Sunday, June 12, 2011
Mengubah Pola Pikir ke Arah Kebaikan, Mengapa Tidak?
Oleh: Liven R
AKHIR-akhir ini suhu Bumi semakin meningkat. Sejak adanya isu global warming, keadaan iklim Bumi memang tak lagi menentu. Hujan turun tak pada musimnya. Di belahan Bumi yang mengalami musim kemarau, akan mengalami kekeringan yang ekstrem. Sementara belahan Bumi yang mengalami musim hujan, hujan turun tak henti-hentinya hingga menimbulkan banjir.
Bencana kekeringan di satu negara dan bencana banjir di negara lainnya pada waktu yang bersamaan sudah menjadi berita yang biasa kita dengar. Dalam hal ini, penderitaan umat manusia tentu saja menyertai setiap bencana yang terjadi. Jika keadaan Bumi semakin tak menentu, siapakah yang harus bertanggung jawab? Mungkin bukan aku, bukan juga Anda dan mereka. Lantas?
Pada akhir bulan 2 hingga awal bulan 3 (kalender lunar), masyarakat Tionghoa Buddhis biasanya menjalankan tradisi Qing Ming/Cheng Beng. Tradisi Cheng Beng adalah ritual yang dilakukan setahun sekali dalam menziarahi makam leluhur untuk bersembahyang dan membersihkan makam sebagai wujud bakti kepada leluhur yang telah meninggal.
Menjelang hari yang telah ditentukan untuk pergi Cheng Beng, keluargaku (sama halnya dengan keluarga Tionghoa lainnya yang mengaku Buddhis) pun melakukan persiapan dalam hal barang-barang yang akan dibawa.
Malam itu, seusai makan malam dan mandi (sekitar pukul 21.00), aku pun cepat-cepat mengeluarkan setumpuk pekerjaanku. Pekerjaan murid yang harus dikoreksi, soal-soal yang harus kubuat, pokoknya tak perlu memikirkan hal lain lagi kalau malam itu tak mau tidur larut. Maklum, asisten kami yang lama mengundurkan diri, sedangkan asisten baru yang masuk bekerja lebih lambat dari siput berjalan. Jadi, aku terpaksa meng-handle semua tugas-tugas yang ada.
Baru satu, dua, tanda centang pada kertas pekerjaan murid, mama berteriak memintaku ikut membantu melipat kertas sembahyang yang akan dibawa dan dibakar di tempat pekuburan nanti.
‘Aduh, bagaimana dengan PR-ku yang segunung ini? Aku malam ini pasti bakal bermetamorfosis menjadi Batman!’, seruku. Tentu saja hanya dalam hati. Yup! Mama pasti tak tahu aku malam ini memiliki PR yang demikian banyak. Jika tahu, aku yakin mama tak akan meminta bantuanku, aku tahu itu. Sebab, setiap kali melihatku sibuk saja, beliau tak tega dan pasti bertanya, “Apa yang bisa Mama lakukan untuk membantumu?”
“Ok!”, sahutku kemudian. Kulihat adik dan kakakku juga sedang membantu melipat kertas-kertas itu, sementara mama sibuk mengerjakan yang lainnya. Secepat-cepatnya aku melipat satu-persatu kertas sembahyang itu (yang konon akan berubah menjadi uang di alam baka sana setelah dibakar). Syukur mama mengatakan tak perlu menyusunnya, hanya dimasukkan ke dalam peti karton hingga penuh.
Sambil melipat, aku pun menyeletuk, “Tahukah kalian, kita ini sedang membuang waktu percuma...?”
Adikku hanya menjawab, “Hmm...”
“Saat ini semua orang sedang mencari hal yang praktis, kita malah duduk dan melakukan hal tak berguna ini. Apalagi PR-ku menumpuk, lho...,” ujarku lagi.
“Ya..., kerjakan saja PR-mu. Biar kami yang lipat ini,” ucap adikku lagi.
Hehehe... Tidak setia saudara namanya kalau aku tak ikut melipat, ya?! Senyumku dalam hati.
Ya, sesungguhnya kami sekeluarga adalah orang-orang yang tidak mempercayai ritual membakar kertas sembahyang untuk arwah yang telah meninggal. Jika sebagian orang menganggap dengan membakar uang-uangan, baju kertas, rumah-rumahan, mobil-mobilan, dan sebagainya, maka leluhur yang telah meninggal di alam sana akan memperoleh uang, mobil, baju, dan rumah, maka bagi kami itu adalah tindakan ‘tidak Buddhis’. Mengapa? Pada kenyataannya, aku tak menemukan adanya peraturan yang mengharuskan kita (sebagai umat Buddhis) untuk membakar kertas tiruan benda-benda duniawi untuk orang yang telah meninggal dunia di dalam kitab suci wejangan Buddha mana pun.
Lalu, mengapa orang-orang percaya dengan membakar uang tiruan maka arwah leluhur/sanak keluarga yang telah meninggal akan memeroleh kemewahan di alam sana? Hal ini bisa terjadi dikarenakan pola pikir manusia dan tradisi nenek moyang yang dilestarikan secara turun-temurun.
Dari mana asal tradisi membakar kertas sembahyang dan rumah-rumahan berawal?
Dahulu, di zaman kerajaan di Tiongkok kuno, apabila seorang yang kaya dan terpandang meninggal dunia, maka semua uang emas dan barang-barang kesayangannya pun ikut dibakar/dikebumikan bersama jasadnya. Dalam hal ini, jika seorang putri bangsawan/selir raja meninggal dunia, maka pengawal dan pelayannya pun diharuskan ikut dibakar/dikebumikan bersama tuannya. Hal ini dimaksudkan, setelah meninggal pun selir/putri bangsawan tersebut tetap ada yang melayani di alam baka. Sebuah pemikiran yang amat egois, ya?
Suatu ketika, sebuah kerajaan di Tiongkok kuno diserang oleh bangsa lain dan berada di ambang kehancuran. Kaisar yang stres pun jatuh sakit dan dipastikan tak akan hidup lama lagi. Dalam keadaan sakitnya, kaisar teringat, jika dia meninggal, maka rakyatnya pasti akan membakar emas, kuda, pengawalnya, dan kereta kencana untuknya. Jika demikian, bukankah dinastinya yang sudah jatuh miskin akan semakin miskin?
Teringat hal itu, kaisar pun memanggil menteri kepercayaannya dan menceritakan kepadanya bahwa ketika beliau tertidur, sesosok dewa dari alam baka telah membawa rohnya berjalan-jalan mengelilingi alam baka. Di sana, kaisar melihat ternyata semua barang-barang asli yang selama ini dibakar untuk orang yang telah meninggal tak dapat digunakan di alam baka. Yang dapat digunakan adalah benda-benda tiruan yang terbuat dari kertas. Meskipun terbuat dari kertas, semua benda tiruan itu setelah dibakar akan berubah menjadi benda asli di alam baka. Kaisar berkata demikian tentunya dengan mempertimbangkan lebih murahnya kertas dibanding barang-barang aslinya jika dibakar.
Atas petunjuk dari kaisar, maka sejak saat itu orang-orang pun berhenti membakar barang asli untuk orang yang telah meninggal dunia dan menggantinya dengan membakar bentuk tiruannya (dari kertas). Tradisi tersebut kemudian dilestarikan dari generasi ke generasi hingga saat ini.
Sebuah tradisi sering kali dijalankan tanpa ditelusuri kebenaran dan makna yang terkandung di dalamnya. Jika kita pergi ke tempat yang menjual peralatan sembahyang, maka kita akan menemukan semakin bervariasinya barang-barang tiruan dari kertas yang dijual untuk dibakar bagi yang telah meninggal. Selain uang dan perak, ada ponsel, rumah, sepeda, BMW, dan segala yang ‘wah’ dalam bentuk tiruannya yang terbuat dari kertas. Pokoknya segala yang sedang nge-trend di dunia ini, ada dalam bentuk tiruannya dan siap dijual dan ‘dikirim’ oleh Anda kepada sanak keluarga yang telah meninggal.
Di masa kecilku dulu, papa pernah membeli sebuah peti dari karton yang oleh penjualnya dikatakan di dalamnya telah diisi lengkap segala keperluan untuk orang yang telah meninggal. Saat itu papa membelinya untuk dibakar kepada kakek dan nenek yang sudah meninggal. Karena berhubungan dengan ritual keagamaan dan berhubungan dengan orang yang telah meninggal. Maka dikatakan kita ‘pantang’ membukanya setelah dibeli.
Kala itu, aku yang masih kecil dan selalu ingin tahu meskipun sudah dilarang, diam-diam membuka peti tersebut dan mengeluarkan semua isinya. Apa yang terlihat? Tak lain adalah bentuk baju dan celana yang dibuat asal-asalan dengan kertas dari buku tulis, sandal yang dibuat tanpa dilem sana-sini, dan segala macam kertas dengan berbagai bentuk lainnya yang menurutku lebih jelek dari hasil kerja prakaryaku di sekolah saat itu.
Mama yang mendengar suara berisik dan menghampiriku saat itu tercengang melihat perbuatanku membongkar peti ‘harta karun’ untuk kakek dan nenek. Detik berikutnya mama ikut tertawa melihat isi dari peti tersebut. “Kita membakar sampah untuk kakek dan nenek, ya, Ma?!” ujarku saat itu.
Dari hasil pembuktianku kala itu, untuk selanjutnya hingga hari ini, keluargaku tak pernah lagi membeli peti sejenis untuk dibakar kepada kakek dan nenek. Semua larangan dan pantangan yang diberlakukan, tentunya untuk melindungi si penjual agar pembeli tak pernah tahu apa sesungguhnya yang mereka masukkan ke dalam peti tersebut. Jika sudah mengetahui hal ini, masihkah kita mau mengulangi tindakan pembodohan oleh tradisi?
Ketika membantu melipat kertas sembahyang malam itu, semakin melipat, aku semakin menyayangkan kertas-kertas yang akan dibakar itu. Bagaimana tidak? Di tempat kami mengajar kelas bimbingan, aku tak mengizinkan anak didikku membuang kertas barang secuil pun yang masih bisa ditulisi. Ya, pemborosan SDA!
Bayangkan, bagaimana lamanya masa yang diperlukan untuk sebatang pohon tumbuh dan besar hingga dapat diambil kulitnya dan dijadikan kertas. Jika kulit pohon diolah menjadi kertas untuk keperluan menulis, sungguh tindakan yang bermanfaat. Namun, jika diolah untuk dijadikan kertas sembahyang atau pun baju-bajuan dan rumah-rumahan? Sungguh disayangkan! Menanam pohon, ditebang, diolah, dilipat untuk kemudian dimusnahkan lagi dengan dibakar, setelah itu hasil pembakaran merusak Bumi pula, bukankah semua adalah tindakan membuang waktu, uang dan tenaga?
Mungkin Anda bertanya mengapa keluargaku juga ikut-ikutan melakukan perbuatan tak bermanfaat ini? Jawabannya lagi-lagi ‘tradisi’. Kakek dan nenekku memiliki 2 orang putra. Papaku adalah anak kedua. Sejak dulu, almarhum pakcikku menganut tradisi ‘kuno’ yang kental dalam hal ritual menyembahyangi kakek dan nenek. Sebagai putra dan menantu kedua, tentu saja papa dan mamaku harus menghormati pendapat abang dan abang iparnya dalam hal ini. Jadi karena semua sudah dilakukan dan dijalankan dari dulu, ya, terus saja dilanjutkan hingga hari ini.
Lain halnya dengan kami. Karena papa hanya milik kami pribadi (hehehe...) dan kebetulan di antara kami (mama dan anak-anak papa) sependapat dalam hal ritual keagamaan Buddhis, maka saat kematian papa, kami sekeluarga pun menerapkan ritual Buddhis sejatinya terhadap jasad papa, yakni dikremasikan dan didoakan dengan membaca sutra, tanpa membakar uang kertas, rumah-rumahan, atau pun segala sesuatu yang bagi kami tak dapat diterima akal sehat.
Tabukah hal itu? Tentu saja tidak! Asal tahu saja, semenjak kematian papa, 13 tahun sudah menjelang, aku dan keluarga tak pernah sekali pun didatangi arwah papa. Tak pernah sekali pun papa datang dalam mimpi dan mengatakan beliau kekurangan sesuatu seperti yang selama ini dikatakan oleh orang-orang untuk menakut-nakuti keluarga almarhum.
Melalui percakapan kami malam itu, kami sepakat tak akan membakar uang kertas atau apa pun lagi dalam ritual Cheng Beng untuk kakek dan nenek tahun depan. Anak almarhum pakcik (sepupuku) adalah seorang yang berpikiran realistis, jadi kami yakin dia dapat memaklumi hal ini.
Menghormati jasa sanak keluarga atau pun leluhur yang telah meninggal adalah wajib. Namun, menjalankan tradisi tetaplah harus selektif. Sesuatu yang tak bermanfaat bahkan merugikan, haruskah dipertahankan? Sebagai manusia yang hidup di zaman modern, hendaklah pemikiran juga berkembang. Pola pikir yang cenderung fanatik hendaknya dapat dikikis perlahan-lahan. Berbaktilah kepada orang tua semasa hidupnya. Ketika telah meninggal, kita dapat tetap berbakti dengan senantiasa berbuat kebajikan dan bertingkah laku baik atas namanya.
Setujukah Anda jika kita bersama-sama menyelamatkan Bumi dengan tidak lagi membakar kertas sembahyang? Setujukah Anda, uang untuk membeli kertas sembahyang, baju-bajuan, rumah-rumahan, dan yang sejenisnya kita sumbangkan sebagian untuk mereka yang membutuhkan?
Medan, medio April 2011
e-mail: lie.liven@gmail.com
No comments:
Post a Comment
Silakan centang "Notify me" agar Anda memeroleh pemberitahuan.