Saya masih ingat dengan bunyi pepatah yang sempat keluar dari mulut paman saya suatu ketika sedang berbincang di kediaman saya, "hanya berharaplah pada tulang sendiri untuk menumbuhkan daging". Artinya, seseorang tak boleh berharap untuk dapat sukses dengan mengandalkan orang lain. Hanya daging yang tumbuh pada tulang sendirilah yang menjadi milik sendiri--hanya usaha sendirilah yang menjadi kesuksesan milik sendiri.
Disadari atau tidak, sesungguhnya dalam dunia sastra juga demikian. Seorang penulis tidak akan mungkin dapat bertahan, jikalau hanya berharap pada editor.
Mungkin benar, tugas seorang editor adalah mengedit tulisan agar tulisan itu menjadi lebih indah. Tetapi, bukan berarti karena ada editor, seorang penulis lantas menjadi membebaskan diri sendiri dari tugas mengedit tulisan sendiri dan juga belajar untuk menghasilkan tulisan yang lebih indah.
Sejauh yang saya ketahui, yang mengirimkan tulisan untuk penerbit bukanlah hanya satu atau dua orang. Persaingan sangat ketat. Berbagai tema atau gaya tulisan dimulai dari yang benar-benar bagus bahkan yang benar-benar hancur ada di sana. Dan oleh karena begitu beragamnya tulisan untuk dipilih, tentu wajar saja, editor akan lebih berpihak pada tulisan yang bagus daripada yang buruk dan harus diedit habis-habisan lagi.
Selain itu, penerbit juga termasuk sebuah perusahaan yang bertujuan untuk memeroleh untung, tidak semata bertugas menerbitkan buku untuk dibaca oleh masyarakat. Modal yang telah ditentukan untuk menerbitkan buku juga memiliki batas. Kalau tak ingin 'tewas' di usia muda, tentu perusahaan (penerbit) harus memilih tulisan yang diprediksi dapat memikat calon pembeli di pasar nanti. Dan karena keterbatasan modal yang telah ditentukan itu jugalah, jangankan tulisan yang masih membutuhkan kerja ekstra editor untuk menyempurnakannya, tulisan yang sudah bagus pun banyak yang terpaksa harus ditolak. Ini adalah hal yang wajar terjadi. Bahkan seorang teman sesama penulis sering mengatakan, untuk bisa bekerjasama dengan sebuah perusahaan penerbitan, harus ada ikatan jodoh.
Sayangnya, seiring dengan makin meningkatnya keinginan menulis masyarakat, ternyata masih banyak calon penulis yang tidak menyadari sistem kerja yang ada pada penerbit. Mereka masih meyakini bahwa tulisan mereka nantinya akan disempurnakan seorang editor, dan mereka tinggal 'memuntahkan' ide-ide yang ada di dalam otak tanpa perlu adanya modal skill menulis yang baik. Padahal itu keliru. Tak ada satu pun penerbit yang bersedia mengeluarkan modal puluhan juta untuk menerbitkan sebuah judul tulisan yang masih hancur-hancuran, sementara mereka masih memiliki banyak judul tulisan yang bagus untuk dipilih.
Seorang redaktur juga pernah berkata, kalau mau mengedit tulisan yang hancur hingga menjadi sempurna, maka tulisan itu pun seolah menjadi karyanya, bukan karya si pengirim.
Sejatinya seorang penulis harus benar-benar memiliki kemampuan menulis yang bagus, bukan sekadar keinginan dan harapan belaka. Anggaplah di depan ada dua opsi, menghabiskan waktu untuk perbanyak belajar dan memeroleh ilmu yang baik, atau menghabiskan waktu untuk menuliskan sesuatu yang 100% ditolak penerbit. Pilih yang mana?!
Lea Willsen, 2011
No comments:
Post a Comment
Silakan centang "Notify me" agar Anda memeroleh pemberitahuan.