Oleh: Liven R
Tanjung Balai, medio Mei 2006.
SIANG ini, pengunjung cukup ramai memadati counter kami. Dari yang sekadar bertanya harga ponsel dan spesifikasinya hingga yang benar-benar membeli. Tak heran, sebab ini adalah hari Sabtu, sebagian orang memang hanya bekerja setengah hari.
Dreettt… Dreett…! Ponsel di sakuku bergetar. Tak begitu kuhiraukan. Aku sedang sibuk mencari aksesoris ponsel yang diminta pelanggan. Tapi, tak lama kemudian ponselku kembali bergetar.
“Halo?” terdengar suara seorang gadis di seberang telepon.
“Siapa, ya? Mau cari siapa?” balasku kepada si pemilik suara asing sekaligus nomor yang tak kukenal.
“Meri? Ini Meri, ‘kan?” tanyanya lagi.
“Oh, bukan. Maaf, sepertinya kamu salah sambung, ya?!” ucapku buru-buru sambil mematikan ponselku setelahnya. Ya, tak ada waktu untuk mengobrol di telepon, apalagi di saat sibuk begini.
Akan tetapi, ponselku kembali bergetar tak lama kemudian. Oalah! Siapa lagi? Batinku.
‘Maaf, Kak. Tadi aku salah telepon. Boleh kenalan? Namaku Della,’ sebaris teks SMS masuk dari nomor asing barusan.
‘Baiklah. Tak mengapa. Namaku Lastri Angelani,’ balasku melalui SMS sore itu sepulang kerja menjelang malam.
***
Awal Juni 2006.
Mengenal Della, telah mengawali satu babak cerita baru dalam hidupku. Della yang merupakan putri tunggal di keluarganya, kerap menceritakan banyak hal kepadaku semenjak SMS perkenalan kami dimulai. Dalam berbagai curhatnya, Della sepertinya telah menganggapku sebagai kakaknya sendiri.
Dari Della juga, akhirnya aku mengenal Wendy, abang kandungnya. Sama seperti Della, Wendy juga kerap bercerita banyak hal kepadaku. Masalah keluarga mereka, apa saja yang terjadi menyangkut pekerjaannya di kota domisili mereka, Rantau Prapat, hingga cerita tentang mantan pacarnya. Sebagai teman, sebisa mungkin aku tampil sebagai pendengar dan sesekali pemberi solusi bagi Della dan Wendy.
Meski aku dan Wendy berbeda usia cukup jauh—aku 29 tahun dan Wendy 24 tahun, Wendy selalu mengatakan dia nyaman mengobrol denganku. Dan, dalam usia pertemanan kami yang hanya sesingkat sebulan lamanya, aku mampu merasakan sinyal-sinyal cinta yang dikirim Wendy untukku.
Namun, aku mencoba menyangkal bahwa aku mulai menyukai Wendy, sebab perbedaan usia dan kota yang berlainan, selalu menjadi alasanku untuk mengingkari adanya rasa yang sama antara aku dan Wendy.
***
Akhir Juni 2006.
“Kak Lastri, mau, ya, menjadi pacar Bang Wen?” untuk kesekian kalinya Della menanti jawabku.
“Della, aku….”
“Ah, Kak Lastri… Bang Wen sangat menyukai Kakak… Jangan kecewakan kami, Kak. Terimalah Bang Wen,” ucap Della lagi di ujung telepon.
“Della, aku tak yakin bisa menjadi pacar abangmu, karena kita berbeda usia dan kota, Del…, meskipun aku sesungguhnya juga menyukai Wendy…”
“Nah, itu sudah cukup, Lastri…!” Entah sejak kapan telepon telah beralih ke tangan Wendy. Oh, Tuhan, Wendy mendengar pengakuanku barusan!
“Wen, tidak sopan mencuri dengar pembicaraan orang lain!” sungutku berpura-pura marah.
“Aku tak mencuri dengar, Lastri. Kamu saja yang tak tahu….” Wendy tertawa, “…terima kasih sudah menerima cintaku. Mulai hari ini, kita adalah sepasang kekasih, Lastri…”
Aku sungguh tak tahu harus berkata apa lagi selain menyembunyikan rasa gembira sekaligus kegalauan hatiku mengingat hari-hariku selanjutnya dengan label sebagai kekasih Wendy dalam bentangan jarak di antara kami.
Malam itu, 28 Juni 2006, menjadi tanggal bersejarah dalam hidupku.
***
Tanjung Balai, medio Desember 2006.
“Wen, akhirnya kamu datang…,” bisikku sambil memandang wajah Wendy setelah acara saling salaman dan perkenalan dengan semua anggota keluargaku usai.
Wendy tersenyum dan menggenggam erat tanganku. Rasanya segala keraguan yang menghantui pikiranku selama ini sirna sudah dengan kedatangan pertama Wendy dan pertemuan kami di hari kedua Idul Fitri ini.
“Ya, aku tak ingin membohongimu, Lastri. Bukankah aku sudah berjanji akan datang?” Senyum mengembang di sudut bibir Wendy, “Apakah sekarang kamu masih meragukan cintaku?” Wendy menatapku lekat.
Kutundukkan kepalaku dan menggeleng kuat.
***
Rantau Prapat, April 2007.
Malam ini, langit Kota Rantau Prapat sungguh indah. Bintang-bintang yang bertaburan seolah hendak menemani bulan menghabiskan malam.
Ini adalah kedua kalinya Wendy mengajakku berjalan-jalan dan menginap di rumah orangtuanya. Bagiku, pertemuan kami yang berkisar setiap dua bulan sekali adalah masa-masa paling indah dan paling kunantikan
“Wen, sebelum kemari, ayah menanyakan keseriusan hubungan kita…,” aku tak melanjutkan kata-kataku untuk melihat reaksi Wendy.
“Aku tentu saja serius, Tri. Aku saat ini sedang bekerja keras untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Tiba saatnya, aku pasti akan menikahimu, Tri.”
Aku mengangguk dan merebahkan kepalaku di pundak Wendy. Sesungguhnya aku berharap bisa bertemu dengan Wendy tak hanya dua bulan sekali, melainkan sedikitnya setiap malam Minggu layaknya pasangan lain yang sedang memadu kasih. Akan tetapi, aku cukup mengerti dengan kesibukan Wendy dalam mengurus kebun sawit milik keluarganya di Rantau Prapat ini.
***
Tanjung Balai, Desember 2008.
“Wen, benarkah kamu akan tinggal dan bekerja di sini?”
“Ya, sudah kuputuskan demikian,” Wendy tersenyum. “Bukankah ini baik? Dengan begitu kita akan sering bertemu dan akan lengket seperti perangko…,” godanya lagi.
Aku tertawa dan mencubit lengannya.
“Ke rumahku, yuk?! Ibuku memasak makanan kesukaanmu, lho.”
Wendy mengangkat bahunya, “Ayo!”
Sambil bergandengan tangan, kami berjalan menelusuri sepanjang pesisir di bawah siraman cahaya mentari senja dan melewati beberapa nelayan yang sedang bersiap-siap melaut.
Kedatangan Wendy dan keputusannya untuk tinggal di Tanjung Balai ini, telah membawa kegembiraan dan menghapus kesedihanku atas kepergian ayah menghadap sang Khalik tiga bulan yang lalu akibat penyakit jantung.
Aku tahu, bukan hanya aku yang merasakan kegembiraan ini, melainkan ibu dan Bang Andri—abang sulungku—juga. Sebab, mereka amat menyayangiku dan juga Wendy. Bagi ibu dan Bang Andri, Wendy sudah bagaikan anak dan saudara sendiri.
***
Medio Oktober 2009.
Belum setahun aku menikmati kebersamaan dengan Wendy di kota yang sama, aku kembali harus menghadapi kenyataan untuk menjalin hubungan jarak jauh dengannya akibat usahanya yang gagal di Tanjung Balai ini.
“Aku tak punya pilihan lain, Tri. Keadaan semakin sulit. Aku terpaksa pulang ke Rantau…,” ucap Wendy siang itu.
“Lalu… Bagaimana dengan aku? Bagaimana dengan kita?” Aku tak dapat menyembunyikan kesedihanku mendengar Wendy akan kembali ke Rantau dan bekerja seperti dulu lagi. Itu berarti, selanjutnya kami hanya akan bertemu sekali dalam sekian bulan.
“Setelah keadaan keuanganku membaik, aku akan segera melamarmu, Tri. Percayalah…”
Aku menunduk.
“Bukankah dulu kita juga begitu? Jarak Tanjung Balai-Rantau Prapat bukanlah kendala yang bisa mengikis rasa sayangku padamu, Tri. Dulu demikian, nanti juga tak akan berubah…” Wendy berusaha menghiburku. “Lagipula, bukankah kedatangan orangtuaku ke rumahmu tempo hari juga telah mengukuhkan betapa aku dan keluargaku serius terhadap hubungan kita?”
Kuusap pelan airmataku yang turun tanpa dapat kucegah.
“Bersabarlah, Tri….”
Genggaman tangan Wendy seolah memberiku kekuatan untuk menghadapi perpisahan ini. Meski amat mencintai Wendy, aku tak kuasa menahannya dalam keadaan yang sulit ini. Akhirnya, hanya doa dan harapan yang mampu kutitipkan padanya.
***
Awal Juni 2010.
“Wen, kemarin Bang Andri menanyakan hubungan kita…,” kutunggu jawaban Wendy dari seberang telepon.
“Tri, aku sangat sibuk akhir-akhir ini. Kondisi keuanganku belum begitu baik. Kamu mau, ‘kan, bersabar menungguku?”
“Ya, tapi…” Aku tak tahu apakah harus memberitahu Wendy perihal ibu dan Bang Andri yang terus-menerus menanyakan bilakah kedatangan Wendy untuk melamarku.
“Sabar, Tri. Aku pasti menepati janjiku untuk melamarmu.”
“Hmmm…”
“Tri, sudah dulu, ya. Aku sedang sibuk. Akan kutelepon lagi nanti, ya?!” terdengar nada telepon diputus.
Akhir-akhir ini Wendy memang tak pernah lagi mengobrol lama denganku di telepon. Pertemuan kami yang terjadi sebulan sekali pun kini mulai tak terjadwal.
Aku bisa merasakan sikap Wendy mulai berubah. Mungkinkah Wendy…? Ah, aku tak ingin berpikir yang tidak-tidak. Wendy pasti sangat sibuk, seperti katanya. Aku seharusnya tetap memberinya kepercayaan sebesar rasa sayangku padanya. Ya, aku akan tetap menunggunya dan berdoa untuk segala yang terbaik bagi Wendy.
***
Akhir April 2011.
Siang ini, counter sepi.
‘Hai. Apa kabar, Nicky?’ sebaris teks kukirim ke wall FB Nicky, adik kandung Wendy, tak lama setelah dia mengonfirmasi pertemanan denganku.
Rasanya amat senang bisa menemukan Della dan Nicky di situs pertemanan FB ini. Hanya Wendy yang tak kutemukan di FB.
Setelah lama menjelajah di FB, aku mulai jenuh. Iseng, aku membuka album foto Nicky. Lembar demi lembar fotonya yang terpampang, kemudian memaksa mataku terbelalak. Dan, detik berikutnya jantungku serasa berhenti berdetak tatkala melihat foto-foto pada albumnya yang berjudul ‘Pernikahan Abangku’.
Aku tak mau memercayai apa yang ada di hadapanku. Tidak! Wendy dan seorang gadis terlihat bersama dalam balutan baju pengantin dan sedang tersenyum bahagia. Berulang kali kucoba meyakinkan hatiku bahwa penglihatanku salah. Namun, sia-sia! Airmataku runtuh tanpa dapat kubendung. Inikah jawaban atas penantianku selama ini?
Rasanya kakiku terlalu lemah untuk berpijak di bumi ini lagi. Tiddaaakkk…! Tanpa sadar aku berteriak dan berlari menerobos orang-orang yang ada di sekitarku, tanpa memedulikan tatapan heran mereka yang terkejut. Aku terus berlari dan berlari menyeberangi jalan raya di antara makian dan suara klakson mobil yang berlalu-lalang. Ya, aku tak lagi memiliki rasa lain kecuali rasa sakit, perih, dan sesak di dadaku.
***
Tanjung Balai, hari ini.
Setengah tahun sudah aku menyimpan luka di dadaku. Tak kepada siapa pun aku menceritakan perginya Wendy meninggalkanku dalam janji-janjinya yang dulu kerap kupegang teguh. Tak kepada ibu dan juga Bang Andri. Aku tak tega menyakiti ibu dan tak ingin melihat kekecewaan Bang Andri. Sebab, merekalah orang-orang yang selama ini mengasihiku dengan setulus hati.
Namun, hari ini kepada seorang sahabatku, kuceritakan segalanya. Ya, segalanya; tentang rasa sayangku kepada Wendy yang demikian tulus, dan segala janji Wendy kepadaku yang tak pernah ditepatinya, hingga luka menganga yang digoreskannya di nadiku.
Akan tetapi, meski aku pernah tersakiti, namun aku juga telah memaafkan dan juga telah memberi ucapan selamat disertai doa setulusnya kepada Wendy atas pilihan hidupnya—meski hanya melalui Della.
Ya, ketika Wendy telah memilih wanita lain dan menikah, aku telah menjadi masa lalunya. Sebagai masa lalu, aku sudah seharusnya merelakan segala janji dan kenangan yang pernah dijalani bersamanya berlalu seiring waktu. Sebab, aku percaya Tuhan masih menyimpan rahasia indah-Nya untukku.
Akhir Oktober 2011
Diterbitkan Harian Analisa, Medan, 16 November 2011
Cerpen ini ditulis berdasarkan kisah nyata dan atas permintaan pemilik kisah.