang muka sebesar 25% dari total pendapatan royalti jumlah buku yang dicetak begitu buku terbit.
Misalkan buku dicetak 5,000 jilid, harga jual buku 20,000 rupiah dengan royalti 10% (2,000 rupiah per jilid), maka begitu buku terbit penerbit pun menganggap buku telah terjual habis dan memberi penulis 25% dari total royalti 5,000 jilid buku (25% total royalti = 2,5 juta rupiah). Bila pada periode pembayaran berikutnya ternyata hasil penjualan belum mencapai 25% dari jumlah buku yang dicetak, maka untuk sementara penulis tidak memeroleh royalti dan harus menunggu periode pembayaran berikutnya.
Dengan total pemasukan kotor senilai 100 juta rupiah dari 5,000 jilid buku yang dijual seharga 20,000 rupiah, maksimal penulis dapat memeroleh keuntungan 10 juta rupiah. Tentu itu cukup adil, mengingat segala bentuk biaya cetak dan distribusi sepenuhnya dibebankan kepada penerbit. Untuk satu judul saja, penerbit harus menanamkan modal puluhan juta rupiah (tergantung jumlah cetakan).
Self Publisher
Selain mengandalkan modal penerbit, masih ada opsi lain yang memungkinkan penulis bersangkutan untuk menerbitkan buku dengan mengandalkan modal pribadi. Biasanya penerbit demikian disebut penerbit indie, atau yang kini lebih dikenal self publisher.
Menerbitkan buku secara indie tentu bukan lagi hal baru. Untuk penulis yang berminat, silakan menyediakan modal puluhan juta rupiah (tergantung jumlah cetak), selebihnya masalah edit, layout, desain, cetak, terbit, distribusi, segalanya dikerjakan oleh penerbit. Namun ini metode lama, meskipun hingga kini masih banyak penerbit yang setia menerapkan sistem kerja sama demikian.
Untuk sistem menerbitkan buku secara indie yang lebih baru serta populer, seorang penulis cukup membayar biaya antara 350 ribu rupiah hingga 500 ribu rupiah, buku sudah dapat diterbitkan secara POD (print on demand—dicetak bila ada permintaan) yang biasanya dijual secara online.
Mungkin hal tersebut bisa diartikan sebagai 'angin segar'. Ketika biasanya naskah sering hanya bolak-balik ditolak dan berujung tersimpan rapi di dalam laci, kini untuk menerbitkannya menjadi buku ber-ISBN (international standard book number—penomoran buku standar internasional) sudah semudah membalikkan telapak tangan.
Akan tetapi, sebelum memutuskan untuk menerbitkan buku secara POD, seorang penulis harus mempertimbangkan segalanya secara matang. Buku hanya dijual secara online, dalam arti tidak semua peminat paham cara membeli barang secara online. Di sisi lain, ongkos kirim dari satu kota ke kota lain juga cukup memberatkan. Secara otomatis, besar kemungkinan angka penjualan buku online tak akan sanggup menyaingi angka penjualan buku yang dipajang pada toko buku.
Apabila naskah berupa novel tebal yang proses pembuatannya cukup menguras tenaga, sebaiknya tidak diterbitkan secara POD, karena keuntungan dari royalti yang diperoleh tak akan sebanding dengan pengeluaran biaya terbit. Kecuali bila naskah berupa kumpulan puisi, cerita pendek, atau cerita bersambung yang sudah pernah diterbitkan oleh media cetak. Atau, penulis bersangkutan sekadar ingin mewujudkan cita-cita menerbitkan buku, tanpa memperhitungkan untung rugi.
Proses Pengiriman Naskah
Tahap berikutnya adalah memahami proses pengiriman naskah yang tentunya juga tak kalah penting. Mengirimkan naskah kepada penerbit, ibarat menitipkan anak kepada orang lain. Untuk itu, pastikanlah penerbit bersangkutan adalah penerbit yang dapat dipercaya.
Cari tahu sistem kerja penerbit bersangkutan atau tanyakanlah secara langsung kepada penerbit tersebut. Apabila masih tetap merasa ragu, tanyakanlah kepada penulis lain yang sudah pernah bekerja sama dengan penerbit tersebut, apakah penerbit tersebut dapat dipercaya atau tidak.
Beberapa penerbit mewajibkan naskah dikirim dalam bentuk hardcopy (via pos). Namun, ada juga beberapa penerbit yang mewajibkan naskah dikirim dalam bentuk softcopy (via email). Untuk itu, tanyakanlah secara langsung kepada penerbit bersangkutan.
Bila naskah telah dikirim, tanyakanlah proses penilaian membutuhkan waktu berapa lama. Biasanya antara setengah bulan hingga setengah tahun, tergantung jumlah naskah yang diterima oleh penerbit tersebut. Apabila hasil belum keluar setelah melewati batas waktu yang dijanjikan, tanyakanlah kembali kepada penerbit tersebut, sudah sejauh mana proses penilaian berlangsung.
Berhati-hatilah kepada beberapa self publisher—tak perlu ‘tunjuk hidung’—yang tidak bersikap jujur dalam memberikan rincian biaya. Semisal ISBN yang telah digratiskan sejak Januari 2011, tetapi terhadap penulis masih dipungut biaya. Berdasarkan pendapat seorang teman yang juga bergerak di bidang penerbitan indie, banyak penerbit indie yang melipatgandakan biaya terbit. Untuk itu, seorang penulis harus selalu mengikuti perkembangan.
Penutup
Menaruh harapan untuk dapat menerbitkan buku, juga harus memiliki persiapan mental jika naskah ditolak. “Harry Potter and the Philosopher’s Stone” karya JK Rowling, mengalami 14 kali penolakan. “A Wrinkle in Time” karya Madeleine L’ Engle, mengalami 29 kali penolakan. “A Time to Kill” karya John Grisham, mengalami 45 kali penolakan. Ketiga nama penulis yang disebutkan di atas adalah penulis-penulis yang telah dikenal dunia. Sobat, siap menerima tantangan?! Segalanya berpulang kepada diri sendiri!
***
Awal Januari, 2012

Wednesday, February 15, 2012

Dua Tangkai Mawar


Dua Tangkai Mawar
Oleh: Lea Willsen
Malam ini aku mengemudi pulang dari acara arisan dengan perasaan yang kalut. Betapa tidak? Hari ini ternyata adalah Hari Valentine, sebuah hari yang sama sekali tidak istimewa bagiku. Gara-gara momen itu, aku terpaksa mendengar cerita-cerita roman picisan dari teman-teman arisan tadi, sambil menanggapi mereka dengan senyum palsu. Sumi, suaminya romantis, memberikannya seikat bunga di pagi buta. Risanty, meskipun suaminya sedang di luar kota dan tidak membawakannya apa pun, tetapi tetap ada sebuah ucapan tulus untuknya melalui telepon. Apalagi Lorin yang selalu membangga-banggakan suami beserta kekayaan mereka, sore tadi suaminya menghadiahkannya sebuah cincin emas putih yang berhiaskan berlian. Perempuan itu seolah menjadi pemeran utama dalam acara malam ini. Mungkin ia tidak sadar, ia sudah terlalu banyak bicara. Setiap kata-katanya seperti pisau yang menyayat hatiku. Segala sesuatu yang dimilikinya, baik barang berharga ataupun kasih sayang dari suaminya, seolah membuat diriku menjadi kecil, malang, dan memalukan!
Ya, meskipun ada juga suami beberapa teman—seperti Tanti, Anisa, Nurul, dan Dina—yang tidak romantis dan sama sekali tidak mengenal Hari Valentine, tetapi setidaknya hubungan mereka harmonis, tak seperti aku dan Irwan yang akan segera bercerai. Pria itu bukan tidak mengenal Hari Valentine, tetapi di hatinya kini aku bukanlah siapa-siapa, selain perempuan yang selalu menjadi lawan tengkarnya. Bila tadi aku memaparkan aib rumah tanggaku, bisa jadi aku akan menggantikan Lorin untuk menjadi pusat perhatian. Namun, untuk apa kulakukan semua itu? Agar aku terlihat semakin malang? Agar teman-temanku menggeleng-gelengkan kepala dengan perasaan prihatin? Atau agar aku sendiri menangis terisak-isak di sana?
Benar saja, kadang aku merasa diri sendiri begitu bodoh, terlalu sering menitikkan airmata setiap mengingat sikap pria itu kepadaku. Di mana pun, setiap kali mengungkit tentang dirinya kepada orang lain, aku tak mampu menahan diri untuk tidak menitikkan airmata yang sia-sia. Aku selalu merasa tak ikhlas atas sikapnya terhadap diriku. Meskipun ia adalah suami yang kupilih sendiri melalui proses pacaran selama lima tahun, namun kini ia telah banyak berubah. Dia bukan Irwan yang kucintai, Irwan yang pernah membuatku jatuh hati kepadanya, dan menyerahkan hidupku kepadanya.
Kenangan indah lima belas tahun lalu masih sering terbayang olehku. Irwan pertama kali menyatakan cintanya kepadaku di Hari Valentine. Tangan kirinya menggenggam seikat besar mawar indah. Tangan kanannya memeluk seekor boneka beruang besar. Dan untuk memanggil pintu rumah orangtuaku, ia tak lagi memiliki tangan untuk memencet bel ataupun mengetuk pintu. Ceritanya di kemudian hari, ia sempat kebingungan saat itu. Ia ingin memanggil dengan mulut, tetapi merasa malu dan belum memiliki keberanian yang cukup. Ia terus mengintip dari luar, berharap aku kebetulan keluar. Dan ternyata orang yang keluar adalah papaku. Ia semakin merasa tegang dan panik. Namun syukurlah, papaku cukup ramah dan mengizinkannya masuk untuk menemuiku. Kadang aku bisa tersemyum sendiri bila mengingat kenangan itu. Tetapi, tak jarang juga berakhir dengan turunnya airmata.
Tiba-tiba jalanan menjadi terlihat buram. Lekas aku menarik selembar tissue dari dasbor untuk mengeringkan airmataku. Ah, ternyata kali ini airmataku juga turun, bahkan disertai perasaan yang jauh lebih hancur dari biasanya. Bercerai adalah keinginanku beberapa tahun terakhir, dan baru disetujui Irwan kemarin malam—meskipun belum sah secara hukum—lalu untuk apa sekarang aku menangis lagi? Bukankah seharusnya aku harus bahagia karena tak perlu bertengkar lagi dengan Irwan kelak?
Nasihat Mama, aku sudah menikah sepuluh tahun dengan Irwan, sudah berjuang mempertahankan rumah tangga kami demikian lama, maka semestinya harus tetap mampu dipertahankan lagi. Masa-masa sulit pasti akan terlewatkan. Kalau ada masalah, komunikasikan secara baik. Aku rasa, Mama terlalu percaya diri, karena kenyataannya masalah lebih buruk dari apa yang hanya sebagian kecil aku izinkan ia tahu, agar orang tua itu tak ikut-ikutan larut dalam penderitaanku.
Mama mungkin tak tahu, selain memeroleh status menikah dan menjadi seorang isteri dan ibu, sebenarnya keluarga Irwan sama sekali tak pernah menghargai dan mengakuiku sebagai bagian dari keluarga mereka. Mereka kerap menganggapku seperti orang luar. Padahal aku sama sekali tak tahu di mana letak kesalahanku. Semua sikap memusuhiku itu tiba-tiba saja mereka perlihatkan kepadaku tanpa alasan jelas.
Bulan pertama aku pindah dan tinggal dengan mereka, ibu mertuaku sudah mulai meluncurkan kalimat-kalimat sindiran dari mulutnya, hanya karena Irwan memberikanku sepotong baju yang sebenarnya tidak kuminta. Air mukanya gelap setiap melihatku. Untuk hari-hari berikutnya, ia—ibu mertuaku—pun mulai meracuni pikiran putranya agar membenciku. Mungkin ia tak senang bila Irwan bersikap baik kepadaku. Ia ingin Irwan selalu mengasihinya, daripada aku. Ia juga sering menghasut Irwan, agar jangan mau jujur mengakui jumlah gaji dari hasil kerjanya sebagai karyawan perkantoran. Aku kerap dibohongi dengan berbagai alasan yang tidak masuk akal. Mungkin mereka berpikir, aku akan tega menghamburkan seluruh kekayaan mereka yang sebenarnya tidak seberapa itu. Seburuk itukah aku di mata mereka?! Lantas mereka telah lupa atau pura-pura lupa, ketika Irwan mengalami kecelakaan lalu lintas delapan tahun lalu, papakulah yang bantu membiayai biaya berobatnya.
Bukan bermaksud hendak menilai segala sesuatu dari segi uang atau mengungkit-ungkit jasa papaku, tetapi aku hanya berharap, dapat membina rumah tangga yang harmonis bersama Irwan, tanpa harus mendapatkan masalah-masalah yang didatangkan oleh pihak eksternal—bukan dari kami berdua.
Semula Irwan masih terus bertahan di bawah tekanan mamanya. Namun, sesedikit apa pun tindakan baik yang ia berikan untukku, selalu saja mendatangkan sindiran-sindiran dari mamanya. Ujung-ujungnya hal itu sering berakhir menjadi pertengkaran. Irwan berada pada posisi yang serba salah. Ketika mamanya menuntut, ia akan bertengkar dengan mamanya untuk membelaku. Dan ketika aku yang menuntut, ia juga akan bertengkar denganku untuk membela mamanya. Keluarga kami menjadi tidak tenang.
Dua tahun terakhir, mungkin Irwan tak tahan lagi dengan suasana keluarga kami yang menurutku seperti neraka. Ia telah berhenti menjadi karyawan. Barengan bersama seorang sahabatnya, ia membuka sebuah usaha rumah makan. Di sanalah pelariannya untuk membunuh waktu hingga larut malam baru pulang. Aku juga sama, daripada berdiam diri di rumah menghadapi wajah gelap mertuaku, berbekal mobil bekas pemberian Papa, aku kerap bepergian di luar rumah—kadang pulang ke rumah orangtua, berkumpul bersama teman, atau pergi ke tempat-tempat lain yang lebih menjanjikan ketenangan batin—meninggalkan si kecil di rumah dijaga oleh Mbok Iyem.
Terakhir kali aku bertengkar dengan Irwan adalah kemarin malam. Aku memintanya untuk mengantarkanku ke tempat acara arisan hari ini, dengan harapan teman-temanku yang melihat hal itu dapat menduga bahwa hubungan kami masih harmonis. Dia menolak. Dia memang tak pernah memiliki waktu, bila berkaitan dengan kepentinganku. Aku sudah lama memendam rasa kesal atas sikapnya itu. Kemudian aku mengutarakan keinginan bercerai kepadanya untuk yang sekian kalinya. Ia membisu seperti biasa. Aku semakin geram dan memukulinya. Emosinya meledak, dan akhirnya menyetujui keinginanku.
Aku lelah menjalani semua ini. Bila bercerai memang solusi terbaik, maka aku mengikhaskan Irwan untuk selamanya menjadi milik mertuaku seutuhnya.
Tanpa sadar mobil tuaku telah tiba di depan pintu neraka—rumah keluarga Irwan—yang sebentar lagi akan kutinggalkan. Aku memasukkan mobil ke dalam bagasi tanpa dibantu siapa pun, kemudian berjalan masuk dan menemukan dua tangkai mawar di atas meja!
Jantungku berdegup kencang! Mawar dari Irwan-kah?! Tak dapat dipungkiri, sebenarnya hingga kapan pun aku masih mengharapkan Irwan yang dulu membawakan seikat mawar dan boneka beruang akan kembali hadir dalam kehidupanku. Segera aku menghampiri meja. Masing-masing mawar itu ditempeli secarik kertas.
Kertas pertama yang kubaca: I love you, Mom...
Kertas kedua: I love you, Dad...
Seketika airmataku tumpah membaca dua kalimat yang ditulis dengan tulisan tangan yang bergelombang dan keriting itu. Ketika orang dewasa telah melupakan makna cinta, tetapi anak kecil tidak! Ia mengungkapkan rasa cinta itu dengan polosnya kepada aku dan Irwan yang sebentar lagi akan bercerai, dan memisahkannya dari salah satu di antara kami!
Sepasang langkah kaki menghampiriku dari belakang. Aku menoleh. Ternyata Irwan juga pulang. Lekas aku menghapus airmata, kemudian menyerahkan setangkai mawar kepada Irwan. Pria itu membaca kalimat yang tertulis pada kertas yang ditempel pada mawar itu. Ia tak berkata apa pun. Matanya berkaca-kaca...
***
Akhir Januari, 2012
Ilustrasi: Biolen Fernando Sinaga

Saturday, February 4, 2012

Trik Baru Membuat Status/Komentar Biru di FB

Sebelumnya, mungkin Anda telah pernah berhasil membuat status/komentar warna biru di FB (Facebook) dengan trik lain. Sayangnya, ternyata baru-baru ini banyak dari trik tersebut yang telah tidak berfungsi. Coba Anda gunakan trik baru berikut:

@@[2:[0:2:status/komentar yang ingin dibirukan]]

Contoh, bila Anda ingin menulis "baru selesai membaca", maka formatnya sebagai berikut: @@[2:[0:2:baru selesai membaca]].

Ketika trik ini dicoba pada tanggal 4 Februari 2012, masih berfungsi secara baik. Apabila di lain waktu--misalkan satu atau dua tahun kemudian--trik ini Anda coba dan ternyata telah tak berfungsi, mohon informasikan kepada Art Dimension. Oke?!


Salam,
Admin

Thursday, February 2, 2012

Bola Beton vs Atapers

Oleh : Lea Willsen.

Penumpang yang berdesak-desakan duduk di atas atap gerbong kereta api, pemandangan tersebut tentu tak lagi asing di negara kita, dan sering menjadi sorotan berbagai media, bahkan terakhir menjadi topik empuk dari media luar negeri. PT KAI sendiri, sebenarnya tidak hanya berdiam diri menanggapi permasalahan memprihatinkan tersebut. Berbagai upaya seperti memasang kawat duri, menyemprotkan cat warna, ataupun memasang pagar di beberapa titik sekitar rel kereta api sudah pernah dicoba. Sayang, bukan membuahkan hasil, tetapi peralatan-peralatan itu justru sengaja dilepas atau dirusak oleh penumpang yang ‘ngotot’ untuk menaiki atap gerbong, yang bila dibayangkan saja pastinya tak nyaman dan jauh dari aman.
Terakhir, Selasa 17 Januari lalu, PT KAI mulai melakukan upaya penertiban baru dengan memasangkan bola-bola beton seberat 3 kilo dengan jarak hanya 25 senti dari permukaan atap gerbong, dengan digantungkan pada tiang-tiang yang tertancap di sisi rel. Masing-masing tiang terdiri dari 12 biji bola beton. Dari pihak PT KAI, upaya tersebut diakui berjalan dengan efektif-atap gerbong menjadi bersih dari atapers (sebutan untuk para penumpang atap gerbong)-dan pemasangan masih akan terus dilanjutkan pada jalur-jalur lainnya. Akan tetapi, di sisi lain terjadi pro-kontra pada kalangan masyarakat mengenai keberadaan bola-bola beton tersebut.

Seorang penelepon pada sebuah acara berita televisi terang menunjukkan nada emosinya yang menyatakan kekecewaannya atas tindakan pemasangan bola beton yang dianggap hendak mencelakakan masyarakat. Di lain pihak, PT KAI juga dituding melanggar HAM. Lalu, pihak manakah yang semestinya disalahkan?!

Perlunya Kesadaran

Wajar ketika atapers merasa benci, atau takut melihat deretan bola beton yang bergelantungan 25 senti di atas atap gerbong. Praktis, dalam kejengkelan itu, tak ada yang berani lagi menumpang di atas sana. Namun, terlepas dari ada atau tidaknya bola beton, bukankah pada dasarnya duduk di atap gerbong memang sangat berbahaya?! Bukan hanya berbahaya bagi diri sendiri, tetapi juga orang lain! Berdasarkan apa yang diungkapkan oleh Kepala Pengamanan Daops I PT KAI, Achmad Sujadi yang diterbitkan pada salah satu media online, 2005 lalu pernah ada kejadian seorang penumpang yang duduk di dekat pintu kejatuhan penumpang dari atap, kemudian meninggal. Kalau sudah demikian, tiada guna menyesal ataupun menyadari kesalahan yang terlanjur menjelma maut.

Dan lagi, berbicara soal pelanggaran HAM, dari kacamata penulis, tudingan tersebut seolah-secara tidak langsung-mensahkan bahwa atap gerbong memang boleh ditumpangi siapa pun! Demikian juga atap taksi, bus, dan juga berbagai alat transportasi umum lainnya. Jika kereta api boleh, mengapa tidak mencoba pada yang lain? Hmm..., bisa dibayangkan betapa meresahkannya pemandangan tersebut. Padahal, sejak semula kita semua telah tahu bahwa tindakan tersebut merupakan suatu sikap ketidakpatuhan terhadap peraturan-peratuan yang telah diberlakukan. Dikarenakan kebiasaan melanggar, maka menaiki atap gerbong seolah menjadi hal yang wajar.

Di sisi lain, semestinya atapers juga harus bersikap dewasa untuk mempertimbangkan keselamatan, itu merupakan poin terpenting daripada alasan dan tuntutan apapun. Bola beton mungkin sepintas memang membuat kita menaruh benci pada pihak PT KAI, namun bila dipikirkan lebih dalam, PT KAI sendiri juga tidak memeroleh keuntungan apapun dengan semua tindakan itu yang malah membutuhkan biaya tambahan. Semua dilakukan demi tujuan kebaikan bersama; rasa nyaman dan aman bagi penumpang, serta menghindari kejadian yang tak diharapkan. Kalau terjadi sesuatu yang menyangkut melayangnya nyawa manusia, tentu PT KAI sendiri juga merasa tak adil bila dilibatkan sebagai pihak yang wajib bertanggung jawab.

Bola beton boleh diibaratkan sebuah kebijakan hukum yang berlaku pada suatu negara, untuk memelihara suatu keharmonisan. Ketika seseorang tak melakukan pelanggaran, tentu tak akan terjerat hukum. Dan ketika seseorang tidak menaiki atap gerbong, tentu tak perlu takut akan dicelakai oleh bola beton. Bukankah demikian?!

Harapan Masyarakat

Hal yang diyakini sebagai salah satu sebab atap gerbong sering dipadati penumpang ialah kurangnya daya tampung yang disediakan oleh PT KAI. Menyedihkan memang, ketika kita harus membatalkan suatu perjalanan karena kehabisan ruang di dalam gerbong. Apalagi bila berkaitan dengan tanggung jawab pekerjaan, keinginan untuk bersua dengan orang-orang terkasih yang telah lama berpisah.

Menanggapi keluhan masyarakat, PT KAI juga berencana mengatasi masalah tersebut dengan menambah armada atau gerbong. Masyarakat tentu berharap, agenda tersebut tidak sekadar agenda, dan dapat direalisasikan sesegera mungkin guna menjawab kebutuhan masyarakat. Bola beton efektif mencegah naiknya penumpang di atas atap gerbong, namun tentu hanya bersifat sementara waktu, sebelum semuanya berubah menjadi amarah dan masalah baru yang lebih besar, bila PT KAI tidak sigap untuk memberikan perlayanan terbaik.

Akhirnya, mari dinginkan kepala untuk menilai dari segi positif, dan selesaikanlah masalah ini tepat pada sasaran. Semoga!***