Oleh: Lea W
DUA tahun terakhir, salah satu ‘nada’ surat elektronik yang sering penulis terima adalah dari para calon penulis masa depan kita yang menanyakan hal-hal seputar cara pengiriman karya ke Harian Analisa, maupun media cetak lain. Tentu saja hal itu dapat dimaklumi, mengingat masih banyaknya redaktur di berbagai media cetak Indonesia yang enggan mencantumkan kolom khusus yang memberitahukan syarat-syarat pengiriman karya untuk para calon penulis baru, karena tanpa mencantumkannya pun meja si redaktur telah dibanjiri karya-karya penulis lama yang bahkan sudah bertahun-tahun lamanya belum dapat termuat dikarenakan keterbatasan ruang muat. Lalu, bagaimana sebenarnya cara jitu untuk mengirimkan suatu karya ke media cetak? Berikut beberapa tips yang mungkin dapat bermanfaat:
Pahami Medan
Pepatah berbunyi: Sebelum bertempur, pahamilah medan pertempuran terlebih dahulu. Sama halnya seperti menulis, sebelum mengirimkan karya ke suatu rubrik, ada baiknya terlebih dahulu kita harus paham, tema tulisan seperti apa yang menjadi standar rubrik tersebut. Kita tak mungkin mengirimkan sebuah cerpen yang mengisahkan konflik rumah tangga sepasang suami istri di rubrik remaja yang mayoritas diminati oleh ABG, ‘kan?
Untuk itu, pantaulah terlebih dahulu sajian-sajian yang ada pada sebuah rubrik sebelum kita melayangkan karya kita ke sana. Bila karya yang ada pada kita adalah cerpen remaja, maka kirimkanlah ke rubrik remaja. Dan bila karya kita merupakan cernak (cerpen anak), maka kirimkanlah ke rubrik anak-anak. Ingatlah juga untuk menanyakan prosedur, syarat, atau format tulisan yang berlaku kepada redaksi bersangkutan, agar karya kita tidak nyasar atau hilang.
Pelajari Tanda Baca dan Cara Menulis yang Benar
Kita tak sedang menulis diari untuk dibaca sendiri. Kali ini target kita adalah menembus media cetak yang nantinya akan dinikmati oleh publik yang tak terhitung jumlahnya. Dan agar apa yang hendak kita sampaikan dapat dengan mudah diserap oleh pembaca, kita harus belajar fungsi dari setiap tanda baca dan juga cara menulis yang benar. Perhatikan contoh berikut:
Contoh salah:
aku tak bisa tidur,,, entah mengapa pikiranku terus terbayang sosok sinta,,, ah, apakah aku sedang fall in love!
Contoh benar:
Aku tak bisa tidur. Entah mengapa pikiranku terus terbayang sosok Sinta. Ah, apakah aku sedang fall in love?
Kedua kalimat di atas memang masih dapat dipahami artinya. Namun sesungguhnya telah terdapat banyak kesalahan pada contoh pertama. Di atas hanya dituliskan beberapa kalimat. Dan bila seluruh cerpen atau artikel berisi kesalahan-kesalahan seperti itu, maka akan lumayan menambah kerja redaktur, atau mengganggu mata si pembaca. Beruntung bila bertemu redaktur atau editor yang masih mau memberi kesempatan belajar dan membantu kita mengeditnya. Bila bertemu redaktur atau editor yang kejam, tak lewat dua alinea, tulisan kita sudah divonis tak layak muat.
Kembali pada dua contoh di atas. Apa sebenarnya kesalahan yang dimaksud? Perhatikan contoh pertama, setiap akhir dari sebuah kalimat terdapat sederet tanda koma yang panjang. Banyak calon penulis yang tulisannya seperti itu. Padahal, tanda koma berbeda dengan tanda titik yang boleh diketik berderet panjang. Selain itu, semestinya tanda baca yang digunakan untuk kalimat di atas lebih tepatnya adalah tanda titik, bukan koma.
Kesalahan lainnya, kita harus memiringkan setiap kata yang merupakan bahasa asing, misalkan kalimat “fall in love” di atas, atau bahasa gaul seperti “nemenin”, “cemesin”, “bukain”, “gue”, “eloe”, dan lainnya. Selain itu, kita juga harus selalu ingat menggunakan huruf besar pada nama, nama tempat/daerah, dan setiap huruf awal kalimat. Hal ini tentu telah pernah kita pelajari di sekolah. Sayangnya, kita sering menulis tanpa memerhatikan poin tersebut, kendati sebenarnya kita telah tahu.
Kesalahan terakhir yang dapat kita temukan di contoh pertama yakni tanda seru yang diketikkan pada kalimat “ah, apakah aku sedang fall in love”. Seharusnya kalimat tersebut bersifat bertanya dan harus menggunakan tanda tanya, bukan tanda seru.
Kita harus paham betul fungsi dari setiap tanda baca. Jangan sampai hal-hal kecil di atas membuat karya kita tak layak dimuat dan menjadi suatu hal besar yang menyakitkan kita. Solusi agar dapat menguasai tanda baca serta cara menulis yang benar adalah latihlah mempertajam insting kita dengan perbanyak membaca dan memerhatikan apa yang kita baca secara seksama. Percayalah, semua usaha itu akan membuat karya kita menjadi lebih bernilai di mata redaktur/editor.
Rajin Mengirim Karya
Tak peduli dimuat atau pun tidak, tetaplah rajin mengirimkan karya kita. Jangan hanya mengirimnya sekali, lantas selanjutnya kita pun terus menunggu dimuatnya karya itu hingga bertahun-tahun lamanya tanpa berbuat apa pun. Teruslah melahirkan karya baru, dan teruslah mengirimkannya. Hitung-hitung cukup bagus juga untuk berlatih menulis dan kesabaran. Namun harus diingat, agar tak terjadi pemuatan ganda, jangan mengirimkan karya yang sama hingga berkali-kali tanpa konfirmasi yang jelas kepada redaktur bersangkutan.
Menjaga Hubungan Baik dengan Redaktur
Ada beberapa calon penulis—bahkan penulis lama—yang senang mendesak redaktur, atau berpura-pura mengingatkan redaktur terhadap karya mereka yang masih belum dimuat. Dan setelah karya dimuat dan honor diambil, mulailah mengeluhkan nilai honor tersebut. Padahal, menurut penulis, hal tersebut sangatlah tidak etis. Lagi pula, yang mengurus besar kecilnya honor juga sebenarnya bukan redaktur.
Cobalah bersabar menunggu. Karya yang masuk bukan karya kita seorang. Dan sekiranya bila memang tak mau atau tak sabar menunggu lagi, tariklah karya tersebut dengan sopan kepada redaktur bersangkutan, dan kirimkanlah lagi karya baru lainnya. Jangan lantas karena karya tak dimuat, langsung putus hubungan dengan si redaktur.
Bila penulis pribadi, pernah juga melakukan penarikan karya, dengan berbagai pertimbangan. Namun ada baiknya pula bila kita mau bersabar dan membiarkan karya kita tetap di tangan redaktur. Dalam kasus-kasus tertentu, bahkan ada karya yang sudah lima tahun lamanya, namun ternyata masih dapat dimuat.
Jujur dan Tanggung Jawab
Semakin dikenal nama seorang penulis, maka semakin mudah pula seorang penulis dapat melebarkan sayapnya hingga ke beberapa media cetak lainnya. Maka, tetaplah pertahankan imej sebagai seorang penulis.
Pada milis, forum diskusi, dan grup-grup lainnya, penulis sering menemukan para penulis yang terang-terangan mengaku mereka mengirimkan satu karya ke beberapa media cetak sekaligus, atau pun setelah karya itu dimuat, dan setelah selang beberapa lama, baru mereka kirimkan lagi ke media cetak lain. Padahal itu adalah hal yang paling dibenci oleh para redaktur. Redaktur sering menegaskan, karya yang dikirim haruslah karya orisinal, belum pernah dimuat, dan izin terbit tak sedang diberikan kepada media lain.
Risiko dari melakukan pelanggaran tersebut cukup besar. Redaktur yang tegas biasanya akan langsung mem-blacklist nama si penulis bersangkutan. Dengan telah di-blacklist-nya nama, maka untuk selanjutnya karya si penulis tak dapat dimuat di rubrik tersebut lagi. Dan kalau pun ada yang berniat bermain curang dengan menggunakan nama lain untuk kembali mengirimkan karya, segalanya juga menjadi harus mulai dari nol lagi.
Agar semua itu tak terjadi, hendaknya penulis harus berlaku jujur dan tanggung jawab. Janganlah mengirimkan karya yang telah dikirim atau dimuat di rubrik lain. Jangan pula meng-copy-paste karya orang lain dan menjadikannya karya kita untuk dikirim. Apabila terkadang dikarenakan kesalahan redaksi, terjadi kesalahan dalam pencantuman nama, atau mengakibatkan karya kita dimuat ganda—padahal hanya dikirim sekali—segeralah konfirmasikan ke redaksi. Semua itu perlu kita perhatikan, sebagai rasa tanggung jawab.
Mengendalikan Rasa Percaya Diri
Dalam melakukan apa pun, rasa percaya diri sangatlah penting. Namun bila rasa percaya diri kita terlalu besar, bukannya kita akan maju, justru kemajuan kita akan menjadi terhambat. Hal tersebut dikarenakan orang yang memiliki rasa percaya diri yang terlalu besar cenderung sulit untuk mengetahui kelemahannya sendiri. Begitu menghasilkan sebuah karya, mereka sudah merasa karya mereka sangat bagus. Padahal belum tentu.
Lebih parahnya lagi, ketika nantinya karya tersebut ditolak, bukannya mengecek kekurangan dari karya tersebut, malahan redaksilah yang dituduh tak pintar menilai karya bagus. Biasanya, orang demikian adalah orang yang memiliki ambisi besar tanpa didasari kemampuan yang memadai. Semangat mereka akan mudah padam, setelah beberapa kali karya ditolak. Ibarat bom, sekali meledak dayanya besar, tetapi setelahnya bom itu pun kehabisan bahan bakar.
Sebaliknya bila rasa percaya diri mampu dikendalikan secukupnya saja, maka kita memiliki keberanian untuk mencari kekurangan dalam diri kita. Dan setelah belajar serta mengoreksi kekurangan itu, kita pun seolah tak pernah kehilangan semangat untuk coba mengujinya lagi, apakah setelah belajar kemampuan kita sudah mengalami kemajuan atau belum.
Memeriksa Ulang Karya yang Telah Dimuat
Kalau pun karya kita nantinya sudah termuat, tentu saja masih keburu cepat untuk beranggapan bahwa kita itu hebat, karena karya kita telah mampu menembus media dan dinikmati oleh publik yang tak terhitung jumlahnya. Dalam kasus-kasus tertentu, agar ada regenerasi penulis—setelah mengeditnya—redaktur memuat karya yang dianggap masih ada harapan. Namun setelah dua atau tiga kali diperhatikannya si empu ternyata masih tak ada kemajuan, redaktur pun enggan memuat karyanya lagi.
Solusinya adalah memeriksa ulang karya yang telah dimuat. Cocokkanlah karya yang telah dimuat dengan naskah asli yang ada pada kita. Perhatikan setiap kata dan tanda bacanya secara seksama. Syukurlah bila tak ada yang diedit. Dan bila ada yang diedit, maka direnungkanlah: mengapa diedit? Apa kesalahannya dan bagaimana yang sebenarnya?
Memilih Media yang Berkualitas
Memilih media untuk dikirimkan karya juga cukup berpengaruh dalam mendongkrak imej si empunya. Bila media yang dikirimkan karya adalah media berkualitas dan banyak diminati, maka semakin berpeluang pula diri kita untuk menunjukkan eksistensi kita sebagai seorang penulis serta melebarkan sayap ke media-media berikutnya. Sebaliknya bila media yang dikirimkan karya adalah media low class yang hanya berisi bacaan-bacaan tak menyehatkan, tak peduli berapa tahun pun kita bercokol di sana, nama kita juga tak akan pernah tercatat dalam dunia sastra.
Selain itu, karena karya kita di muat di sana dan kita seringnya hanya membaca media itu, secara tidak langsung gaya tulisan kita juga menjadi ikut-ikutan ‘murahan’ seperti gaya tulisan yang selalu kita baca.
Media yang tak berkualitas biasanya cenderung lebih cepat memuat karya yang dikirimkan kepada mereka. Hal itu disebabkan karya yang masuk memang jumlahnya sedikit. Persaingan tidak ketat. Karya yang dimuat standarnya rendah. Redaktur bersangkutan bahkan sebenarnya tak tahu bagaimana cara menulis yang benar. Dan karya-karya yang dimuat pun masih dapat ditemukan banyak kesalahan.
Penutup
Setelah membaca beberapa tips dalam artikel ini, segeralah berkarya! Janganlah tunggu besok atau lusa. Wujudkan imajinasi serta kreativitas kita. Hingga kapan pun, kita semua adalah pelajar. Belajar dan terus belajar untuk memeroleh kemajuan. Semoga artikel ini bermanfaat untuk kita semua. Mari!
*kamar renung, 2011
blog: http://myartdimension.blogspot.com
No comments:
Post a Comment
Silakan centang "Notify me" agar Anda memeroleh pemberitahuan.