Tuesday, December 13, 2011

Jika Tak Bisa Menjadi Kekasih, Sanggupkah Anda Jadikan Sahabat?

Oleh: Lea Willsen
Apa yang akan Anda lakukan suatu ketika seseorang yang Anda cintai tak mungkin menjadi kekasih Anda? Anda akan mengikhlaskannya, kemudian menjadikannya sahabat? Atau mengubah cinta Anda menjadi dendam dan kebencian?
Pada suatu sore, penulis coba melakukan beberapa survey kecil-kecilan pada web <tanyasaja.com>. Salah satu pertanyaan yang penulis ajukan yakni judul tulisan ini.
Penulis mendapat cukup banyak jawaban-jawaban pro dan kontra. Dan dari salah satu jawaban itu, penulis menemukan sebuah jawaban yang cukup menarik. Saat itu penulis berpikir; saya telah menemukan jawaban yang sesuai!
Dari jawabannya, kita akan paham; sesungguhnya adalah nikmat pemberian-Nya, suatu ketika kita masih memiliki kesempatan untuk bersahabat dengan seseorang yang kita cintai, namun tak mungkin kita miliki. Adalah mutlak, cinta sejati takkan berubah menjadi kebencian...
Berikut jawaban tersebut:
Kalau saya pribadi—jujur—saya sanggup! Karena bagi saya, definisi cinta itu adalah kondisi emosi di mana seseorang lebih memprioritaskan orang yang dicintainya, daripada dirinya sendiri.
Artinya, kebahagiaan orang yang dicintai itu lebih penting dari kebahagiaan pribadi. Dan bahkan nyawa orang yang dicintai itu juga lebih penting daripada nyawa pribadi.
Praktis, kalau kita merasa bahwa orang yang kita cintai itu akan lebih bahagia bila bersama orang lain, maka kita akan berusaha menjodohkannya dengan orang tersebut. Karena kebahagiaannya jauh lebih penting daripada kebahagiaan kita, bukan?
Saya tak keberatan hanya jadi sahabat dia—sementara dia menjadi kekasih orang lain—asalkan dia memang yakin dia lebih bahagia bersama orang tersebut, daripada bersama saya.
Oleh karena itu, sesungguhnya sangatlah ironis dan tidak pantas, jika seseorang mengubah cinta menjadi kebencian. Hidup ini penuh dengan pilihan. Kita berhak memilih siapa yang kita cintai, dan orang yang terpilih oleh kita juga berhak memilih, apakah ia ingin menerima cinta kita, atau pun menolak. Kita tidak berhak membenci seseorang yang menolak cinta kita, karena orang tersebut sama sekali tidak bersalah kepada kita, atau pun berdosa.
Sejatinya kita harus belajar; berani melangkah, berani terjatuh, dan juga berani berdiri dengan sikap dewasa. Mengejar cinta bukanlah seperti merebut mainan di masa kanak-kanak, kala kita kalah, kita pun menangis atau pun berkelahi.
Akhir Agustus 2010

No comments:

Post a Comment

Silakan centang "Notify me" agar Anda memeroleh pemberitahuan.